Sabtu, 20 April 2013

Suka Jalan-jalan


Tukang mlaku. Itu nama yang saya pilih untuk beberapa account baik blog, email, dan bebrapa ID di sosial media. Banyak yang bertanya, kenapa tukang mlaku?

Saya juga lupa bagaimana saya akhirnya memilih nama itu. Yang jelas karena saya suka jalan. Jalan kaki dan bersepeda. Tukang mlaku berarti tukang jalan-jalan.

Juga karena saya sarjana Teknik Sipil yang sering dijuluki tukang oleh banyak teman. Tukang mlaku berarti juga tukang yang terus berjalan mencari proyek. Hehe.

Saya ingat ketika SD saya dan beberapa teman selelu memilih rute berbeda setiap hari untuk ke sekolah. Kadang lewat sawah, menyeberang sungai, meniti rel kereta api bekas, lompat pagar, pokoknya tiap hari harus ada cara seru buat ke sekolah. Hingga SMA, kebiasaan ini berlanjut. Disaat banyak teman yang beradu cepat dengan sepeda motornya, saya dan tiga orang teman lebih memilih berjalan kaki dari rumah ke sekolah, tidak terlalu jauh memang namun cukup membuat kaki pegal.

Ketika kuliah, kebiasaan ini menjadi makin parah. Apalagi dua orang teman kos memiliki hobi yang sama. Ditambah ketika itu kami sudah bisa mencari penghasilan sendiri. Hal ini yang menjadi awal cerita penjelajahan ke banyak daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, sebagian Jawa Barat, Ibukota, bahkan ke luar negeri. Tetap, dengan jalan kaki.

Setelah lulus kuliah, hobi ini makin akut. Setahun bekerja, Sumatera dan Sulawesi terjelajahi. Hingga tahun ketiga setelah lulus, hobi ini membawa saya terbang ke Majene, Sulawesi Barat. Tapi tugas kali ini menuntut saya untuk tinggal selama satu tahun di Majene, bukan untuk menjadi flashpacker seperti yang biasa saya lakukan.

Tapi dasar hobi, disini pun saya tidak bisa diam. Tiga bulan, seluruh tempat tinggal kawan saya disini sudah terjejak oleh kaki saya. Beberapa daerah yang lebih pelosok sudah saya kunjungi. Sejumlah tempat eksotis saya temukan. Dan beberapa peluang baru datang menghampiri.

Ya, peluang. Sebetulnya itulah inti dari hobi jalan-jalan yang kerap saya lakukan. Jalan-jalan adalah menambah peta jelajah pribadi, menemukan satu lagi cara untuk mejangkau suatu tempat, menambah kenalan dan koneksi, dan peluang. Karena selama berjalan saya melihat sesuatu yang baru. Dan bila sesuatu yang baru itu bisa saya hubungkan dengan semua yang ada di pikiran, pastilah muncul suatu ide.

Itulah mengapa saya lebih memilih jalan kaki atau paling cepat bersepeda. Disaat berjalan kaki, saya tidak perlu repot mengganti gigi, mengerem, menarik gas, atau hal-hal yang membuat pikiran saya sibuk. Yap, ketika jalan kaki pikiran santai dan sesuatu yang dilihat saat itu bisa langsung di-konek-kan menjadi ide dan peluang baru. Jalan kaki membuat saya memperoleh sudut pandang lain dibanding ketika naik motor atau naik bis. Kecepatan jalan kaki yang relatif rendah juga memberi kesempatan otak untuk mencerna apa yang dilihat. Bukan hanya sekedar pemandangan yang melintas cepat dalam kecepatan 60 km/jam.

Ah tapi itu terlalu membuang waktu dan biaya.

Siapa bilang? Angka-angka besar yang menyerbu rekening mayoritas berawal ketika mengamati deretan kios PKL, menyusur sungai, atau menikmati es teh di tepian aspal. Ide yang membuat saya mendapat hadiah jalan ke Malaysia dan memperoleh Piala perak dalam suatu penghargaan berawal dari bata pecah yang saya lihat di tepian halte.

Metode menggambar cepat beramai-ramai kami temukan ketika kepanasan di Citywalk kota Solo. Begitu juga di Majene, ide membuat resort muncul ketika melihat tepian pantai hutan bakau yang hanya dibiarkan tertutup bungkus mie instan. Keinginan membuat toko buku tumbuh saat pusing mencari buku bacaan untuk mengusir kebisanan. Melihat biji kopi dan coklat yang melimpah memunculkan bayangan kios penjualan kopi dan  olahan cokelat.

Terbukti memang apa yang dikatakan orang, jalanan adalah sekolah yang sebenarnya.

Memang memakan biaya dan waktu. Namun bila manajemen yang dilakukan bagus, biaya dan waktu yang dikeluarkan akan sebanding dengan hasil yang didapatkan. Dan mengapa harus ke luar kota? Perjalanan ke luar kota baru saya lakukan sekitar 2-3 tahun ke belakang ketika sudah bisa memiliki penghasilan. Sebelum itu? Ya hanya berjalan kaki keliling kota saja. Mencoba mengeksplor daerah yang belum pernah dimasuki. 

Saya yakin belum semua gang kecil yang ada di kota kelahiran pernah saya injak.

Tidak salah bila Allah memerintahkan manusia untuk bertebaran di muka bumi. Sudah jelas, karena makin sedikit bergerak, makin sedikit pula yang dilihat (baca:makin sedikit ilmu yang didapat). Tanpa ilmu dan wawasan yang luas, sudah barang tentu kehidupan jadi terasa sempit.

Tukang mlaku. Tetap akan berjalan, terus bergerak mencari proyek, haha.

Aku Superhero?


Disalami Wakil Presiden, dicitrakan sebagai sarjana-sarjana terbaik bangsa, dibangga-banggakan sebagai calon pemimpin masa depan, memiliki akses yang sangat luas untuk masuk ke Ring 1, dekat dengan Bupati, Wakil, hingga Kepala Dinas. Sudah pasti hal itu menjadikan Pengajar Muda (PM) menempati posisi seorang “tokoh” di dusun. Ditambah dengan polesan cerita di sana sini, sudah pasti masyarakat menjadi semakin “wow” memandang seorang PM.

Duduk pasti di podium utama sebelah Pak Desa atau Pak Haji, kemanapun pergi selalu diperhatikan, bahkan ketika sakit atau jatuh dari motor dan lecet sedikit saja, beritanya bisa menyebar luas melewati batas-batas administratif kecamatan. Terlihat berlebihan? Tapi memang begitu kenyataannya.

Sebagai seorang “tokoh” dengan embel-embel yang meninggikan hati, seringkali saya terjebak untuk melakukan semua hal sendirian. Bisa melakukan segala hal, mau melakukan apa saja, ringan tangan membantu orang lain, apapun. Betul, menjadi superhero dusun yang akan dikenang sepanjang masa.



“Pak Didin dulu biar malam hari berani lho jalan kaki ke pinggir”

“Pak Didin pernah lho sendirian datang ke sekolah dan mengajar enam kelas sekaligus ketika hari hujan dan tidak ada guru yang datang”

Ya, secara pribadi ego saya selalu menuntun untuk menjadi sosok super. Apalagi saya adalah PM ke tiga yang ditempatkan di Rura, sudah pasti akan selalu dibandingkan dengan dua orang pendahulu saya. Jujur, kuping saya sedikit gerah ketika saya melakukan sesuatu kemudian dibandingkan dengan dua pendahulu saya. Hal itu membuat saya selalu ingin melampaui semua pencapaian yang sudah diperoleh oleh dua PM sebelumnya.

“Kalahkan egomu”. Itu yang selalu diingatkan oleh Tika, koordinator kabupaten ketika rapat. “Bukan hal yang salah ketika ingin melakukan sesuatu di Dusun, bukan pelanggaran pula bila memiliki obsesi untuk melakukan A, B, C, D sampai Z. Namun harus selalu diingat, tujuan besarnya adalah untuk mendorong perubahan masyarakat”.

Kalau diibaratkan dalam sebuah balapan menuju kemajuan, saya bukanlah mobil yang mengantar menuju garis finish, bukan pula pembalap yang mengarahkan dan berpacu secepat mungkin, bukan pula bensin yang membuat mobil melaju. Saya hanya akselerator yang mendorong mobil melaju lebih kencang. Tanpa saya-pun, mobil tetap bisa sampai di garis finish.

Jika semua hal dilakukan sendiri saya memang terlihat menjadi sosok yang hebat. Namun lama kelamaan ketergantungan warga ke saya menjadi semakin tinggi, dan ketika saya pergi segalanya akan kembali seperti semula. Yang tersisa hanya nama yang melegenda, namun tidak ada “sisa” yang betul-betul bisa dimanfaatkan masyarakat untuk secara mandiri berjalan menuju kemajuan.

Tapi biar bagaimanapun saya harus jadi superhero, setidaknya untuk menggebrak dulu di awal. Dan disini ego saya harus memilih, mau jadi Superhero Genetis atau non-Genetis.

Superhero Genetis, mereka yang menjadi super karena takdir. Superman, Thor, MetroMan, Ultraman, Manusia Saiya, Gundala, X-Men. Takdirlah yang menyisipkan gen super di dalam tubuh mereka.
Superman misalnya. Ditakdirkan lahir di Planet Krypton. Bila Krypton tidak hancur dan dia tidak dikirim ke Bumi, tentu saja kehidupannya biasa saja. Kenapa? Karena semua orang di Krypton sama kuatnya seperti Superman. Ini pembeda pertama, he is an outsider.

Bahkan Louis Lane yang notabene adalah orang terdekat tidak mampu mewarisi –walau sekedar- mata super atau kemampuan terbang. Yang terjadi, dari kereta bayi hampir ditabrak mobil hingga bumi akan hancur, Superman yang turun tangan. Ya, ketergantungan.

Ketika superman hilang (mati suri), orang-orang seolah tak punya harapan hidup. Tidak ada yang bisa menggantikan Superman. Kenapa? Karena tidak ada orang lain yang memiliki gen super.

Mereka –Superhero Genetis- eksklusif. Tidak semua orang atau tepatnya tidak ada orang yang bisa menjadi seperti mereka.

Batman? Dia juga superhero, namu dia berbeda. Bruce Wayne anak manusia biasa. Dia takut gelap, takut kelelawar, dan punya trauma dengan kekerasan. Tidak ada “gen” super yang disisipkan Tuhan dalam dirinya. Ke-super-annya tumbuh karena pengalaman hidup.

Berbekal kelebihan finansial –dan intelegensi- yang dimiliki, dia ingin merubah kampung halamannya, Gotham yang “tidak manusiawi” menjadi lebih ramah. Dia kerahkan segala sumber daya yang dimiliki untuk mencapainya. Sendirian? Yang terlihat memang begitu.

Tapi ada Lucius Fox yang menjadi arsitek terciptanya Tumbler, Batpod, dan segala peralatan canggih Batman. Ada Alfred, yang mengurus hal-hal remeh sekaligus menjadi penasehat pribadi Sang Superhero. Ada Gordon, Robin, bahkan “fake Batman” yang seolah menjadi “penampakan” Batman ketika dia hilang. Semua yang memiliki visi  “Memanusiakan Gotham” dirangkul, difasilitasi, dan dididik agar mampu bergerak secara mandiri.

Bahkan Batman mampu melawan ego Superhero-nya ketika muncul “manusia biasa” yang berasal dari Gotham, Harvey Dent, seorang jaksa wilayah yang bersih –dan tanpa topeng-. Untuk merubah poros keadilan dari dirinya ke Dent, Batman rela menjadi buron, di-kambinghitam-kan sebagai penjahat, dan menyembunyikan aib Dent (Two Face)selama 8 tahun lamanya.

Memang Gotham menjadi kacau kembali. Bisa saja Batman bertindak. Namun, apa guna? Dengan mengambil alih situasi tujuan besar tidak mungkin tercapai. Perubahan memang perlu proses panjang, dan bisa jadi kekacauan tersebut tidak sekacau sebelumnya.

Dan hebatnya, Batman tahu dia punya batas waktu, akan melemah dan mati sehingga untuk menjaga keberlanjutan visinya, dia menyiapkan suksesor. Robin dan Catwoman –dalam versi  Batman&Robin- adalah pendamping serta calon pengganti Batman.

Juga Ironman, the Punisher, dan sedikit superhero “non-genetis” yang menjadi superhero bukan karena “takdir” atau “kecelakaan”, namun lebih karena niat baik yang dibarengi dengan ikhtiar.

Buatlah sistem. So if you’re gone, it still runs properly. Namamu mungkin akan hilang dan terlupakan. Tapi dengan adanya sistem yang memaksa masyarakat terlibat langsung, akan muncul kesadaran dan rasa kepemilikan sehingga tujuan besar menuju perubahan bisa dipastikan terus berjalan. Dan bukankah ini masuk dalam kriteria amal jariyah yang tak akan pernah putus masuk ke rekening akhirat selama sistem itu dipakai? 

Jadi superhero Genetis atau non-Genetis, itu adalah pilihan.

Disini hanya setahun. Tinggalkan jejak, bukan nama.

Nama Cuma bisa diingat dan dikenang, namun jejak bisa diikuti.

Selasa, 02 April 2013

Dilema Listrik


13649483631736658411
Matahari kian terik membakar bumi. Rangkaian rumbia yang menutup rumah hampir tak mampu lagi menahan radiasi panas. Hanya alunan nada daun coklat yang bergesekan mampu memberi kesejukan membawa semilir angin beraroma kayu coklat. Buah kemiri di pelataran kian ramai bergemeretak, menguapkan kandungan air dan menjadikan diri siap dipecah sore nanti.
Orang-orang masih terhanyut dalam peluh menatikan bel istirahat saat adzan dzuhr datang menggema. Hening. Hanya suara televisi yang sayup terdengar, bergantian dengan suara alam yang harmonis.
Suara televisi di siang hari?

Oh saya lupa, saya sedang berada di Dusun Awo Kecamatan Tamero’do. 35 km jauhnya dari dusun Rura tempat saya tinggal. Dusun yang sangat berbeda keadaanya, rumah-rumah panggung berbaris rapi berdampingan dengan rumah batu –rumah tembok-, dibatasi pagar-pagar bambu berwarna biru putih yang melindungi bunga-bungaan indah yang hampir mekar. Beberapa rumah terlihat hijau oleh rumput yang menutup halamannya. Masjid berdiri gagah di pusat dusun.

Yang jelas listrik sudah masuk dan menyala 24 jam sehari, bukan pukul 17-22 seperti rata-rata kampung di gunung. Kawan saya yang ditempatkan di Awo tidak perlu repot turun ke dusun bawah untuk sekedar menge-charge laptop dan handphone, kamera bisa terus merekam tiap detik tingkah lucu anak-anak.
1364947940785850443
Genset yang baru dipasang

Dan dusun berlistrik terlihat lebih hidup. Suara adzan dari toa mampu menyapa telinga bapak-bapak yang ada jauh di dalam hutan. Pelajaran tambahan dan belajar mengaji bisa dilakukan sampai jauh malam. Film tentang binatang dan tata surya favorit anak-anak bisa diputar setiap malam.

Iri aku menyaksikan ini
Tapi kutekad aku harus bersyukur
Berguru pada kenyataan
Pada makhluk Tuhan yang katanya tak berakal

Sepenggal lirik “Kupu-kupu Hitam Putih” milik Iwan Fals langsung terlintas di benak. Saya juga ingin listrik, jerit yang terus menggema dalam hati.
________________________
Langit masih melukiskan biru yang sama, atap rumbia masih berusaha sekuat tenaga menghalau panas matahari. Es mulai mencair, melahirkan butir-butir embun yang perlahan mulai turun membasahi gelas.
Deretan tiang beton perangkai kabel-kabel masih angkuh berdiri menembus hutan. Berusaha menerangi ujung-ujung peradaban sebagai prasyarat agar layak disebut sebagai “keberhasilan pembangunan” atau “adilnya pemerataan”.

Saya ada di dusun bawah, tempat biasa “mencari” listrik ketika handphone dan laptop sudah kedip-kedip minta diisi. Dusun yang ada di jalan poros ini memang sudah lama dianugerahi lsitrik yang melimpah.
13649481541806368875
Genset yang dipasang

Namun diwaktu dzuhur masjid tidak mendendangkan merdunya adzan. Pun begitu ketika ashar. Ba’da maghrib tidak terdengar dengungan anak-anak yang dengan susah payah membedakan bacaan ikhfa dengan idhgam. Buku-buku dan PR tetap tersimpan rapi di dalam tas, tak tersentuh. Ruang belajar kosong, padahal lampu menyala terang.

Keriuhan hanya terlihat di ruang tengah tiap rumah. Ruangan dimana sebuah kotak 21 inch menjadi pusatnya. Ada yang tersenyum, tertawa, mendongak, melongo, bahkan beberapa  terlihat membungkus dirinya dengan sarung, menikmati kesendirian di pojok ruang tanpa menggeser bola mata dari televisi. Menikmati sinetron, gosip, tayangan olahraga, dan drama penjual mimpi yang pergi dan datang silih berganti.

Teras-teras bernyawa lampu 10 watt juga tidak kalah ramai dengan pemuda dan bapak-bapak yang asyik bermain domino dan kartu remi. Ada yang tertawa senang, ada pula yang meringis mengikhlaskan wajahnya “dirias” tepung oleh kawan-kawannya.
Ternyata listrik di Dusun bawah memunculkan wajah yang lain.
________________________
Saya sangat terkejut ketika suatu hari sepulang dari kota beberapa warga dusun menarik saya ke kebun belakang rumah.

”Bapak lihat saja nanti”

Dari balik rerimbunan daun kopi terlihat  sebuah mesin diesel yang sedang diisi solar. Biru dengan cerobong aluminium mengkilat bermahkota tangki solar berwarna merah. MADE in CHINA, begitu tulisan yang terlihat mencolok dari kejauhan. Kabel-kabel hitam menjulur, membelit, memotong, dan tergantung diantara pohon-pohon terus menerobos masuk ke tiap-tiap rumah tanpa satupun terlewat.
“Sebentar malam akan di uji coba Pak, mulai minggu depan Genset Dusun bisa beroperasi”

Ternyata bantuan genset dusun sudah masuk. Menurut Pak Dusun, genset itu mampu menerangi sekitar 30 rumah di Dusun Rura yang sudah sekian lama ada dalam kegelapan. Cukup patungan seribu rupiah setiap rumah per satu malam, maka listrik akan menyala mulai pukul 17.00 sampai solar hasil patungan habis ditelan mesin genset.

Alhamdulillah, berarti mulai minggu depan keheningan malam akan tergantikan dengan gaduhnya anak-anak yang berebut duduk di dekat monitor laptop. Menantikan tayangan National Geographic diputar. Pak Haji tidak perlu lagi memicingkan mata ketika senter yang menerangi Al-Qur’an santri-santrinya mulai meredup. Perpustakaan gelap yang selalu dianggap setting film horor akan berubah terang benderang dan penuh anak yang berebut buku, kertas gambar, serta pensil warna. Dan yang pasti, tamatlah riwayat kaleng susu kosong bersumbu yang sahabat setia warga Rura selama ini. Mirip suasana di Dusun Awo yang saya datangi tempo hari.

Namun, bagaimana bila yang terjadi justru sebaliknya?

Rumah Pak Haji ditinggalkan, kalah oleh gemerlap dunia yang dipamerkan layar-layar televisi. Suara adzan terabaikan oleh alunan gendang dangdut electon. Rumus dan hafalan pelajaran tergantikan oleh dialog-dialog kosong yang dicontohkan sinetron.

Listrik sudah akan masuk Rura, apa yang akan terjadi?


Rura, 2013.