Mobil-mobilan, mainan, anak-anak, masa kecil. Mungkin seperti itulah yang ada di kepala anda semua jika melihat foto-foto yang saya tampilkan dibawah. Memang mobil-mobilan identik dengan anak-anak dan mainan, terutama anak laki-laki. Apakah hanya anak-anak?tidak juga, dan bisa saja hal itu yang memunculkan istilah
"Seorang pria adalah anak kecil yang berkumis"
Saya setuju dengan peryantaan itu, mengapa?ya jelas, karena saya sendiri masih memiliki sisi kanak-kanak di usia saya yang sudah begini tua. Namun memiliki sisi kanak-kanak lain pengertiannya dengan tidak dewasa. Sangat berbeda. Saya tidak ingin dan tidak akan menghilangkan sisi kanak-kanak dalam diri saya, karena bagi saya pribadi, hanya sisi kanak-kanaklah yang membuat saya memiliki impian yang melebihi kemampuan saya sendiri, bahkan yang seolah tidak mungkin terjadi.
Orang yang melihat rak pajangan di rumah mungkin akan segera tahu kalau saya masih punya sisi kanak-kanak dari koleksi mobil mainan yang saya pajang. Benar, sejak lulus SMA saya terobsesi dengan mobil Double Cabin sejak saya melihat sebuah mobil Mitsubishi Strada kuning sehabis pulang sekolah. Dan sejak itu, saya bermimpi suatu saat memiliki sebuah Double Cabin, karena mobil itu bagi saya terlihat sangat "cowok".
Namun, saya juga menyadari kalau untuk mewujudkan mimpi itu saya butuh waktu. Ya secara cuma mahasiswa kelas dua, naik motor saja sudah untung, masa minta naik mobil?hehe..
Nah karena keadaan itu, saya memilih membeli mobil versi mini. Diecast berukuran 1:60 keatas. Bukankah membangun sebuah rumah diawali dengan sebuah maket? dan inilah maket dari sesuatu yang sedang saya rencanakan, hehehe...
Sebuah Ford Raptor dari Matchbox
Mitsubishi Strada Triton L200 dari Tomica
Chevrolet Avalance dari Matchbox
Honda Ridgeline dari Matchbox
Chevrolet SIlverado dari Matchbox
Ford San Blaster dari Matchbox
6 buah koleksi double cabin die cast saya mungkin masih kurang rame jika dipajang dalam satu rak , dan nampaknya secara tidak sadar hobi itu telah saya tularkan ke adik saya. Namun dengan selera yang berbeda, dia lebih menyukai mobil sport. Saya tak hafal koleksinya, namun coba saya tampilkan beberapa disini.
Mungkin sebuah MAzda
Kalau tak salah ini Lamborghini
Kalau nggak salah ini Honda
Ford
Tidak ada merek, mungkin mobil konsep
Dan, ponakan saya ternyata telah terpengaruh oleh hobi om-omnya, dia juga memiliki koleksi sendiri.
Keponakan dan koleksinya
Dan ternyata saya tidak sendiri. Di kos-kosan ada juga seorang teman yang sangat terobsesi dengan Hummer, kendaraan yang terkenal sebagai kendaraan militer AS, ini dia beberapa hasil buruannya.
Bahasa, apa sih artinya?sesuatu yang diucapkan
sehari-hari?bukankah itu namanya kata-kata?menurut Wikipedia bahasa
adalah kapasitas khusus yang ada pada manusia untuk
memperoleh dan menggunakan sistem komunikasi yang
kompleks, atau kepada sebuah instansi spesifik dari sebuah sistem
komunikasi yang kompleks
Tapi sudahlah, bukan itu yang ingin saya bahas
karena saya bukan ahli bahasa. Saya orang teknik, jadi kalau ada yang
kurang pas, mohon dimaklumi, hehehe. Oke, saya bukan sedang ingin sok
pintar dengan bahasa, saya hanya pingin menuliskan yang tadi tiba-tiba
saja terpikir di kepala saya. Saya sedang membaca sebuah poster
berbahasa Inggris saat pikiran ini muncul.
“The Dark Knight”
Itu bunyinya, yang kalau di Indonesia-kan dari
sepengetahuan saya berarti Sang Kesatria Kegelapan.
Apa yang membuat saya tertarik?
The Dark Knight (1), Sang Kesatria
Kegelapan(2).
Saat melafalkan kata pertama, walaupun
tulisannya susah dibaca buat orang yang tidak paham bahasa Inggris, tapi
masing-masing tersebut hanya diucapkan dalam satusuku kata, The-Dark-Knight. Dalam bentuk yang sudah di
terjemahkan, saya butuh sembilan sukukata untuk mengucapkan
Sang-ke-sa-tri-a-ke-ge-la-pan.
Benar, sembilan kali. Berarti, dalam arti kata
yang sama, orang Indonesia 3x lebih boros dibandingkan dengan orang
Inggris. Saya pun mencoba mencari-cari kata lain dalam bahasa Inggris,
dan saya coba transfer ke bahasa Indonesia. Dan hasil iseng iseng saya
menyimpulkan bahwa kata-kata dalam bahasa Inggris lebih irit dalam
pengguanaan dibanding Indonesia. Terutama dalam hal suku kata, dan lebih
spesifik lagi pada kata-kata kerja. Dimulai dari “kerja “ itu sendiri,
perbandingan sukukatanya adalah 2:1 dibandingkan “work”. Lalu:
Swing : Berenang, 1:3
Dig : menggali, 1:3
Call : panggil, 1:2
Bring : bawa, 1:2
Go : Pergi, 1:2
Make : membuat, 1:3
Drive : menyetir, 1:3
(Silakan yang mau nambahin…)
Ya, kata kerja versi Indonesia lebih boros
dalah hal waktu pengucapan. Saya sih iseng-iseng juga mengait-kaitkan
hal ini dengan karakter kedua Negara dan menebak-nebak kenapa Indonesia
kalah jauh dari Inggris.
1). Hmm, mungkin orang Indonesia hobi boros
kali ya?buat berkata aja udah boros waktu dan boros huruf, maka jangan
heran kalo orang Indonesia hobi memboroskan anggaran, kurang menghargai
waktu, konsumtif, dan banyak hal lain yang berkaitan dengan boros.
2). Kata kerja versi Inggris lebih singkat,
mungkin artinya kerja cepat, tepat, dan efisien, lain dengan prinsip di
Indonesia: “Kalau bisa dibikin sulit, kenapa dipermudah?”
3). Dari kata-kata yang lugas, orang Inggris
lebih to the point kali ya?lain dengan orang Indonesia yang suka
bertele-tele, berputar-putar, berbasa-basi, namun akhirnya tujuan awal
malah nggak tersampaikan.
4). Kata yang terdiri dari huruf-huruf sulit,
tapi penguapannya mudah dan singkat. Mungkin orang Inggris selalu teliti
dalam perencanaan, banyak hal rumit yang dipertimbangkan, namun dalam
prakteknya tetap harus simpel dan sederhana. Berorientasi pada praktek,
serumit apapun teorinya, prakteknya harus mudah dan bisa dimengerti
semua orang dalam usia dan level pendidikan apapun.
Baru empat itu yang saya temukan, ada yang bisa
menambahkan lagi?
Eh sebelum ditutup, saya juga tergelitik lagi
saat ingat ungkapan
“I cut my finger” yang diucapkan orang Inggris jika jarinya
teriris pisau. Kalau versi Indonesia itu artinya “Jariku teriris”.
Kali ini bukan kosakata yang saya perhatikan,
namun soal subyek dalah kalimat tersebut. Versi Inggris, subjeknya
adalah “I”, saya. Berarti saya sendiri yang bertanggung jawab
kenapa jari saya bisa teriris, itu murni kesalahan saya. Yang memegang
pisau saya, yang menggerakkan pisau juga saya, jadi kalau ada apa-apa
dengan jari saya, berati itu kesalahan saya dan saya yang mengambil
tanggung jawab atasnya.
Versi Indonesia? Subjeknya tidak jelas siapa,
atau mungkin subjeknya “jariku”?berarti yang salah siapa?si jari atau
pisau?atau pemegang pisau?
Yang terkena dampak irisan?si jari, si pisau
atau si pemegang pisau?
Naah, kalau dari sini yang saya lihat adalah,
orang Inggris lebih berani mengambil tanggung jawab atas perbuatannya.
Benar atau salah.
Berarti bahasa menunjukkan karakter
penggunanya?benarkah?coba deh besok-besok tak belajar bahasa lain, siapa
tau dapet inspirasi lagi.
Bukan maksud membanding-bandingkan
Indonesia:Inggris, bukan pula bermaksud menjelek-jelekkan bangsa
sendiri, sekali lagi hanya keisengan yang tidak disengaja yang membawa
saya pada pemikiran seperti itu.
Apapun, saya tetap cinta Indonesia. Ingat,
cinta Indonesianya, bukan pemerintahannya, bukan birokrasinya, bukan
utangnya, bukan masalah-masalahnya, bukan konflik-konfliknya, bukan
pilkada-pilkadanya, bukan partai-partainya.
"Besok
kamu yang mewakili orang-orang kantor ke Medan ya"
Begitu kata
Pak Bowo, bagian umum di kantor saya. Yup, beruntung sekali karena
banyak yang sibuk, entah acara keluarga, entah sibuk lembur kerjaan,
jatah kondangan ke Medan tidak ada yang mengambil. Dan akhirnya kami
berempat-lah yang ditugaskan kesana. Lumayan laah sekali-sekali
jalan-jalan keluar kota.
______
21:40 setelah kurang lebih dua jam terbang
dalam kegelapan, perlahan kerlap-kerlip lampu mulai nampak di bawah
sana. Kota Medan menyambut kami dengan meriah. Namun, yang saya rasakan
justru degupan jantung yang semakin cepat. Inilah utnuk pertama kalinya
saya mendarat di Polonia, bandara yang terletak di pusat kota Medan.
Saya takut jika pesawat meleset saat mendarat. Tapi alhamdulillah, saya
masih diberi kesempatan untuk menceritakan pengelaman saya kali ini.
Sebuah SUV
sudah menunggu kami, tanpa jeda kami harus segera berangkat ke Parapat
malam ini. Kira-kira masih 4 jam jauhnya dari Medan. Dan pak sopir
memperkenalkan dirinya hanya sebagai orang Flores tanpa menyebut nama.
"Pelan-pelan
aja Pak bawa-nya, biar bisa sambil istirahat di mobil"
Begitu kata
Bang Tagor yang menjemput kami di Bandara.
SUV melaju, perasaan saya sih
ke arah barat. Beberapa menit berjalan, Pak Flores mulai berlagak jadi
guide. Yup, bercerita tentang pendeknya jarak antar perempatan di Medan,
Medan yang sudah mulai macet, orang-orang Medan yang keras kepala
-terbukti banyak yang saya lihat nggak pake helm :D-, apapun dia
ceritakan sampai tak terasa papan nama yang tertera di sepanjang jalan
bukan lagi bertuliskan "Medan" berganti menjadi "Deliserdang". Kepadatan
kota mulai berkurang, dan kecepatan mobil semakin bertambah.
____________
Gelap makin
merapat, lampu-lampu perlahan mulai berganti dengan deretan pohon sawit
dan suara serangga. Jalan yang semula muat untuk 4 mobil, kini menyempit
hanya untuk 2 mobil, namun Pak Flores tetap memacu mobil dengan
kecepatan yang tidak diturunkan semenjak tadi.
Dan inilah awal mula
petualangan itu.......
Di tengah gelap malam dan jalan sempit yang
berliku, Pak Flores dengan sangat percaya diri mengemudikan SUV kami.
Feeling saya mengatakan kalau dia benar-benar sudah hafal jalan ini.
Tanpa adanya lampu penerang jalan -hanya lampu mobil- dikombinasi dengan
jalan yang sempit berkelok, dengan resiko berpapasan dengan mobil di
depan, Pak Flores terus memacu SUV sampai batas maksimal. Tanpa
menginjak rem. Ya, kami berempat diajak berkendara dengan sensasi reli
kelas dunia.
Goyang kanan, goyang kiri, lajur kanan, lajur kiri, terkadang
overtaking, sering pula off dari aspal. Benar-benar mantap!!! tak ada
rasa takut dari wajahnya, hanya kepercayaan diri. Akhirnya saya paham
mengapa pengemudi-pengemudi Medan menguasai jalanan Jakarta -terutama
metromini-, malam ini saya ditunjukkan buktinya. Tiba-tiba saya
terngiang kata-kata Bang Tagor di bandara tadi "Bawa mobilnya
pelan-pelan yah".
Yang begini dikata pelan?hahahaha
Setelah
hampir 4 jam menyusuri (mungkin) hutan -tak terlihat karena gelap, namun
samar terlihat hutan pohon-pohon dan tebing-, pukul 2:00 am kami tiba
di Parapat. Tanpaa Ba bi bu lagi kami langsung menuju resort yang sudah
disiapkan dan langsung tidur pulas.
______________________
5:00 am
Toba View dari Resort
Saya
terbangun, walaupun badan masih shock gara-gara reli semalam, namun saya
paksakan untuk melangkah keluar. Kapan lagi liat sunrise di Toba?
sehabis sholat subuh, saya dan seorang teman mendekati tepi danau toba,
bercengkerama dengan tamu-tamu resort yang lain sambil menantikan
sunrise.
Setelah puas menikmati tepian toba,
merasakan dinginnya air, menghirup udara segar Toba, sedikit berkeliling
ke perkampungan, kami kembali ke Resort untuk sarapan. Ternyata Pak
Jaka sudah menunggu di Lounge, dan beliau sudah menyiapkan kapal untuk
menyeberang ke SAmosir untuk rombongan dari Medan dan dari Jakarta. Oke,
mendengar kabar tersebut, sarapan jadi tambah semangat. Ditemani
segelas kopi Sumut yang harum, terbayang sudah Pulau Samosir yang sedari
kecil hanya pernah saya kunjungi lewat permainan Monopoli.
Toba dari kapal
Pagi itu angin bertiup lumayan kencang,
perjalanan mengarungi Toba terasa lebih menantang. Berkali-kali ombak
menerjang perahu dan cukup membuat kami terguncang keras. Saya sengaja
memilih duduk di dek depan kapal agar menikmati hembusan angin dan
cipratan air TOba.
Tugu Batak
Hampir sejam kami bergoyang-goyang
dihempas ombak Toba. Rute penyeberangan dibuat agak memutar agar kami
dapat menikmati pegunungan serta tebing-tebing indah yang mengelilingi
Toba. Seperti apa keindahannya?wah, keindahan yang tak akan terwakili
oleh kata-kata dan jepretan kamera. Datang sendiri ke sini, ke Parapat.
Perlahan, kapal mulai memasuki Pelabuhan
wisata Tomok. Pelabuhan wisata tomok terletak agak jauh dari pelabuhan
komersial dan langsung terhubung ke pasar, mungkin namanya Pasar
Samosir, karena tak ada papan nama terpampang disitu.
Menjejakkan kaki di Samosir, saya
disambut oleh tugu Batak, dan karena Tugu inilah saya baru mengetahui
kalau ternyata suku Batak juga masih terbagi menjadi beberapa sub-Suku.
Ada sekitar 8 atau 12 sub-Suku Batak, tapi karena lupa tak mencatatnya,
saya tidak bisa menyebutkannya disini. Dismaping tugu Batak, terdapat
tourism Map pulau Samosir, dan ternyata pelabuhan Wisata ini berada
sangat dekat dengan kawasan wisata Samosir. Tak perlu jauh-jauh, cukup
dengan berjalan kaki, kami dapat menjangkau Pasar Samosir yang penuh
dengan cinderamata khas Sumut, kain Ulos dari yang murah sampai yang
kualitas yahud, makam Raja Sidabutar, Patung Sigale-gale, Musium Batak,
Batukursi, dan beberapa objek lain.
Tapi, mungkin lebih seru kalau
petualangan itu diceritakan di lain waktu, karena saya yakin bakal
panjang ceritanya.
________________________
Tips :
1. Pakai
sabuk pengaman apabila perjalanan dari Medan ke Parapat anda menggunakan
mobil sewa, bersiaplah merasakan sensasi Reli Dakkar.
2. Bila
tidak memakai kapal sewa, penyeberangan ke Samosir dapat menggunakan
feri umum di pelabuhan Parapat, saya dengar ongkosnya cuma 3 ribu
rupiah.
3. Dek
terdepan adalah tempat paling pas untuk menikmati Toba, rasakanlah
hembusan angin dan segarkan mata anda dari dek terdepan
_____________________
Beberapa
foto diambil dari melancong.com karena dokumentasi pribadi
hilang terkena virus
"Saya nggak tega ngeliat Bapak, udah kerja dari pagi sampai sore
cuma dapat 2000 rupiah"
"Ya Tuhan, mudahkanlah jalan Bapak, semoga masa depannya diberi
kemudahan...."
Seperti itulah monolog yang mungkin menjadi ciri khas dari acara
tersebut. Ya, di acara yang muncul hampir setiap hari, entah menjelang
siang atau menjelang maghrib pola yang ditampilkan selalu sama
"Mahasiswi dari kota yang tinggal selama beberapa hari bersama
keluarga yang -maaf- dianggap miskin, atau mungkin kekurangan"
Adakah yang salah dari acara tersebut?
Mungkin dari satu sisi, lebih tepatnya sisi si Mahasiswi, atau lebih
fokus lagi dari sisi orang-orang yang "beruntung", beruntung dalam hal
ini kriterianya sengaja saya persempit, yaitu beruntung dalam segi:1)
Tinggal di Kota, 2) Punya kelebihan harta, 3) Punya kesempatan mengenyam
pendidikan tinggi, acara tersebut mengajari bagaimana caranya
mensyukuri keadaan, berkaca pada kehidupan bahwa diluar sana masih
banyak orang-orang yang kurang "beruntung", tentu saja dari sisi harta
saja.
Namun, saya pribadi melihat kalao acara tersebut merupakan acara yang
mengeksploitasi kemiskinan dalam cara yang salah. Okelah kalau dengan
melihat acara tersebut saya bisa banyak-banyak bersyukur dengan apa yang
sudah saya peroleh. Dalam sudut pandang saya yang notabene memiliki
pendapatan dan kondisi pekerjaan yang lebih baik dari yang ditayangkan
di acara tersebut. Saya bisa banyak belajar untuk lebih kuat lagi
menghadapi hidup, untuk total dan profesional dalam bekerja, intinya
banyak yang bisa saya pelajari.
Lho, saya sendiri bisa banyak belajar darinya koq saya bilang itu
acara yang tidak bagus?
Ya memang benar acara itu dapat mengajari penontonnya untuk lebih sabar
dalam menghadapi hidup. Saya pribadi juga tidak keberatan untuk
mengangkat orang-orang pinggiran dan memberikan gambaran tentang
beratnya hidup yang harus mereka jalani. Tapi dalam konsep orang yang
diangkat kisahnya tidak mengetahui secara langsung bahwa ada
orang-orang di kota sana -orang-orang yang keadaannya lebih baik- yang
mampu belajar dari kisah hidupnya, yang menangis prihatin dengan
keadaannya, yang iba melihat perjuangganya.
Mengapa narasumber tidak bolehh mengetahui secara langsung?
Begini ilutrasinya.
Saya adalah seorang pedagang baju. Selama ini saya menjalani hidup saya
berjualan baju dan saya mampu memberi makan keluarga saya walaupun
setiap hari hanya berlauk tempe. Walaupun tidak mampu menabung, tapi
hidup saya sudah berjalan seperti itu setiap harinya. Berangkat ke
Pasar, berjualan baju, pulang, bawa uang, makan bareng keluarga, tidur.
Entah cukup atau tidak, hal itu menjadi urusan internal keluarga saya.
Tapi tiba-tiba, ada orang luar masuk ke keluarga saya, menunjukkan
kepada saya betapa hidup saya sungguh menderita dan sengsara. Dia
menunjukkan bahwa pekerjaan menjual baju itu sangat repot, penghasilan
hanya sedikit, sampai-sampai saya hanya mampu memberi makan keluarga
saya dengan tempe. MEnunjukkan betapa hina pekerjaan yang saya lakoni
sekarang, membiarkan dia membuka keadaan saya bukan hanya kepada
tetangga, namun kepada dunia. Membuat keluarga saya -yang selama ini
sudah bersyukur dan menerima keadaan hanya dengan tempe setiap hari-
berpikir bahwa mereka menderita dengan keadaan yang mereka jalani selama
ini.
Dengan menunjukkan betapa "sengsara" kehidupan yang saya jalani secara
langsung, live didepan mata saya, disertai tangisan-tangisan iba yang
menangisi kehidupan saya, ini sangat berpotensi menurunkan mental saya
dalam menjalani hidup. Saya yang selama ini mungkin sudah bersyukur
dengan hidup yang saya jalani, menjadi berprasangka buruk lagi kepada
Tuhan, saya yang selama ini sudah bangga menjual baju, bisa berubah
menjadi rasa malu karena ada orang yang mengatakan pekerjaan saya hina
dan tidak menjanjikan apapun. Keluarga saya yang selama ini ikhlas
dengan apa yang saya berikan, mungkin saja berubah dan mulai menuntut
saya untuk memberikan lebih.
Ya, dengan cara "pertunjukkan langsung" tersebut, menurut saya ada
potensi untuk merusak kehidupan pribadi sang narasumber. Paling tidak
dengan beberapa contoh yang saya sebutkan diatas. Kecuali memang acara
itu sudah di-skenario-kan.
Seperti yang saya bilang, mungkin akan lebih bijak dan beretika apabila
acara-acara semacam tersebut diubah kemasannya seperti acara "hikmah"
yang menampilkan rekaman dengan si narasumber dan narasi secara
terpisah. Sehingga pesan untuk bersyukur tetap tersampaikan tanpa
menyentuh kehidupan pribadi si narasumber secara langsung.
GA
600 tujuan Manado membawa saya terbang pagi itu, pukul 8:30 tepat pesawat take
off dan meninggalkan Soekarno-Hatta. Cuaca cerah, pemandangan dliluar terlihat
sangat jelas. Disamping saya duduk seorang Bapak tua yang belakangan
memperkenalkan dirinya sebagai dokter anak. Beliau ke Manado dalam rangka
Kongres Nasional Anak (KONIKA).
Bosan
dengan pemandangan diluar kabin dan takut karena turbulensi yang terus terjadi,
Bapak saya ajak ngobrol. Beliau bercerita tentang perjalanan karirnya sebagai
dokter anak, petualangannya keliling Eropa, keliling Australia -anaknya, yang
juga dokter, tinggal di Australia-, keliling Indonesia, dan perjalanan hidup
yang membawanya menjadi seperti sekarang. Akhirnya, selama dua jam Jakarta-Makassar,
saya memperoleh lagi ilmu kehidupan dari seorang dokter anak yang telah
mengabdikan dirinya untuk senyum anak-anak.
Pukul
11:25, pesawat mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin Makasar untuk transit
menunggu tambahan penumpang dari Surabaya. Pesawat kembali terbang menuju
Manado sekitar pukul 13:00. Maka, sambil menunggu pesawat kembali terbang, saya
putuskan untuk berkaliling Bandara. Bandara yang lumayan megah, dan bersih.
Lebih bersih dan tertata dibanding Bandara Soetta.
Bandara
Sultan Hasanuddin, Makassar
Pukul
14:20 saya tiba di Bandara Sam Ratulangi, kira-kira sepuluh menit sebelum
landing di Manado, saya terpana melihat pemandangan dari atas sini. Bahari
100%. Saya disuguhi pemandangan jernih dan birunya laut Manado, juga nampak
beberapa pulau yang nampak seperti hijaunya permata di tengah kilauan biru air
laut. Sayang, tidak sempat saya abadikan. Tak apa, pemandangan itu seolah
menantang saya untuk menyelami laut Manado esok hari.
Oke,
karena lagi-lagi tugas kantorlah yang membawa saya sampai ke Manado. Maka
itulah yang harus segera saya selesaikan, dan saya harus berusaha
menyelesaikannya hari ini, agar besok saya bisa menjelajah laut Manado. Tujuan
utama adalah Desa Tampusu, di Tomohon.
Beruntung
sekali karena lokasi survei berada jauh dari Manado, jadi perjalanan ini juga
sekaligus menjadi penjelajahan darat Sulawesi Utara. Bandara-Pinggiran Manado-
Menjelang
senja, Desa Tampusu yang kami cari akhirnya ditemukan. TErnyata desa yang
terletak di kaki Gunung Lokon. Desa yang lumayan tinggi posisinya, karena dari
sini, Danau Tondano terlihat sangat jelas dibawah sana.
Danau
Tondano
Karena
hari sudah semakin gelap, survei segera saya lakukan, foto-foto dan sampel
segera diambil. Dan tepat saat matahari terbenam, kewajiban dari kantor tuntas
saya laksananan. Artinya?
Besok
adalah penjelajahan laut Manado!!!!
Sunset
Tampusu
Langit
Sore Tampusu
Rute
kembali dipilih rute shortcut, hanya dalam waktu satu jam kami sudah sampai di
Manado dan langsung mencari tempat makan. Untuk tempat yang dikelilingi laut,
manu yang paling tepat adalah menu seafood. Saya memilih untuk makan di tepian
laut di kawasan Megamall.
Malam
itu, menu yang saya pilih adalah ikan kuah woku belanga. Ikan masak dengan kuah
yang kaya sekali akan rasa rempah. Wangi aroma bawang, lada, dan serai yang
sangat kuat, mungkin dosis keduanya sangat tinggi dalam kauh tersebut. Plus
cabai -entah cabai apa- membuat kombinasi rasa pedas-hangat yang luar biasa
mantap. Bohong kalau keringat tidak keluar deras saat menikmati makan ini.
Ternyata
inilah rempah yang masuk ke woku belanga: Untuk membuat woku belanga, bumbu-bumbu
yang telah dihaluskan seperti bawang merah, cabai, kunyit, kemiri, jahe ditumis
bersama serai dan aneka daun wajib seperti daun pandan, daun bawang, daun jeruk
purut, daun kunyit dan kemangi. Sumber:justtryandtaste.blogspot.com
Ya,
kekayaan inilah yang dulu menarik penjajah datang ke Nusantara -terutama Maluku
yang dekat dengan Sulawesi-. Rempah-rempah, dan hari ini saya baru mengerti
alasan mereka jauh-jauh datang untuk mencari rempah-rempah.
Penampakan
Woku Belanga
Karena
lelah, ajakan Kak Singgih -guide di Manado- untuk berkeliling kota saya tolak.
Langsung mobil dipacu menuju hotel dan tanpa ragu saya langsung tidur demi
menyiapkan badan yang segar untuk esok hari. Jam 10 pagi jemputan akan datang
untuk mengantarkan ke Bunaken.
Saya
menginap di lantai 8 sebuah hotel di pusat kota. Dan di pagi hari, saya baru
sadar kalau pemandangan dari jendela hotel adalah pemandangan langsung ke laut.
Mantap sekali. Sarapan saya selesaikan dengan cepat, nasi kuning dan bubur
Manado jadi pilihan saya pagi ini. Nasi kuning yang tak jauh beda dengan yang
sering saya temui, namun bubur Manado? baru kai ini sya merasakan bubur
yang dicampur sayur, daging, dan rempah sekaligus, bukan sebagai toping.
Enak, dan kembali rasa dan aroma rempah mendominasi masakan.
Buru-buru
saya balik ke kamar untuk sekedar mengabadikan kota Manado dari atas sini.
Sungguh indah, dan bersih. Bau laut tercium dari sini.
View dari kamar hotel
Pukul 9:00 ternyata jemputan sudah datang. Menebus kegagalan acara semalam katanya, maka jadilah pagi ini sebelum ke Bunaken kami berkeliling Manado dari ujung sampai ujung. Namun saya kurang menikmatinya, karena yang ada di pikiran saya cuma laut, laut, dan laut.
Bibir pantai Manado
Jam 10:30 akhirnya mobil diarahkan menuju dermaga. Di daerah dermaga ternyata sedang dibangun sebuah jembatan cable stayed mirip Suramadu namun dengan tiang single. Ah, bukan jembatan yang jadi fokus pandangan saya. Namun laut lepas yang terhampar di depan saya, sudah tidak sabar rasanya ingin segera menceburkan diri.
Jembatan yang on prograss
Bang Asoi, begitu dia memperkenalkan dirinya. Seorang Bapak yang berumur kurang lebih menjelang 40, namun masih terlihat gemuk sehat, dengan kulit hitam khas nelayan yang tiap hari terbakar matahari. Melayani wisatawan dijalaninya sebagai sampingan di akhir minggu diantara kesehariannya sebagai nelayan. Dibantu seorang asisten yang masih sangat muda, Bang Asoi dengan lincah memacu perahu motor lurus menuju Bunaken yang terlihat jelas dari dermaga. Mungkin jaraknya tidak begitu jauh.
400 ribu rupiah, harga yang harus kami tebus untuk menyeberang ke Bunaken.
Asisten Bang Asoi
Perahu melaju cepat, mungkin sekitar 45 meit kami sudah sampai di tepian bunaken. Pemandangan inilah yang kemarin saya lihat dari atas pesawat. Laut yang jernih, biru, bersih, mengelilingi Bunaken. Terumbu karang juga terlihat sangat jelas. Hijau dari atas kapal dan beberapa kali terlihat kibasan ekor ikan.
Oke, begini gambarannya. Bunaken adalah sebuah pulau karang yang terletak di sebuah laut dalam. Yang unik, bunaken dan laut dalam hanya berjarak sekitar 100 meter dari bibir pantai, jadi terdapat seperti jurang yang langsung memisahkan Bunaken-Laut dalam. Dari kedalaman hanya sekitar 1 meter, tiba-tiba laut langsung berwarna biru pekat dan jelas itu pertanda laut sangat dalam. Seperti ini kalau terlihat dari angkasa.
Menyewa peralatan snorkel seharga 150 ribu, tanpa pikir panjang lagi saya segera menceburkan diri ke laut Bunaken. Segar!!bau laut yang bikin ketagihan. Namun ternyata untuk menikmati keindahan laut Bunaken saya perlu latiah, snorkel tidak semudah yang saya kira. Beberapa kali air laut terpaksa tertelan karena saya agak sulit membiasakan diri dengan pernafasan mulut. Hahaha..
Dan, sepanjang sisa hari itu saya habiskan menikmati indahnya terumbu karang, keanekaragaman ikan, bintang laut, gigitan ikan yang berebut biskut, tertawa bersama teman-teman, semuanya tidak ada yang terlewatkan. Berenang di tepian jurang, melihat ikan-ikan yang lebih besar berenang menuju kedalaman laut. Sebuah pemandangan yang sungguh sungguh sungguh menakjubkan. Subhanallah.....
Namun kata Bang Asoi, timing saya salah. Seharusnya semalam saya menginap saja di Bunaken biar bisa menyelam, atau snorkel di pagi hari. Kata Bang Asoi, di pagi hari sering terlihat lumba-lumba. Kecewa sih, namun yang saya alami hari ini sudah sangat menakjubkan.
Foto-foto terumbu karang, ikan dan pemandangan bawah laut? saya rasa tidak perlu saya tampilkan disini karena semua keindahan itu lebih pantas dinikmati di sini langsung, di Bunaken!!!
Bareng Bang Asoi
Menjelang maghrib, kami kembali ke dermaga di Manado. Garuda menerbangkan saya kembali ke Jakarta bersama memori yang tidak akan saya lupakan seumur hidup saya.
Kapal Roro ke Sangir
Nb: sebenarnya masih banyak cerita yang menarik dalam dua hari jalan-jalan ke Bunaken, tapi lain kali aja deh diceritain, hehe
_________________________
Tips jalan ke Manado:
1. Selalu pesan makanan khas, rasanya mantap semua. Nasi kuning, Bubur Manado, Woku, wajib dicoba.
2. Buat muslim, agak sulit cari tempat sholat, hanya dibeberapa tempat terdapat masjid. Jadi siapkan peralatan sholat yang gampang dibawa-bawa.
3. Berangkatlah ke Bunaken pagi hari kalau ingin menikmati laut dengan puas, kalau bisa menginaplah di Bunaken biar berpeluang liat lumba-lumba. Homestay satu malam katanya sekitar 400 ribu.
Tak seperti hari-hari biasa, sebelum Subuh saya sudah mandi dan berdandan rapi. Tas backpack andalan juga sudah terisi dengan keperluan "bertualang". Bersama dua teman saya, tepat pukul 07:30 kami bertiga akan terbang ke Palembang. Sebenarnya sih tugas kantor, tapi di jadwal yang diberikan pada kami, acara rapat hanya berlangsung dari jan 13:00-14:00, jadi kami punya waktu seharian untuk berkeliling kota Palembang.
Pukul 5:30 saya sudah sampai di bandara, terlalu pagi memang. Tapi pengalaman-pengalaman sebelumnya, daripada macet di tol dan sampai bandara mepet-mepet take-off, lebih baik kepagian dan sambil menunggu bisa sekalian cuci mata di Bandara.
Dua teman saya sudah menunggu, setelah check-in dan bayar tax, kami putuskan untuk sarapan di sebuah lounge sekalian menunggu pesawat.
7:00 am terdengar panggilan untuk memasuki ruang tunggu, kami-pun bergegas menuju kesana. 7:30 lebih sedikit, pesawat sudah lepas landas. Menumpang GA 110, ini adalah pengalaman pertama naik Garuda Indonesia. Menurut teman-teman naik GIA tuh enak, dapet makanan dan lain-lain, dan ternyata memang benar, sepanjang perjalanan saya tek henti-hentinya meminta makanan kepada sang Pramugari. Aji mumpung, hehe.
Interior Pesawat
Sekitar 45 menit perjalanan, pesawat mendarat di Bandara Sultan Mahmud Badarrudin II Palembang. Gedung terminal yang baru menampakkan kemegahannya pada kami. Karena ini adalah tugas kantor, akomodasi bukanlah hal yang kami khawatirkan karena sesampai di bandara, sudah ada mobil yang siap mengantar kami berkeliling Palembang.
Dari SMB II ke kota Palembang kami menempuh perjalanan sekitar 30 menit, karena jalan yang tidak selebar di Jakarta, dan lalu lintas yang lumayan padat. Saya nikmati perjalanan tersebut, karena inilah pertama kali saya menginjakkan kaki di tanah Sumatra. Tujuan pertama kami, tentu saja landmark Palembang : Jembatan Ampera.
Jembatan Ampera membelah Sungai Musi dan terletak tidak jauh dari Benteng Kuto Besak, Benteng dan Jembatan terletak hampir berseberangan, sehingga untuk menyusuri keduanya cukup dengan berjalan kaki. Walaupun matahari cukup terik, kalau masalah jalan-jalan pasti tetep semangat. Berkeliling kawasan Benteng, saya pikir itu adalah plasa kota Palembang, karena tempatnya ramai, jalannya lebar dan sangat sayik untuk jalan-jalan.
Setelah capek menyusuri kawasan benteng Kuto BEsak, agenda wajib selanjutnya adalah berfoto dengan latar Jembatan Ampers, sekaligus merasakan dingin air Sungai Musi. Jeprat jepret, posa pose, lari sana lari sini bergantian mengambil foto dan difoto. Pukul 10:30 kami putuskan untuk kembali ke Bandara untuk sholat jumat disana sekalian menunggu rapat -kebetulan lokasi rapat ada di dekat bandara-.
Tepian Musi
Masjid Agung Palembang
Selesai rapat, karena pesawat yang membawa kami pulang adalah pesawat jam 18:00, tentu saja masih ada waktu sekitar 4 jam untuk kembali berputar di Palembang. Kali ini adalah kunjungan ke Gelora Sriwijaya, lalu ke Monpera, dan Masjid Agung Palembang. Puas berkeliling ronde kedua, tentu saja tujuan akhir adalah kuliner. Saya pikir saya akan diajak berburu pempek, namun Pak Dedi -guide kami- membawa kami ke kedai Mie Celor di dekat kantor Walikota. Mie Celor?saya baru mendengarnya, soalnya sejauh yang saya tau Palembang itu Pempek dan Pempek itu Palembang, nggak ada yang lain.
Mie Celor adalah mie yang bisa saya sebut dengan mie yang "udang bangeet", karena kuahnya kaldu udang, taburannya juga udang. Mungkin lebih tepat ini adalah udang yang di mie-kan, bukan mie yang di udang-in. haha. Satu porsi mei celor mampu membuat saya angkat tangan, karena walaupun terlihat porsinya sedikt, namun padat isinya. Super kenyang..
Penampakan mie Celor
Puas makan mie, Pak Dedi kemudian membawa kami berkeliling lagi dan membawa kami ke kedai Pempek, tentu saja buat oleh-oleh pulang karena kalau dipaksa, perut sudah sangat penuh oleh mie. Pukul 4:45 kami sudah kembali lagi ke SMB II dan bersiap untuk pulang.
Pukul 6:10 -molor 10 menit dari jadwal- JT 343 membawa kami pulang ke Jakarta. Walaupun hanya sehari, namun kunjungan ke Palembang sangat berkesan, setidaknya saya bisa lihat dengan mata kepala sendiri seperti apa kemegahan Jembatan Ampera dan Sungai Musi yang sering saya dengar.
Dan saya bisa bercerita kalau saya pernah jadi orang "sibuk", pagi Jakarta, siang Palembang, malam Jakarta lagi, hehehe.
Entah kenapa, says selalu senang melihat langit. Sewaktu kecil dulu, sering saya pergi ke lapangan, ke kebun, atau memanjat pohon hanya untuk tidur-tiduran memandang langit. Saya seuka ketika awan bergerak, membentuk gumpalan-gumpalan yang tiba-tiba bisa menyerang seperti monster musuh Ultraman, atau sekedar T-Rex yang berjalan berkeliling, atau pesawat-pesawat Ufo yang saling berperang.
Langit tak pernah menyajikan gambar yang sama.
Itulah mengapa, terutama sejak saya mampu membeli sebuah Hanphone berkamera, saya senang mengabadikan lukisan-lukisan langit. Langit pagi, langit cerah, langit mendung, langit malam?sebenarnya ingin, namun kamera nggak mampu nangkep indahnya langit malam.
Langit pagi di Alun-alun kidul kota Solo
Langit sore di Terminal Mandiraja, Banjarnegara
Langit pagi di daerah Jagalan, Solo
Langit pagi Pasar Klewer, SOlo
Langit pagi Gladak, Solo
Langit pagi Solobaru, Sukoharjo
Langit pagi Laweyan, Solo
Langit mendung di kos, Solo
Langit pagi dari pintu air Demangan, Solo
Langit siang dari Solo Grand Mall Solo
Langi sore dari Kantor, Jakarta
Langit siang, Manado
Langit Pagi Danau Toba, Parapat
Langit memang selalu indah, seperti apapun kondisinya. Selalu menginspirasi.
Yang mengingatkan pada keagungan Tuhan. Yang menjadikan manusia sadar betapa kecil dirinya, betapa lemah dirinya.