Selasa, 01 November 2011

Burangrang Mountain, (cuma) 2050 MDPL

Langit pagi Burangrang

Jumat, 28 oktober 2011.
14:28

Terakhir mendaki kalau tidak salah sekitar tahun 2003, kalau tidak salah malam itu adalah malan Final Liga Champions AC Milan vs Juventus. Saya yang masih bocah SMP ingusan dan 7 teman saya memutuskan untuk merayakan kelulusan kami dengan mendaki dan nge-camp di gunung-gunung, atau mungkin bukit-bukit yang berderet rapi menghiasi kota kami. Banjarnegara.

**************
24 Oktober 2011

“Jadi nggak nih?”
“Gw pegang omongan lw, jangan sampe berhenti di niat doang”

Kata-kata seorang manajer senior di Kantor tempat saya bekerja. Kata-kata itu seolah menjadi tantangan bagi saya untuk membuktikan kalau saya masih kuat mendaki. Pak Djo, begitu beliau biasa kami panggil. Seorang penggiat alam senior -ini baru saya ketahui belakangan- begitu girang saat saya menanyakan padanya “Kapan kita naik Pak?”

Dengan semangatnya, beliau menyiapkan semua keperluan pendakian. Dari mobil, tenda, sleeping bag, matras, carrier, semuanya. Hal itulah yang membuat saya dan kawan-kawan menjadi pekewuh (tidak enak) jika tiba-tiba urung untuk mendaki.
“Apa sih yang nggak bisa buat seorang manajer?” katanya bangga.

***********************************
28 Oktober 2011
Berbekal dua buah mobil dari kantor, kami ber 6 (Saya, Pak Djo, Wira, Wiar, Wiwik, Risky) dan dua orang rekan Pak Djo (Keling dan Igo) berangkat menuju Cimahi. Kalau tidak salah kita berangkat menuju desa Cibolang.

Keluar Tol Pasteur, untuk mengisi tenaga sebelum naik, kami sengaja mengisinya dengan Tongseng Kambing. Mantap rasanya, ditambah hujan deras yang mendinginkan suasana. Namun ditengah nikmatnya tongseng, kami berharap hujna ini segera mereda agar pendakian berjalan lancar.
Sehabis magrib, sampailah kami di rumah Pak Khotimun, ketua RW dan tokoh senior di Desa. Teh hangat dan singkong goreng menyambut kami malam itu. Setelah sedikit berbasa-basi dan sampir pengechekan akhir peralatan mendaki, kami pun berpamit untuk segera memulai pendakian. Tentu saja setelah adanya nasehat2 dari Pak Khotimun.

20:22
Pendakian kami mulai. Berawal dari Bukit Mati. Itu yang dikatakan pemandu kami. Saya tidak tahu mengapa dinamakan demikian, menurut saya sih karena ada makam di dasar bukitnya. Makam sesepuh desa, kata Pak Khotimun tadi.

Karena tim terdiri dari pendaki-pendaki senior yang junior. Senior dari segi usia, namun junior dalam urusan mendaki, hehehe. Maka kami sudah berpesan ke pemandu kalau jalannya pelan-pelan saja. Hehehe.
Satu jam pertama melewati bukit mati, hanya padang rumput dan sedikit pohon cemara jarum yang menemani. Dibelakang kami, kota Cimahi mulai menampakkan sinar-sinar lampunya.
Awan mendung yang mendampingi kami sejak tadi memaksa kami berhati-hati dalam mengayunkan langkah di rumput yang basah. Sisa-sisa gerimis juga masih sesekali terjatuh membasahi jaket.

************************
Bukit mati terlewati.
Trek pendakian pendakian memasuki jalur “trek hutan” kalau boleh saya istilahkan begitu. Pohon-pohon sejenis salak yang berduri dan pepohonan pinus mulai menghiasi kanan kiri jalur yang kami lewat. Sesekali duri-duri itu memaksa kami meringis karena sentuhannya yang cukup menggores kulit. Tanah yang tetap kering menunjukkan pada kami betapa rimbunnya jalur itu, sampai-sampai hujan lebat tak mampu menembus rimbunnya dedaunan.

3 jam pendakian terlewat. Kelandaian jalur yang semula hanya berkisar 30-45 derajat mulai berubah curam. Langit yang mulai terlihat cerah, kota Cimahi yang mulai lebih jelas terlihat, pepohonan yang mulai jarang terlihat menunjukkan kepada kami bahwa puncak sudah dekat.

15 menit lagi!!
Kata pemandu kami.
Jarangnya pepohohonan membuat air hujan yang tadi sore turun membasahi tanah dan membuatnya menjadi licin. Beberapa kali saya dan beberapa teman tejatuh karena terpeleset. Untungnya, akar2 pohon yang menjalar membantu kami mendaki atau mungkin memanjat gunung. Berat bagi kami yang sehari-harinya hanya menghabiskan waktu didunia yang hanya selebar 17 inch.
Haahaha, capek ya?kata Kang Samuk -pemandu kami-
Karena lemahnya fisik kami, akhirnya pendakian agak terhambat karena banyaknya istirahat.

************************
32.48
Setelah beberapa kali kata-kata “15 menit lagi sampai puncak” dari kang Samuk, akhirnya kami benar-benar sampai di Puncak Gunung Burangrang. “15 menit lagi” ternyata hanya sebagai tipuan untuk memunculkan semangat kami yang sedang kendor.
Puas sekali rasanya merasakan kembali tiupan angin puncak gunung yang lama sudah tidak saya hirup. Tugu penanda puncak-pun saya naiki untuk menunjukkan kegembiraan saya. Sementara teman-teman yang lain sudah cukup dengan berfoto di depan tugu peringatan.
“Selamat datang di puncak Burangrang, 2050 MDPL” begitu bunyinya.

Sampai Puncak Juga

Kota Cimahi begitu indah menampakkan kerlap kerlipnya. Nun jauh sana, mungkin kota Bandung dan Cianjur juga menunjukkan kemilaunya. Di sebelah utara, Subang dan Sumedang juga seakan tak mau kalah pamer kecantikan kepada kami.
Tapi ternyata puncak Burangrang terlalu sempit untuk menampung 12 orang pendaki. Maka Kang Samuk memutuskan untuk membawa kami ke Puncak bayangan yang ada di sebelah timur puncak utama.
*************************

Masak Bakwan Goreng

04.48
Tenda sudah berdiri, teh hangat sudah tersaji, bakwan goreng karya Mbak Wiwik-pun sudah mengepul diatas piring. Sambil menunggu sun rise kami hanya mengobrol ringan dan mendengarkan cerita-cerita pendakian dari Kang Samuk, Pak Djo, dan teman-teman yang lain.
Beberapa teman yang terlalu lelah -karena inilah pendakian pertama mereka- sudah lama terlelap dalam tidurnya. Terbungkus hangatnya kantong tidur yang sengaja mereka beli untuk pendakian ini.

************************

Kabut Pagi

Kabut tebal dan angin kencang menghias sholat subuh kami. Yang kami khawatirkan, kabut itu akan menutupi senyum matahari pagi yang kami nanti.

Dan kekhawatiran itu pun terjadi juga, matahari baru menampakkan sinarnya jam 7 lebih. Muncul dari balik puncak Tangkuban Parahu. Sinar kuning cerah yang menunjukkan pada kami hujaunya pegunungan di sekitar Burangrang, jernihnya air Situ Lembang, dan angkuhnya rumah-rumah berdiri di bawah kami.
Puji syukur padamu Tuhan yang telah menunjukkan pada kami semua kebesaranmu.

 Pak Djo dan Bang Wiar
******************************

 Sunrise

Menatap jalan setapak
Bertanya - tanya sampai kapankah berakhir
Mereguk nikmat coklat susu
Menjalin persahabatan dalam hangatnya tenda
Bersama sahabat mencari damai
Mengasah pribadi mengukir cinta

Mahameru - Dewa 19
***************************

Tim Pendaki Amatir yang Profesional 

 Nggaya dulu sebentar

(bukan) Tim Ekspedisi Cincin Api
2050 MDPL, 29 Oktober 2011