Selasa, 07 Mei 2013

Keberatan dengan yang "paling ringan"?



Ada hak “mereka” pada harta yang kamu terima. Angka yang sangat kecil, dua setengah atau seper empat puluh. Bayangkan saja sebuah brownies Amanda yang dipotong menjadi empat puluh buah. Sebuah potongan yang hanya sanggup memaniskan ujung lidah.

Tapi 2,5% berarti potongan 250 ribu rupiah bila ada angka 10 juta di rekening. Angka yang cukup untuk 5 kali masuk starbucks, atau 5 kali nonton di XXI, atau menikmati beberapa loyang pizza lezat di Pizza Hut. Angka yang besar untuk hidup berkecukupan selama satu minggu dengan gaya hidup ala mahasiswa di Solo.

Itu yang seringkali membuat seper empat puluh menjadi terlihat sangat besar. Seperti jerawat di ujung hidung. Kecil, namun terasa menghancurkan keindahan baju dan perhiasan terbaik sekalipun bila tidak ada keikhlasan “penderita” jerawat. Memang begitu, sedekah seakan mengurangi sempurnanya kepemilikan atas harta hasil kerja keras.

Tapi nampaknya pikiran tentang rasa berat bersedekah perlahan mulai meluntur sejak saya ditempatkan disini, di Majene. Dengan larangan pemberian charity atau sumbangan yang berlebihan dan mencolok, kami diarahkan untuk membina dan mendampingi masyarakat untuk secara mandiri memunculkan kebutuhan pada kemajuan. Empowering Community, begitu katanya.

Ternyata sedekah harta –sebesar apapun angkanya- adalah cara paling mudah dan paling ringan dalam usaha memperbaiki suatu komunitas. Kenapa? Saya akan mencoba sedikit berbagi.

Tim kami kebetulan ditugaskan di  tengah masyarakat dusun yang serba kekurangan. Sementara kami ber-delapan, dengan bermacam latar belakang yang kami miliki pastinya memiliki banyak akses -ke beberapa kenalan yang ekonominya mapan, ke beberapa organisasi dengan simpatisan yang jumlahnya lumayan, dan ke beberapa tokoh masyarakat-. Rasanya cocok sudah. Kami bisa menghubungkan Muzakki dan Mustahik dengan mudah.

Masalah terselesaikan.

Namun apakah semudah itu?

Teman saya di dusun penempatan yang lain telah melakukan sebuah riset sederhana. Dia mencoba secara rutin membelikan sabun kepada warganya yang memang terbiasa mandi tanpa sabun. Soap Charity, canda dia. Satu dua kali, nampak semua berjalan baik, dan seolah warga telah naik kesadaran kesehatannya karena sudah memakai sabun. Namun setelah dua bulan, ketika teman saya berhenti “menyuapkan” sabun, warga kembali pada kebiasaan awalnya. Angka meningkatnya kesadaran kesehatan kembali kepada titik nol. Karena motivasi memakai sabun bukan berasal dari kesadaran kesehatan, namun karena tersedianya sabun gratis.

Seperti itulah mudahnya sedekah. Beri beras, orang kelaparan bisa makan. Beri uang, orang bisa membeli banyak keperluan. Beri baju, orang telanjang menjadi berpakaian. Selintas memang masalah terselesaikan. 

Namun nyatanya banyak orang yang secara fisik siap menerima bantuan, namun tidak secara mental. Bila jangka waktu pemberian sedekah cukup lama dan tanpa dibarengi dengan peningkatan kapasitas mental penerima, esensi sedekah sebagai tali penolong darurat, sementara, berbelok menjadi gantungan utama kehidupan.

Yang terjadi kemudian adalah banyaknya orang yang berebut dianggap paling miskin dan paling layak menerima bantuan. Mental “radio”, hanya bisa menerima sinyal. Tak bisa memancarkan gelombang yang tetap angkuh melewati segala medan dan cuaca.

Menyiapkan mental. Itulah tugas yang menjadi lebih berat dibandingkan dengan melemparkan sekarung uang ke tengah kemiskinan. Mendidik mental berarti berhadapan dengan adat istiadat, pola pikir, bahkan seringkali keyakinan yang sudah tertanam dalam selama puluhan generasi. Itu sama saja seperti menyuruh kambing untuk terbang seperti burung. Penolakan demi penolakan akan terus datang.

Tanyakan kepada Lembaga Pengelola Zakat.

Lelah fisik, lelah pikiran, lelah hati, dan keputus asaan sudah pasti akan menyergap hari-hari panjang dalam perjalanan jauh perbaikan mental. Hanya niat yang ikhlas -mengharap rida Sang Pencipta- satu-satunya bahan bakar yang membuat mereka terus maju.

Karena memang perubahan mental memerlukan waktu yang sangat lama. Sang kambing harus ditumbuhkan kepercayaan dirinya, dibaguskan mentalnya, dididik agar menguasai ilmu dan teknologi penerbangan. Dengan konsistensi dan ketekunan, kemungkinan besar sang kambing akan terbang.

“... berjihadlah kamu dengan harta dan jiwamu...”

Sedekah harta itu mudah. Seperti potongan ayat diatas, harta disebutkan terlebih dahulu dibandingkan jiwa (tenaga, pikiran, nyawa) yang berarti membantu dengan harta itu lebih ringan dibanding membantu dengan tenaga dan pikiran. Karena tanggung jawab moral atas sedekah harta “lunas” ketika uang –atau apapun- berpindah tangan dari pemberi ke amil –atau langsung ke penerima-. Setelah itu, sisa 97,5% bisa dinikmati dengan bebas.

Jadi, apalah arti seratus dua ratus ribu dari deretan panjang angka di buku tabungan dibandingkan lelah hati, fisik, dan pikiran –plus habisnya waktu- dalam menyiapkan mental penerima sedekah untuk menjadi mandiri di kemudian hari.

Masih merasa beratkah dengan “yang paling ringan”?

UN: Unite the Nation, menyatukan bangsa.



Awalnya saya cuek dengan isu ada/tidaknya Ujuan Nasional. Ada ya terserah, tidak ada ya masa bodoh. Kadang saya pikir memang harus ada UN, karena harus ada asesmen untuk mengetahui seberapa pencapaian siswa akan pelajarannya. Bahkan dalam hidup ada istilah ujian kehidupan, jadi memang untuk melewati suatu tahap tertentu. Harus ada Ujian. Namun saya pikir benar juga kata banyak pengamat, kurang adil bila 3 (atau 6) tahun belajar hanya ditentukan oleh 2 jam atau 40-50 soal atau 3-4 pelajaran.

Hari ini (7/5) murid-murid saya akan melaksanakan hari terakhir ujian  mereka. 13 anak gunung yang harus turun ke jalan poros untuk melewati satu tahap kehidupannya. Kami (guru-guru) sudah sangat yakin mereka bisa melewatinya. Pokoknya lewat lah itu ujian. Lulus atau tidak, 90% adalah faktor keberuntungan. Saya katakan begitu karena memang harus diakui kemampuan murid-murid kami belum dalam kapasitasnya untuk mengerjakan Ujian berstandar Nasional (atau Jakarta tepatnya). Saya yakin hampir semua murid mengerjakan soal ujuan dengan cara “menembak” jawaban.

Meng-underestimate murid?

Boleh saja dibilang begitu. Tapi cobalah datang ke sekolah kami, mengajar beberapa bulan, lakukan riset simpel dan hasilnya pasti akan sama dengan kesimpulan yang saya tuliskan tadi.

Pertama, kemampuan kebahasaan. Murid-murid kami mengerti bahasa Indonesia percakapan –yang sederhana-, bisa MEMBACA sebuah tulisan berbahasa Indonesia, namun mereka tidak mampu MENANGKAP MAKNA dari rangkaian kata-kata berbahasa Indonesia tersebut. Soal UN B. Indonesia yang panjang, soal cerita matematika, soal cerita IPA/S. Jadi, tanpa bisa memahami maksudnya, mana bisa mencari jawaban yang benar. Ya, murid-murid menjawab soal UN dengan cara spekulasi.

Dua, soal-soal yang sangat Jakarta. Pertanyaan soal kereta api, halte bus, komputer, tablet yang entah sengaja atau tidak sering tercantum dalam soal UN. Hey, anak-anak disini bagaimana bisa membayangkan kereta api? Halte bus? Bandara? Atau Komputer dan tablet? Listrik saja belum ada. Bila 5 dari 50 soal bertipe seperti itu, 10% nilai murid-murid kami hilang karena satu kesalahan: tidak tinggal di Jakarta.

Dan soal KTSP. Dengan KTSP kurikulum bisa disesuaikan dengan standar sekolah. Sederhananya, anak-anak diajarkan dengan konten-konten lokal namun sesuai dengan standar yang diitetapkan Kemendiknas. 

Dalam matematika misalnya, yang penting murid bisa perkalian entah mengalikan sapi, pohon kopi, rumah panggung, dll. Namun kalau pada soal UN yang muncul adalah perkalian kereta api, -plus dua faktor yang disebutkan sebelumnya- mana adil?

Oke, kembali ke soal UN. Mungkin Kemendiknas punya pertimbangan tersendiri kenapa harus ada UN, memang sebuah pilihan sulit dan saya yakin Kemendiknas sudah siap dengan pro-kontra nya. Dengan keadaan masyarakat –termasuk wali murid dan guru- dengan kualitas dan integritas yang seperti sekarang, boleh jadi UN memang cara paling mudah pengawasannya dalam mengukur kelulusan. Itu saja masih ada beberapa oknum yang mencoba “bermain” dengan UN.

Juga protes tentang biaya cetak, distribusi soal, dan lain lain yang menghabiskan dana besar. Boleh jadi dana besar itu opsi paling rendah dari bermacam skema penetapan kelulusan secara nasional. Dengan sistem UN yang sudah mapan saja masih repot, bagaimana mencoba membuat dan menerapkan sistem baru? Dan bila gagal, kambing hitamnya pasti Kemendiknas lagi, menteri disuruh mundur lagi, buat sistem baru lagi. Kapan masalah selesai?

Saya pernah berfikir bagaimana bila UN tetap ada, namun kelulusan tiap sekolah diserahkan ke masing-masing sekolah. Namun sebelumnya Kemendiknas pusat memiliki data base terkait grading atau penggolongan tiap sekolah, sehingga semua murid tetap lulus namun kualitas lulusannya dikonversi dalam data grading nasional. Namun ya kembali ke urusan biaya. Untuk melakukan riset ke tiap sekolah sampai ujung Indonesia berapa biayanya? Dan dibutuhkan juga tim riset yang itegritasnya betul-betul mantap dan “anti godaan”.


UN, suka ataupun tidak itulah pilihannya sekarang. Ditengah tuntutan yang begitu tinggi kepada Kemendiknas untuk menyelesaikan masalah pendidikan negeri ini, dengan keterbatasan SDM, dana, dan teknologi yang dimiliki, wajar bila ada kekurangan disana-sini. Bila setuju UN, baiknya ikut memikirkan cara untuk mengakomodir sekolah-sekolah dengan keadaan seperti tempat kami mengajar. Bila tidak setuju UN, baiknya juga ikut mencari cara paling efisien untuk menetapkan kelulusan murid. UN bisa dijadikan sarana untuk Unite the Nation, menyatukan bangsa, bukan malah saling menjelekkan dan memecah belah sesama.

Tidak ada yang bisa sempurna, namun semuanya bisa dibuat lebih baik. 

Rabu, 01 Mei 2013

Kangen


Hari ke 176, empat hari menjelang bulan ke 6 saya ada di Sulawesi. Bila dihitung total dari awal keluar rumah, sudah lebih dari 8 bulan saya meninggalkan rumah.

Ini kali pertama saya keluar rumah dalam jangka waktu yang lama. Saya sering bepergian, namun biasanya hanya berstatus flashpacker, paling lama hanya satu minggu. Itupun untuk refreshing melepas penat. Dulu, ketika menjadi mahasiswa, paling lama juga hanya tiga bulan tidak pulang. Jadi, inilah rekor terlama saya keluar dari rumah.


Rindu? Pasti. Saya ingat kata-kata Direktur HRD di tempat saya bekerja dulu, orang bisa bertahan jauh dari orang-orang terdekat dan tetap produktif ada di kisaran angka 3 bulan –mungkin bisa lebih lama pada orang-orang yang motivasinya sangat tinggi-. Ya, saya tidak memungkiri, angka 8 bulan membuat saya rindu dengan semua yang telah menjadi kebiasaan “normal” saya.

Rumah, itu yang pertama. Deru mesin jahit Ibu yang biasanya menjadi lagu pengantar tidur. Bau iler di bantal kesayangan, plus struktur kayu sofa di depan ruang jahit Ibu yang selama 6 tahun terakhir sudah menjadi kamar darurat ketika saya pulang ke rumah. Kehebohan dan keanehan rasa masakan Bapak di akhir minggu. Juga tingkah Bapak dan Ibu yang tetap membuai saya layaknya anak kecil yang belum bisa apa-apa.
Riuh teriakan sepupu yang selalu merengek dan merajuk manja meminta Milkuat. Teriakan-teriakan saling ejek ketika gerakan jari memainkan tombol-tombol PS berhasil menaklukkan tim andalan adik-adik saya. Menemani Ibu menerima salam, cium dari adik-adik dan Bapak yang siap berangkat beraktivitas. Duduk mengobrol hingga Mang Sayur datang. Sudah sangat lama rasanya meninggalkan Ibu memilih sendiri sayur-sayuran dari gerobak si Mamang.

Sayur-sayuran. Tepatnya kuliner. Hal kedua yang sangat saya rindukan. Mungkin bukan karena rasa makanan yang tidak enak, hanya lidah saja yang belum juga terbiasa dengan rasa dan cara memasak ala Sulawesi Barat. Hari-hari yang biasa ditemani tempe, sayur mayur, citarasa rempah yang dikombinasi beraneka ragam, variasi daging, ikan, bermacam makanan olahan turunan, bahkan makanan instan sejak enam bulan lalu berubah. Hambar. Tergantikan oleh dominasi amis ikan laut. Ikan terbang, ikan kakap, bandeng, tongkol, teri, dan bermacam ikan lain yang silih berganti menghias meja makan. Digoreng, dibakar, direbus, tanpa bumbu tambahan. Ya, tanpa bumbu. Memang saya jadi bisa membedakan rasa ikan, namun lidah tidak bisa bohong. Saya tetap menginginkan makanan yang biasa saya makan sehari-hari.

Begitu pula sayur. Sayur di Majene tergolong makanan mahal. Identik dengan orang Jawa karena daerah penghasil sayur adalah daerah trans berisi orang-orang Jawa seperti di Wonomulyo dan Kolehalang. Pun jenisnya tidak sevariatif di Jawa. 6 bulan, belum pernah saya temui wortel, kentang, buncis, selada. Paling hanya kacang panjang dan daun paku.

Karena keterbatasan suplai itulah saya dan teman-teman jadi malas bereksperimen dengan masakan. Mau masak A, ternyata bahan-bahannya kurang. Mau masak B, bahannya ada tapi mahal. Beberapa kali masakan ber-cita rasa lumayan berhasil saya temui, tapi tetap saja tidak mampu menutup kerinduan menyantap cita-rasa yang sudah membentuk lidah saya selama 23 tahun terakhir.

Ketiga, suasana. Suasana yang mencakup tempat, waktu, dan manusia. Nyatanya memang sejak lulus kuliah di akhir 2010, kegilaan masa muda telah dipaksa kalah oleh kekuatan dunia “orang dewasa” yang penuh keseriusan dan rutinitas. Membosankan. Dunia yang memisahkan saya dengan puluhan senyum lepas teman-teman terdekat. Tugas-tugas kantor, kesibukan dengan keluarga, stress mencari beasiswa lanjut, fokus membesarkan usaha, telah membangun sebuah batas yang begitu sulit ditembus oleh persahabatan. Kian hari jarak itu semakin melebar, mungkin hanya sapaan melalui sms dan telepon yang menjadi benang tipis penanda hubungan pertemanan kami.

Saya rindu malam-malam ketika teriakan-teriakan memenuhi rumah kos, entah karena listrik mati, ada cewek cantik lewat didepan kos, pertandingan bola, main kartu, atau ketika ada rejeki nomplok –satu atau dua kardus nasi- memanggil dari panitia pengajian di masjid. Atau ketika kantuk tidak juga datang dan coba diundang lewat teh jahe, beberapa bungkus nasi, dan sepiring gorengan bakar di atas tikar disamping gerobak angkringan Pakdhe Yono.

Juga ketika ide-ide gila muncul sebagai pelarian dari himpitan tugas-tugas kuliah. Membuat parodi film, video klip, iklan, atau bahkan menempuh perjalanan lintas provinsi hanya untuk menikmati semangkuk indomie rebus di Lereng Gunung Lawu. Rindu pesta besar menikmati hasil ngobyek proyek-proyek kelas teri. Menikmati gemerlap dunia selevel kantong mahasiswa dengan gaya sosialita.

Rindu yang hanya sempat terobati lewat foto, video, atau sekedar saling lempar ejekan lewat sosial media. Mencoba berimajinasi seolah-olah masih berada di dalam tempat, waktu, dan suasana yang sama. Walau berjauhan tempat. Walau berjauhan waktu.

Jarum merah panjang masih terus bergerak berkeliling. Berdetak perlahan menemani pagi, melewati siang, membuai malam yang terus menerus berulang. Menantikan saat yang tepat hingga waktu cuti datang untuk bertemu keluarga, bertemu makanan, dan bertemu sahabat.