Minggu, 22 Juli 2012

Perjalanan Ramadhan /2 : Angka Keramat 03:10

 

 
03:10 am

“biiiip biiip biiip”

Alarm berbunyi. Alarm sudah lebih dari sepuluh bulan terpasang dalam angka 03:10 pagi. Angka keramat yang diberikan Pak Saiful untuk saya. Seorang sopir proyek asal Bekasi yang mengajarkan bagaimana caranya bangun untuk tahajud.

Saya bertemu Pak Saiful pertama kali ketika beliau mengantar saya menuju kantor proyek dan ternyata kami detempatkan di mess yang sama. Ketika itu saya masih sangat sulit menyempatkan diri untuk bangun walaupun hanya sekedar untuk sholat subuh di Masjid. Setiap hari, padatnya pekerjaan hampir pasti berakhir dengan lembur sampai pagi. Rutinitas yang hingga akhirnya membentuk kebiasaan mengakhirkan sholat subuh demi mencukupi kebutuhan tidur.

Tinggal bersama lima hari dalam seminggu membuat saya mengenal kebiasaan-kebiasaan Pak Saiful, termasuk tahajud yang rutin beliau kerjakan setiap hari. Pola yang beliau buat adalah seperti ini, bangun jam 03.00, tahajud, sholat taubat, kemudian dilanjutkan dzikir sampai subuh. Yang jelas, ketika Pak Saiful bangun, seringkali bertepatan dengan saya selesai lembur.

Suatu pagi setelah lembur mempersiapkan rapat mingguan, saya telat bangun. Sholat subuh baru saya kerjakan pukul 06:15. Sejak saat itu, saya berpesan pada Pak Saiful untuk membangunkan saya ketika hendak jamaah subuh. Diproyek memang hanya beberapa orang yang rajin ke Masjid, beberapa memilih sholat sendiri, tapi lebih banyak yang tidak mengerjakan sholat.

Namun pekerjaan membangunkan Subuh hanya dilakukan Pak Saiful selama tiga hari. Selanjutnya beliau berpesan:

“Mas, kalau mau terbiasa bangun Subuh sebaiknya pasang saja alarm. Terus supaya tidak tidur lagi setelah mematikan alarm, bangunlah (duduk atau berdiri) seketika bersamaan dengan terbukanya mata untuk pertama kali. Insyallah tidak lebih dari sebulan nanti sudah terbiasa bangun subuh”

Kemudian beliau mengambil handphone saya dan menyetel alarm pada angka 03:10. “Biar sekalian belajar tahajud” tambahnya. Dan selama sebulan lebih saya selalu dipaksa bangun pada waktu tersebut. Beberapa kali berhasil, namun lebih banyak gagal. Namun sejak saat itu, walaupun sering terlewat untuk tahajud, subuh di masjid sudah hampir pasti terkejar.

Cara Pak Saiful inilah yang kemudian membuat saya mengerti kenapa selama sebulan dibulan Ramadhan kita diperintahkan untuk menahan lapar, memperbanyak ibadah, dan mengurangi tidur. Waktu satu bulan merupakan rentang yang cukup untuk menyetel ulang jam biologis tubuh. Memaksa tubuh untuk menerima dan terbiasa dengan kegiatan-kegiatan baru.

Yang sulit untuk bangun malam dipaksa terbiasa dengan waktu makan sahur yang berakhir tepat sebelum adzan subuh. Yang tidak pernah sholat sunnah, digembleng dengan tarawih yang pahalanya setara sholat wajib. Yang tidak bisa menahan diri, diharamkan untuk menyentuh makanan, minuman, mencampuri istri, marah, dan sebagainya sampai waktu berbuka tiba.

Ramadhan yang penuh dengan “paksaan” dan “larangan” sebenarnya hanyalah sarana untuk membentuk sebuah kebiasaan baru. Kebiasaan yang akan melahirkan rutinitas ibadah baru pada bulan-bulan setelahnya. Walaupun pastinya tidak semua bisa terlaksana persis seperti saat Ramadhan, tapi setidaknya ada beberapa rutinitas Ramadhan yang tersisa. Mungkin hanya kebiasaan bangun malam atau hanya kebiasaan sholat sunnah. Seperti pelajaran “tahajud” yang hanya tersisa “subuh di masjid”, Ramadhan pasti akan memberikan bekasnya.

Seperti sebuah ungkapan
“Karet yang direnggangkan pasti akan kembali memendek, namun dia pasti menjadi lebih panjang dari sebelumnya meski hanya seujung kuku”