“Ada kiriman untuk Indonesia Mengajar Rura”
Sms yang langsung
masuk ketika handphone dinyalakan. Pengirimnya adalah Kepala Kantor Pos
Malunda. Lhoh koq Malunda? Memang begitu keadaannya, karena Ulumanda adalah
kecamatan pemekaran, sarana dan prasarana yang ada belumlah selengkap kecamatan
yang mapan. Jadilah Kantor Pos Malunda dijadikan kantor bersama dua kecamatan.
Seketika itu
rencana untuk men-charge laptop di rumah seorang Guru saya batalkan. Motor
langsung saya arahkan berbelok ke kanan menuju Pom Bensin Malunda, menitip
laptop pada petugas SPBU untuk di-charge, kemudian berbalik menuju Kantor Pos.
“Ini Pak Guru, ada kiriman dari Swedia”
Wah, dari luar
negeri?
Sebuah kartu pos
bergambar katedral dengan beberapa menara beratap kerucut. Berlatar langit yang
berpadu dengan birunya laut. Tercetak dengan elegan diatas kertas lux.
Stockholm, 20.03.2013
@pembayunsekar
Nama yang tampak
familiar. Dan memang benar, setelah ditelusur via facebook, sang pengirim
adalah seorang kawan kuliah di UNS dulu. Seorang yang beruntung mendapatkan
beasiswa S2 Perencanaan Wilayah di Swedia. Tulisannya dalam kartu pos singkat,
“SELALU SEMANGAT BELAJAR”.
Langsung terbayang
bagaimana ekspresi murid-murid besok ketika saya pamerkan kartu pos dari negeri
yang nun jauh di seberang sana, negara dimana Zlatan Ibrahimovic lahir. Bila
ada tombol percepat untuk memutar waktu, rasanya ingin menekan tombol itu
sampai batas maksimal. Agar hari esok segera datang.
Akhirnya pagi
datang. Setelah menuntaskan urusan harian di kamar mandi tetangga sebelah,
cepat-cepat saya berangkat ke sekolah
untuk menunjukkan Kartu Pos yang diterima kemarin. Segera saya masuk kantor,
mengambil globe, dan langsung masuk ke kelas 4. Setelah memberi salam, berdoa,
dan menghafal doa sholat, langsung saya ambil globe dan memberikan intro
tentang negara Swedia. Murid-murid hanya mengangguk. Entah anggukan paham atau
anggukan bingung.
Setelah intro saya
cukupkan, saya ambil Kartu Pos dari dalam tas. Setengah berteriak, saya angkat
kartu pos itu tinggi-tinggi. “Kartu Pos
ini berisi salam dari Kakak-kakak yang sekarang sedang sekolah di Swedia”
“Kartu Pos Pak?”
“Dari Swedia?”
“Ya dari Swedia, negara Eropa yang Bapak ceritakan
tadi..”
Siiiiing! Hening
sesaat.
“Pak PR-nya dinilai dong”
“Iya Pak PR-nya dinilai, katanya hari ini mau diperiksa?”
Aduh, koq tanggapan
mereka biasa saja? Padahal kartu ini berasal dari negara yang mungkin hanya
sempat terlintas dalam mimpi mereka, sudah menempuh perjalan yang sangat jauh,
dan berisikan doa dan harapan agar murid-murid terus berusaha mengejar mimpi
mereka. Dalam bayangan saya yang muncul adalah beragam ekspresi terkejut,
murid-murid yang berebut melihat Kartu Pos dari Eropa, kelas yang histeris, dan
sejumlah reaksi keterkejutan yang lain.
Selidik punya
selidik, ternyata mereka sama sekali belum mengenal apa itu surat menyurat. Surat
yang mereka kenal cuma dua, surat Undangan Nikah dan Surat Al-Fatihah. Pantas
saja. Kartu pos dari Swedia hanya dianggap seperti foto pemandangan yang
digunting dari buku.
Akhirnya, dengan
semangat mengenalkan mereka pada surat dan dunia luar, saya putuskan untuk
memulai program “Surat dari Rura”. Tujuannya agar mereka bisa tahu ada dunia
lain selain Dusun Rura, kedua agar mereka lancar menulis.
Pertama memang
sangat kacau, tulisan mereka sama sekali tidak bisa saya mengerti. Struktur
kalimatnya terbolak-balik, huruf banyak yang tertukar, kurang, bahkan
kelebihan. Tidak masalah, yang penting mereka berani menulis. Akhirnya surat
pertama mereka saya kirim dengan menyertakan beberapa panduan membaca.
Surat pertama
dikirimkan ke seorang kawan pengampu sebuah TPA dan ke anak didik teman-teman
sesama Pengajar Muda.
Surat kedua,
ketiga, mereka sudah bisa menceritakan hal-hal yang variatif, tulisan sudah
mulai memanjang menjadi beberapa paragraf. Namun tetap saja mengundang tawa
bila dibaca, itulah yang saya sebut kejujuran dan kepolosan anak-anak.
Pada surat keempat,
akhirnya diputuskan untuk memulai mengirim surat ke tokoh-tokoh nasional.
Target utama tentu saja Presiden. Maka
hari itu saya perintahkan anak-anak untuk menulis surat kepada Presiden.
“Siapa Presiden kita anak-anak?”
“Kalma Katta Pak”, jawab mereka
serentak.
Aduh. Sejak kapan
Bupati Majene diangkat menjadi presiden? Dan lagi, setelah ditelusuri pejabat
yang mereka kenal cuma tiga orang. Kalma Katta, Pak Zakariah Kepala Desa, dan
Bapak Lena Kepala Dusun.
Akhirnya metode
menulis surat saya ubah. Jadilah setiap ada sesi menulis surat untuk tokoh,
saya tenteng foto-foto yang ada di kantor, bahkan beberapa sengaja saya print
agar mereka mengenal kepada siapa surat mereka akan dikirimkan. Selain itu saya
dongengkan dulu mengapa tokoh tersebut perlu dijadikan panutan bagi mereka.
Sukses, maka hampir
setiap minggu amplop-amplop beterbangan dari sudut dusun Rura menuju kediaman
SBY, Boediono, JK, B J Habibie, Jokowi, hingga Kalma Katta. Bahkan dalam suatu
acara, surat mereka ke Bupati Majene dibacakan di depan 9 Kepala Dinas di
Kabupaten Majene.
“Pak Kalma, kata Pak Didin kamu orangnya baik. Boleh
nggak saya menginap di rumah kamu? –kamu? ya begitulah
kepolosan mereka-. Nanti saya bawakan
langsat dan durian. Atli.”
Memang sengaja saya
tidak melakukan editing ataupun mengetik ulang surat mereka. Semua saya
sampaikan apa adanya. Surat dengan kertas yang sobek, agak dicoret-coret,
tulisan yang mirip hasil bacaan seismograf, dan banyak lagi “keunikan”-nya. Bahkan
surat yang struktur bahasanya “nyleneh” tetap saya biarkan. Biar jujur dan dapat
chemistry-nya, kata seorang teman penempatan yang psikolog.
Dan atas bantuan
beberapa orang teman, surat-surat lain juga berdatangan ke Rura. Dari Banggai,
dari Paser, Ceko, Jepang, Taiwan, Austria, dan yang membanggakan Radio PPI
dunia sengaja membuat program berkirim kabar entah via surat, video, foto, atau
apapun untuk memberi semangat anak-anak murid kami disini, Majene.
Jadi sekarang bila
ada sesi menulis surat, yang ditulis bukan hanya nama, kelas, sekolah, dan nama
guru. Sangat beragam. Cerita soal musim buah, cerita tentang keinginan bertukar
lagu, undangan untuk hadir ke Rura, bahkan cerita tentang impian-impiannya di
masa depan.
“Pak B J Habibie”
“Kata Pak Didin bapak bisa membuat pesawat terbang, saya
mau membuat pesawat terbang. Cita-
cita saya menjadi bidan yang sukses. Saya
ingin sekolah di Jawa. Saya ingin naik pesawat terbang”
“Wassalamu’alaikum wr wb”
Yuyun Shafira
Rangkaian kata-kata
Yuyun dikirim, terbang tinggi menuju langit. Menembus batas-batas cakrawala,
menjadi awal terwujudnya cita-cita sederhana yang ingin segera dicapainya.
“Cepat dibalas ya Pak Habibie”