Majene, banyak orang mengucapnya
–termasuk saya- dengan MaJEne (dengan lafal JE seperti pada kata Jepang).
“Bakal dipelototin orang sana kamu nanti”, begitu kira-kira pesan Kak Aline
pendahulu saya di Majene. Karena pengucapan MaJEne yang benar adalah MaJEne
(dengan lafal JE seperti pada kata Jet) dan ada tambahan huruf “k” tanggung di
belakang, jadi seolah berbunyi “Majene(k)”. Majene memiliki arti “berwudhu”
atau “bersuci” dalam bahasa Mandar. Memang mayoritas warga Majene adalah
muslim. Konon ceritanya dahulu ada orang Belanda yang singgah di Majene
kemudian dia bertanya pada seorang lokal yang sedang berwudhu “Apa nama tempat
ini?”
Karena tidak paham bahasa
Belanda, orang lokal ini menjawabnya dengan “Majene” karena dia sedang
berwudhu. Dari situ mulailah daerah ini disebut dengan Majene.
Saya tidak menyangka kalau bakal
ditempatkan di Kabupaten Majene, Kabupaten yang kabarnya diproyeksikan jadi
Kota Pendidikan dari Provinsi Sulawesi Barat. Di sebuah kabupaten yang dilewati
jalan poros Sulawesi. Saya juga belum tahu pasti keadaannya, saya malas mencari
informasi. Semua informasi yang saya dapatkan dasarnya adalah informasi lisan
dari pendahulu-pendahulu saya.
Majene Cakep Komuniti (Tim kami di Majene)
Entah mengapa saya –dan tujuh
orang kawan sepenempatan- tidak terlalu antusias untuk mendalami info tentang
Majene. Berbeda dengan kawan-kawan yang ditempatkan di kabupaten lain, mereke
seolah sidah paham betul daerah yang akan mereka jelajahi. Ada yang sudah paham
tentnag banyaknya buaya yang mengintai di balik eksotisme sungai-sungi di
Kalimantan, ada yang mulai bersiap mental akan penolakan warga terhadap
pendatang, bahkan ada yang sudah bersiap memborong tissue basah karena tahu di
daerahnya akan sulit untuk mencari air mandi. Yang saya tahu, desa yang akan
saya tinggali nanti tidak ada listrik, “Harus ke desa bawah buat nge-charge
laptop, itu juga pakai genset”. Begitu bunyi pesan Vivi yang nantinya akan saya
gantikan.
“Nggak usah bawa smartphone, hp
senter aja udah cukup, sinyal susah disini”, tambahnya lagi. Oke, dari awal
memang sudah disiapkan buat terbiasa tanpa listrik dan sinyal.
Miris, karena kabarnya desa saya
hanya terletak 15 menit ke arah gunung dari Jalan Poros menggunakan sepeda
motor. “Motor sendiri?” tanya saya kepada Vivi. “Pinjem warga laaah”, jawabnya
dengan nada agak sinis bercanda. “Bapak asuh punya motor koq, orang-orang desa
juga nanti fine-fine aja kalau motornya dipinjem”. Ya, Bapak asuh saya adalah
adik dari Pak Rasyid, Guru di SD tempat saya mengajar yang jega menjadi Bapak
asuh Vivi. Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Mandar, mau tidak
mau saya harus belajar bahasa Mandar. Kabarnya sudah ada kamus bahasa Mandar
yang diterbitkan. Itu wajib dicari.
Calon murid saya? “Monster”, kata
Vivi spontan.
Apa?
Tapi Vivi langsung
menjelaskannya, “Iya monster, tapi kamu harus ingat kata Pak Munif Chatib,
setiap anak itu spesial dan mereka memiliki bakatnya sendiri. Kamu sebagai guru
yang harus menemukan dan mengarahkannya”. Oke, logis. Dan memang selama
training, itu yang benar-benar di-doktrin-kan dalam pikiran kami. Setiap anak
spesial. Mereka terlahir dengan bakat yang dititipkan Allah SWT pada
masing-masing mereka.
Yap, semua trainer dalam
pelatihan, Ibu Weilin, Pak Munif Chatib, Ibu Elke, Ibu Ruth, Pak Bobby, Om Dik
Doank, Pak Yudis, Ibu Sisca, semua menyajikan “Cara Gila” untuk mengajar.
Benar-benar gila, gila metodenya, gila peralatannya, gila kreativitasnya, dan
yang jelas guru harus benar-benar mau jadi gila demi muridnya. Hasilnya?
GILA!!!! Lihat saja nanti.
Cuma 10-15 orang yang bakal
memanggil saya “Bapak” dengan imutnya. Karena SD Inpress 22 Rura hanya memiliki
sekitar 63 murid. Beruntung kalau saya dapat mengajar banyak kelas, sehingga
lebih banyak lagi anak-anak yang bakal saya kenal, yang bakal menjadi tempat
saya belajar.
Oke sepertinya itu sudah cukup.
Saya tidak ingin mengetahui lebih jauh tentang Majene dari sini. Saya ingin
mengetahui Majene dari sana. Langsung dari dalam Majene. Karena kesan itu
personal sifatnya, dan saya tidak ingin pikiran saya tentang Majene diracuni
oleh kesan, baik ataupun buruk, dari orang lain. Saya ingin membangun impresi
tentang Majene dari diri saya sendiri, dari mata saya. Segera saja terbangkan
kami ke Majene, kami ingin merasakannya. Secepatnya. Sombong ya? Memang, tapi
pesan dari CEO Detik.com semalam, “sombong itu menyenangkan”, hehe.
Majene, semoga menjadi tempat
saya berwudhu. Menjadi tempat dimana saya mensucikan diri saya dari apapun yang
bakal merusak sholat saya.