“Tingkat
kehadiran Guru di daerah terpencil sangat rendah”
“Guru
daerah terpencil memang malas mengajar, mereka hanya menikmati gaji buta”
“Bagaimana
anak pedalaman bisa cerdas, Gurunya tidak pernah hadir”
Dan
begitu memang kenyataan yang saya lihat pada awal mulai mengajar di SDN Inpres
22 Rura. Kalimat-kalimat itu kuat memprovokasi. Marah. Jengah dan kesal melihat
guru yang jarang hadir. Ingin rasanya berteriak dan menunjuk muka satu persatu
Guru.
“Bapak ini
bertugas mencerdaskan anak-anak, kenapa begitu mudah melepas tanggung jawab?
Menelantarkan anak-anak yang sudah bersemangat datang ke sekolah dan membiarkan
mereka tetap dalam kebodohan?”
“Mengapa
Bapak jarang hadir ke sekolah? Mana tanggung jawab Bapak sebagai Guru”
_____________________________
Namun
kemarahan itu perlahan luntur ketika mulai mengenal guru-guru dengan lebih
dekat. Tahu dimana rumahnya, kenal keluarganya, sudah lebih santai ketika
berbicara, bukan hanya sekedar topik basa-basi untuk mengusir keheningan. Sudah
pula berani untuk bermalam (bagi orang Mandar, bila seorang tamu bermalam
berarti sudah dianggap masuk sebagai anggota keluarga).
Seperti
malam itu, saya menginap di rumah Pak Kepala Sekolah. Hadir juga menemani Pak
Kaco, seorang Guru senior yang hampir pensiun, dan Pak Rasyid, ayah angkat
kedua serta Guru di SD tempat saya mengajar.
Dan entah
darimana mulanya, obrolan kami sampai kepada bagaimana mereka mengawali karir
sebagai Guru. Mulai dari masa pendidikan di SPG Polewali, cerita saat menjadi
guru honorer, bagaimana bertemu istri, dan bagaimana masa-masa setelah diangkat
menjadi PNS yang mengajar di daerah terpencil.
Pak
Kepsek mengawali cerita. Berlatar tahun 1994, beliau mengawali karir di SD
Kolehalang –daerah transmigran yang terletak sekitar 30-an km dari Jalan Poros.
Disambung dengan Pak Kaco yang mendapatkan amanah di SD Ulumanda –titik terjauh
di Kecamatan Ulumanda, sekitar 10-20 km diatas Kolehalang.
Bila
digambarkan, seperti inilah lokasi pengabdian para Guru hebat tersebut: Jarak
antara Makassar Majene 300an km, ditambah 76 km jarak dari Majene ke gerbang
desa. Dari gerbang desa berturut-turut adalah Rura-Sambabo-Kabiraan-Babasondong
berjarak sekitar 11 km, barulah Taukong-Kolehalang-Ulumanda sekitar 40-an km.
Dan di tahun 1994, jalan yang ada bukanlah jalan tanah berbatu seperti
sekarang. Yang ada hanya jalan setapak, atau bahkan pernah guru-guru ini
merintis jalan menuju sekolah.
“Kamu sekarang enak, naik motor paling hanya
15 menit. Dulu paling tidak butuh setengah hari untuk berjalan sampai Rura”.
Pak
Kepala sekolah dan Pak Kaco lebih parah. Perjalanan ke Kolehalang bisa memakan
waktu satu hari penuh, bahkan tidak jarang mereka menginap di hutan. Bila
berangkat mengajar, Bapak selalu membawa tas ransel untuk perbekalan dua minggu
mengajar. Ya, jujur Pak Kepsek dan Pak Kaco mengakui mereka hanya mengajar
selama dua minggu di atas. Dua minggu sisanya mereka habiskan di bawah.
Jadi,
dalam sebulan kerja Bapak hanya dua minggu melaksanakan kewajiban?
Memang, secara
kasat mata itu yang terlihat di mata kita dalam posisi sebagagai pengamat,
bukan pelaku. Pada awalnya saya-pun beranggapan begitu. “Aaah itu sih
bisa-bisanya Bapak membuat alasan”. Namun setelah bercerita lebih jauh, ada
sisi yang tidak bisa dilihat oleh orang yang tidak mengalaminya secara
langsung.
Para guru
ini sudah merelakan sebagian hidupnya, kehilangan waktu berharga bersama
keluarga tercinta untuk mengajar di daerah terpencil. Membiarkan masa muda dan
kekuatan mereka tergerus oleh langkah-langkah kecil menembus hutan. Membagi
sedikit ilmunya untuk sedikit menghilangkan “dahaga ilmu” masyarakat daerah
terpencil. Dalam keterbatasan dan kesulitan yang seringkali tidak pernah
terbayang sama sekali.
Dua
minggu mengajar dalam keadaan seperti ini saya yakin sudah cukup menghabiskan
tenaga dan pikiran para guru. Dan sebagai manusia normal, mereka juga butuh
keseimbangan dalam hidup. Mereka juga ingin menjalankan peran lain dalam
kehidupan pribadi yang mereka miliki secara seimbang. Sebagai suami, sebagai
ayah, sebagai anak, sebagai yang lain.
Masihkah
berfikir bahwa guru-guru ini pemalsa dan tidak bertanggung jawab?
Mungkin
memang masih banyak yang buta huruf di tempat mereka mengajar, namun bisa jadi
ini sudah jauh lebih baik daripada keadaan disaat mereka belum hadir disana.
Semua perlu proses.
Memang,
kian hari infrastruktur di desa menjadi semakin baik. Namun itu tidak membuat
guru-guru baru tertarik mengabdi di pedalaman. Guru di pedalaman kian hari kian
berkurang. Lagi-lagi masalah kesejahteraan yang menjadi alasan mengapa banyak
yang memilih menjadi guru “Kota” daripada guru “Gunung”. Jadi tinggallah Pak
Kasman, Pak Kaco, Pak Rasyid yang walaupun sudah semakin lemah masih merelakan
dirinya untuk mengambil bagian dalam upaya nyata membuat anak-anak tetap
memiliki harapan.
Mereka terus
bergerak walaupun dikepung oleh prasangka yang mendiskreditkan pengabdian yang sudah diperbuat. Label pemalas, pemakan
gaji buta, guru yang enggan maju tak mampu lagi menghentikan langkah guru-guru
hebat ini.
Saya
hanya bisa tertegun. Saya mengaku bahwa saya baru bisa “melihat”, bukan
“memahami”, bahkan “memaknai” sesuatu.
_________
Pagi pun
muncul secara perlahan, sedikit demi sedikit mengubah gelap malam menjadi
terang benderang. Begitupun Pak Kasman, Pak Kaco, dan Pak Rasyid. Mereka bukan
matahari yang mampu memberi energi pada seluruh siang. Mereka hanya segaris
cahaya jingga yang membuka pagi. Tidak mampu menerangi, namun mampu memberi
harapan bagi manusia bahwa sebentar lagi mentari hadir mengganti gelapnya
malam.
Loteng
atas, 2012.