Ada hak “mereka” pada harta yang
kamu terima. Angka yang sangat kecil, dua setengah atau seper empat puluh.
Bayangkan saja sebuah brownies Amanda yang dipotong menjadi empat puluh buah.
Sebuah potongan yang hanya sanggup memaniskan ujung lidah.
Tapi 2,5% berarti potongan 250
ribu rupiah bila ada angka 10 juta di rekening. Angka yang cukup untuk 5 kali
masuk starbucks, atau 5 kali nonton di XXI, atau menikmati beberapa loyang pizza
lezat di Pizza Hut. Angka yang besar untuk hidup berkecukupan selama satu minggu
dengan gaya hidup ala mahasiswa di Solo.
Itu yang seringkali membuat seper
empat puluh menjadi terlihat sangat besar. Seperti jerawat di ujung hidung. Kecil, namun terasa menghancurkan keindahan baju dan perhiasan terbaik
sekalipun bila tidak ada keikhlasan “penderita” jerawat. Memang begitu, sedekah
seakan mengurangi sempurnanya kepemilikan atas harta hasil kerja keras.
Tapi nampaknya pikiran tentang
rasa berat bersedekah perlahan mulai meluntur sejak saya ditempatkan disini, di
Majene. Dengan larangan pemberian charity
atau sumbangan yang berlebihan dan mencolok, kami diarahkan untuk membina dan
mendampingi masyarakat untuk secara mandiri memunculkan kebutuhan pada
kemajuan. Empowering Community,
begitu katanya.
Ternyata sedekah harta –sebesar apapun
angkanya- adalah cara paling mudah dan paling ringan dalam usaha memperbaiki
suatu komunitas. Kenapa? Saya akan mencoba sedikit berbagi.
Tim kami kebetulan ditugaskan
di tengah masyarakat dusun yang serba
kekurangan. Sementara kami ber-delapan, dengan bermacam latar belakang yang
kami miliki pastinya memiliki banyak akses -ke beberapa kenalan yang ekonominya
mapan, ke beberapa organisasi dengan simpatisan yang jumlahnya lumayan, dan ke
beberapa tokoh masyarakat-. Rasanya cocok sudah. Kami bisa menghubungkan
Muzakki dan Mustahik dengan mudah.
Masalah terselesaikan.
Namun apakah semudah itu?
Teman saya di dusun penempatan
yang lain telah melakukan sebuah riset sederhana. Dia mencoba secara rutin
membelikan sabun kepada warganya yang memang terbiasa mandi tanpa sabun. Soap Charity, canda dia. Satu dua kali,
nampak semua berjalan baik, dan seolah warga telah naik kesadaran kesehatannya
karena sudah memakai sabun. Namun setelah dua bulan, ketika teman saya berhenti
“menyuapkan” sabun, warga kembali pada kebiasaan awalnya. Angka meningkatnya
kesadaran kesehatan kembali kepada titik nol. Karena motivasi memakai sabun
bukan berasal dari kesadaran kesehatan, namun karena tersedianya sabun gratis.
Seperti itulah mudahnya sedekah.
Beri beras, orang kelaparan bisa makan. Beri uang, orang bisa membeli banyak
keperluan. Beri baju, orang telanjang menjadi berpakaian. Selintas memang
masalah terselesaikan.
Namun nyatanya banyak orang yang secara fisik siap
menerima bantuan, namun tidak secara mental. Bila jangka waktu pemberian
sedekah cukup lama dan tanpa dibarengi dengan peningkatan kapasitas mental
penerima, esensi sedekah sebagai tali penolong darurat, sementara, berbelok
menjadi gantungan utama kehidupan.
Yang terjadi kemudian adalah
banyaknya orang yang berebut dianggap paling miskin dan paling layak menerima
bantuan. Mental “radio”, hanya bisa menerima sinyal. Tak bisa memancarkan
gelombang yang tetap angkuh melewati segala medan dan cuaca.
Menyiapkan mental. Itulah tugas
yang menjadi lebih berat dibandingkan dengan melemparkan sekarung uang ke
tengah kemiskinan. Mendidik mental berarti berhadapan dengan adat istiadat,
pola pikir, bahkan seringkali keyakinan yang sudah tertanam dalam selama
puluhan generasi. Itu sama saja seperti menyuruh kambing untuk terbang seperti
burung. Penolakan demi penolakan akan terus datang.
Tanyakan kepada Lembaga Pengelola
Zakat.
Lelah fisik, lelah pikiran, lelah
hati, dan keputus asaan sudah pasti akan menyergap hari-hari panjang dalam
perjalanan jauh perbaikan mental. Hanya niat yang ikhlas -mengharap rida Sang
Pencipta- satu-satunya bahan bakar yang membuat mereka terus maju.
Karena memang perubahan mental
memerlukan waktu yang sangat lama. Sang kambing harus ditumbuhkan kepercayaan
dirinya, dibaguskan mentalnya, dididik agar menguasai ilmu dan teknologi
penerbangan. Dengan konsistensi dan ketekunan, kemungkinan besar sang kambing
akan terbang.
“... berjihadlah kamu dengan harta dan jiwamu...”
Sedekah harta itu mudah. Seperti
potongan ayat diatas, harta disebutkan terlebih dahulu dibandingkan jiwa
(tenaga, pikiran, nyawa) yang berarti membantu dengan harta itu lebih ringan
dibanding membantu dengan tenaga dan pikiran. Karena tanggung jawab moral atas
sedekah harta “lunas” ketika uang –atau apapun- berpindah tangan dari pemberi
ke amil –atau langsung ke penerima-. Setelah
itu, sisa 97,5% bisa dinikmati dengan bebas.
Jadi, apalah arti seratus dua
ratus ribu dari deretan panjang angka di buku tabungan dibandingkan lelah hati,
fisik, dan pikiran –plus habisnya waktu- dalam menyiapkan mental penerima
sedekah untuk menjadi mandiri di kemudian hari.
Masih merasa beratkah dengan “yang paling ringan”?