Minggu, 03 Maret 2013

Mereka Guru Hebat


                                         
“Tingkat kehadiran Guru di daerah terpencil sangat rendah”

“Guru daerah terpencil memang malas mengajar, mereka hanya menikmati gaji buta”

“Bagaimana anak pedalaman bisa cerdas, Gurunya tidak pernah hadir”

Dan begitu memang kenyataan yang saya lihat pada awal mulai mengajar di SDN Inpres 22 Rura. Kalimat-kalimat itu kuat memprovokasi. Marah. Jengah dan kesal melihat guru yang jarang hadir. Ingin rasanya berteriak dan menunjuk muka satu persatu Guru.

“Bapak ini bertugas mencerdaskan anak-anak, kenapa begitu mudah melepas tanggung jawab? Menelantarkan anak-anak yang sudah bersemangat datang ke sekolah dan membiarkan mereka tetap dalam kebodohan?”

“Mengapa Bapak jarang hadir ke sekolah? Mana tanggung jawab Bapak sebagai Guru”
_____________________________

Namun kemarahan itu perlahan luntur ketika mulai mengenal guru-guru dengan lebih dekat. Tahu dimana rumahnya, kenal keluarganya, sudah lebih santai ketika berbicara, bukan hanya sekedar topik basa-basi untuk mengusir keheningan. Sudah pula berani untuk bermalam (bagi orang Mandar, bila seorang tamu bermalam berarti sudah dianggap masuk sebagai anggota keluarga).

Seperti malam itu, saya menginap di rumah Pak Kepala Sekolah. Hadir juga menemani Pak Kaco, seorang Guru senior yang hampir pensiun, dan Pak Rasyid, ayah angkat kedua serta Guru di SD tempat saya mengajar.

Dan entah darimana mulanya, obrolan kami sampai kepada bagaimana mereka mengawali karir sebagai Guru. Mulai dari masa pendidikan di SPG Polewali, cerita saat menjadi guru honorer, bagaimana bertemu istri, dan bagaimana masa-masa setelah diangkat menjadi PNS yang mengajar di daerah terpencil.
Pak Kepsek mengawali cerita. Berlatar tahun 1994, beliau mengawali karir di SD Kolehalang –daerah transmigran yang terletak sekitar 30-an km dari Jalan Poros. Disambung dengan Pak Kaco yang mendapatkan amanah di SD Ulumanda –titik terjauh di Kecamatan Ulumanda, sekitar 10-20 km diatas Kolehalang.

Bila digambarkan, seperti inilah lokasi pengabdian para Guru hebat tersebut: Jarak antara Makassar Majene 300an km, ditambah 76 km jarak dari Majene ke gerbang desa. Dari gerbang desa berturut-turut adalah Rura-Sambabo-Kabiraan-Babasondong berjarak sekitar 11 km, barulah Taukong-Kolehalang-Ulumanda sekitar 40-an km. Dan di tahun 1994, jalan yang ada bukanlah jalan tanah berbatu seperti sekarang. Yang ada hanya jalan setapak, atau bahkan pernah guru-guru ini merintis jalan menuju sekolah.

 “Kamu sekarang enak, naik motor paling hanya 15 menit. Dulu paling tidak butuh setengah hari untuk berjalan sampai Rura”.

Pak Kepala sekolah dan Pak Kaco lebih parah. Perjalanan ke Kolehalang bisa memakan waktu satu hari penuh, bahkan tidak jarang mereka menginap di hutan. Bila berangkat mengajar, Bapak selalu membawa tas ransel untuk perbekalan dua minggu mengajar. Ya, jujur Pak Kepsek dan Pak Kaco mengakui mereka hanya mengajar selama dua minggu di atas. Dua minggu sisanya mereka habiskan di bawah.

Jadi, dalam sebulan kerja Bapak hanya dua minggu melaksanakan kewajiban?

Memang, secara kasat mata itu yang terlihat di mata kita dalam posisi sebagagai pengamat, bukan pelaku. Pada awalnya saya-pun beranggapan begitu. “Aaah itu sih bisa-bisanya Bapak membuat alasan”. Namun setelah bercerita lebih jauh, ada sisi yang tidak bisa dilihat oleh orang yang tidak mengalaminya secara langsung.


Para guru ini sudah merelakan sebagian hidupnya, kehilangan waktu berharga bersama keluarga tercinta untuk mengajar di daerah terpencil. Membiarkan masa muda dan kekuatan mereka tergerus oleh langkah-langkah kecil menembus hutan. Membagi sedikit ilmunya untuk sedikit menghilangkan “dahaga ilmu” masyarakat daerah terpencil. Dalam keterbatasan dan kesulitan yang seringkali tidak pernah terbayang sama sekali.

Dua minggu mengajar dalam keadaan seperti ini saya yakin sudah cukup menghabiskan tenaga dan pikiran para guru. Dan sebagai manusia normal, mereka juga butuh keseimbangan dalam hidup. Mereka juga ingin menjalankan peran lain dalam kehidupan pribadi yang mereka miliki secara seimbang. Sebagai suami, sebagai ayah, sebagai anak, sebagai yang lain.


Masihkah berfikir bahwa guru-guru ini pemalsa dan tidak bertanggung jawab?

Mungkin memang masih banyak yang buta huruf di tempat mereka mengajar, namun bisa jadi ini sudah jauh lebih baik daripada keadaan disaat mereka belum hadir disana. Semua perlu proses.

Memang, kian hari infrastruktur di desa menjadi semakin baik. Namun itu tidak membuat guru-guru baru tertarik mengabdi di pedalaman. Guru di pedalaman kian hari kian berkurang. Lagi-lagi masalah kesejahteraan yang menjadi alasan mengapa banyak yang memilih menjadi guru “Kota” daripada guru “Gunung”. Jadi tinggallah Pak Kasman, Pak Kaco, Pak Rasyid yang walaupun sudah semakin lemah masih merelakan dirinya untuk mengambil bagian dalam upaya nyata membuat anak-anak tetap memiliki harapan.
Mereka terus bergerak walaupun dikepung oleh prasangka yang mendiskreditkan pengabdian  yang sudah diperbuat. Label pemalas, pemakan gaji buta, guru yang enggan maju tak mampu lagi menghentikan langkah guru-guru hebat ini.

Saya hanya bisa tertegun. Saya mengaku bahwa saya baru bisa “melihat”, bukan “memahami”, bahkan “memaknai” sesuatu.
_________

Pagi pun muncul secara perlahan, sedikit demi sedikit mengubah gelap malam menjadi terang benderang. Begitupun Pak Kasman, Pak Kaco, dan Pak Rasyid. Mereka bukan matahari yang mampu memberi energi pada seluruh siang. Mereka hanya segaris cahaya jingga yang membuka pagi. Tidak mampu menerangi, namun mampu memberi harapan bagi manusia bahwa sebentar lagi mentari hadir mengganti gelapnya malam.

Loteng atas, 2012.

Anak Dusun..


Beberapa anak terlihat berlarian, berebut bola, menggiringnya, kemudian menendang, berusaha memasukkan benda bundar itu ke dalam gawang. Badan mereka nampak tegap dan sehat. Sementara yang lain sibuk dengan gundu, bola kasti dan kulit kemiri, atau sekedar berlari-lari menyusuri teras. Sama seperti SD di bagian Indonesia yang lain, seragam putih merah masih setia menempel walaupun banyak yang sudah terlihat lusuh. Ada tas tergantung pada setiap punggung, namun hanya satu dua yang terlihat bersepatu.




08:00 WITA. Pelajaran seharusnya sudah dimulai. Namun karena akses ke Desa yang sangat sulit, wajar bila banyak guru yang tinggal di pinggir –istilah yang dipakai orang Pegunungan untuk menyebut warga pesisir- sering datang terlambat.
 “Pak, masuk kelas enam ya?”

“Masuk kelas empat saja Pak...”

“Pak kelas lima kosong, mengajar kami saja”

“Kapan masuk kelas tiga Pak?”

Permintaan-permintaan itu hanya sempat terbalas oleh senyum. Begitulah keadaan di Rura, murid selalu meminta guru masuk ke kelasnya. Mereka haus pengetahuan. Jangan heran bila ada yang berteriak “Lagi Pak, lagi!!” ketika jam pelajaran sudah habis dan soal sudah selesai dikerjakan.

Benarkah bila ada yang menyatakan semangat belajar di desa terpencil itu rendah? Tidak, mereka justru punya spirit yang jauh lebih tinggi dibanding anak-anak sekolah di kota.

Semangat anak Rura sudah dimulai jauh sebelum langit menampakkan terangnya. Dalam dekapan kabut pagi, mereka sudah berlomba menuju sumur desa untuk beradu kuat dengan dinginnya air dan udara subuh. Tanpa sarapan –sarapan bukanlah kebiasaan warga Rura- mereka segera bersiap dan menunggu datangnya Guru melintas di depan rumah. Terkadang ada yang menghampiri dengan nafas sedikit terengah.

“Tadi Saya lari biar berangkat bareng Bapak”, begitu katanya sambil bergabung dengan kawan-kawannya untuk berjalan dan bernyanyi bersama menuju sekolah.

Namun seringkali keinginan belajar di kelas sedikit tertunda karena Penjaga Sekolah yang belum datang membuka pintu-pintu kelas, atau karena Pak Guru berhalangan hadir, atau karena harus membantu orang tua mencari sappiri (kemiri – bahasa Mandar Gunung) di hutan. Bahkan beberapa bulan lalu karena beberapa kelas sedang direhab, anak-anak harus rela bergantian ruang kelas, atau bergabung dengan kelas lain.

Di tengah kepungan kebun coklat dan suara serangga yang tak pernah putus, anak-anak Rura menuliskan satu persatu huruf dan angka yang menuntun mereka menuju masa depan. Memang masih banyak yang sulit mengeja GAJAH dan menjumlahkan 5+1, namun tangan-tangan mungil mereka selalu terangkat ketika sebuah pertanyaan diajukan. Hingga kelas berakhir, suara lantang mereka tak pernah berhenti menggetarkan kelas. Berebut menjawab semua soal walaupun seringkali jawaban yang diberikan tidak tepat. Namun itulah yang membuat kami bangga. Anak-anak tidaka takut mengungkapkan pendapatnya. Ini yang guru-guru sebut dengan KEBERANIAN.

Tidak seperti murid-murid di kota, tidak ada bermain atau tidur siang sepulang sekolah, tidak ada pula yang namanya pelajaran tambahan. Satu-satunya kegiatan yang harus dilakukan adalah memecah kemiri. Setelah sholat dan makan siang biasanya anak-anak sudah siap dengan petuttu, alat pemecah kemiri yang mirip dengan sendok sayur dari bambu.

“Prek!!...prek!!!...”, suara kulit kemiri yang pecah, kalah beradu dengan batu. Begitu sampai malam menjelang.

Dan saat langit berubah menjadi hitam, segala keriuhan kompak bersembunyi. Meniupkan kesunyian ke seluruh sudut Dusun Rura yang gelap. Belajarkah anak-anak?

Mungkin iya, mungkin juga tidak. Lelah pikiran di sekolah, serta lelah fisik karena kemiri bisa jadi membuat anak-anak sulit menahan matanya untuk tetap terbuka. Lagipula bila masih ada semangat untuk belajar di malam hari, ada hambatan lain yang menunggu. Kegelapan.

Benar, kegelapan. Bila mata dilemparkan ke kalender yang tergantung di dinding ruang tamu, tertulis memang tahun 2012. Namun suasana malam di Rura lebih mirip cerita nostalgia Bapak Ibu saya pada medio ’79-’80-an. Belum ada listrik masuk Rura. Genset? Operasionalnya terlalu mahal menurut beberapa warga. Tidak ada lampu, hanya kaleng bekas susu berisi minyak tanah dengan sebuah sumbu menjulur yang menjadi satu-satunya penghasil cahaya. Belajar malam hari benar-benar menjadi sebuah perjuangan.


Sambil melawan kantuk, ditemani remangnya pelita, terkadang harus terbatuk karena asap yang terhirup Ikram tumbuh menjadi anak yang sangat cepat menghitung perkalian dan pembagian. Maslim bertransformasi dari anak cengeng menjadi Juara Sains Kecamatan. Azis dapat menghafal dan menyanyikan lagu dengan merdu. Lasmi mampu menghasilkan puisi dan lukisan yang indah. Dan Sarni mampu mengembangkan kemampuannya mengitung cepat.

Mereka mempunyai otak yang sama-sama cerdas, cita-cita yang sama tinggi. Walaupun berada di desa yang penuh dengan keterbatasan, selama masih memijak bumi yang sama kerasnya dan berada di bawah langit yang sama birunya, kesempatan yang Allah berikan pastilah sama. Mereka pasti bisa jadi seperti apa yang mereka cita-citakan. Tidak ada yang tidak mungkin bila Dia sudah berkata, Kun.
Rura, 2012