Kamis, 20 Desember 2012

Beautiful MAJENE


Kira-kira ini sudah mendekati hari ke 50 saya "bertualang di majene bersama 7 orang kawan yang lucu-lucu diatas. Banyak cerita dan banyak tempat yang sudah dikunjungi, banyak orang pula yang sudah dikenal. ini sebagian yang bisa di "pamerkan".

Ini pantai Dato yang cuma 15 menit dari pusat kota, jadi bila perlu refreshing sedikit, tinggal cari pinjaman motor langsung berenang-renang di Dato.


Kalau dibawah ini foto kakek yang tinggal bareng, dia Bapaknya Ibu angkat saya. Orangnya lucu, mantanpejuang saat perang kemerdekaan. usianya 95 tahun, tapi masih ingat lagu-lagu perjuangan, dan....
Masih kuat naik ke kebun buat cari kemiri.


Ini suasana kelas dimana saya mengajar. anak-anak senang sekali diberi bintang dari karton di dada mereka bila mampu menghafal perkalian atau selesai mengerjakan soal dengan benar.


Ini juga anak-anak kelas enam saat mencoba mengkreasikan sampah menjadi sebuah karya untuk pameran di sekolah.


Ini sunset dari Pantai Dato


ini adalah pohon di gerbang masuk kecamatan yang saya tempati, Ulumanda. Pohon yang persis ada di pinggir jurang, hanya tiga meteran dari jalan, dan selalu menarik perhatian. Kalau melihat suasana dari sini langsung terbayang Film The Lost World, entah kenapa.


Pohon yang sama dalam suasana berbeda.



Ini juga salah satu bagian dari pantai -yang saya sebut sebagai pantai pribadi- di pasir Putih, 15 menit dari dusun yang saya tinggali.

Pemandangan dari pantai yang sama, Pantai Pasir Putih yang sangat sepi dan bersih.



Ini waktu berkeliling menyusur jalan poros Sulawesi, ketika pulang dari mengurus sesuatu di kota. Tidak sengaja berpapasan dengan Elang laut yang sedang mencccari ikan. Wow sekali karena inilah kali pertama melihat elang laut di alam bebas. Dan belakangan saya tahu kalau sarangnya ada di puncak bukit batu di daerah onang, saya sempat bertemu dengan tiga ekor elang laut yang sedang berburu bersama.

Ini durian pertama yang saya belah di Rura, kiriman dari seorang murid yang rela datang ditengah hujan deras demi mengantar duren, mantap.


Demikian dulu, masih banyak yang pengen diceritakan, tapi berhubung internet susah ya dicicil aja lah ceritanya, hehehe.


Rura, 21 12 2012

Minggu, 14 Oktober 2012

Rumah Baruku - Majene #1


Majene, banyak orang mengucapnya –termasuk saya- dengan MaJEne (dengan lafal JE seperti pada kata Jepang). “Bakal dipelototin orang sana kamu nanti”, begitu kira-kira pesan Kak Aline pendahulu saya di Majene. Karena pengucapan MaJEne yang benar adalah MaJEne (dengan lafal JE seperti pada kata Jet) dan ada tambahan huruf “k” tanggung di belakang, jadi seolah berbunyi “Majene(k)”. Majene memiliki arti “berwudhu” atau “bersuci” dalam bahasa Mandar. Memang mayoritas warga Majene adalah muslim. Konon ceritanya dahulu ada orang Belanda yang singgah di Majene kemudian dia bertanya pada seorang lokal yang sedang berwudhu “Apa nama tempat ini?”

Karena tidak paham bahasa Belanda, orang lokal ini menjawabnya dengan “Majene” karena dia sedang berwudhu. Dari situ mulailah daerah ini disebut dengan Majene.

Saya tidak menyangka kalau bakal ditempatkan di Kabupaten Majene, Kabupaten yang kabarnya diproyeksikan jadi Kota Pendidikan dari Provinsi Sulawesi Barat. Di sebuah kabupaten yang dilewati jalan poros Sulawesi. Saya juga belum tahu pasti keadaannya, saya malas mencari informasi. Semua informasi yang saya dapatkan dasarnya adalah informasi lisan dari pendahulu-pendahulu saya.
Majene Cakep Komuniti (Tim kami di Majene)

Entah mengapa saya –dan tujuh orang kawan sepenempatan- tidak terlalu antusias untuk mendalami info tentang Majene. Berbeda dengan kawan-kawan yang ditempatkan di kabupaten lain, mereke seolah sidah paham betul daerah yang akan mereka jelajahi. Ada yang sudah paham tentnag banyaknya buaya yang mengintai di balik eksotisme sungai-sungi di Kalimantan, ada yang mulai bersiap mental akan penolakan warga terhadap pendatang, bahkan ada yang sudah bersiap memborong tissue basah karena tahu di daerahnya akan sulit untuk mencari air mandi. Yang saya tahu, desa yang akan saya tinggali nanti tidak ada listrik, “Harus ke desa bawah buat nge-charge laptop, itu juga pakai genset”. Begitu bunyi pesan Vivi yang nantinya akan saya gantikan.

“Nggak usah bawa smartphone, hp senter aja udah cukup, sinyal susah disini”, tambahnya lagi. Oke, dari awal memang sudah disiapkan buat terbiasa tanpa listrik dan sinyal.

Miris, karena kabarnya desa saya hanya terletak 15 menit ke arah gunung dari Jalan Poros menggunakan sepeda motor. “Motor sendiri?” tanya saya kepada Vivi. “Pinjem warga laaah”, jawabnya dengan nada agak sinis bercanda. “Bapak asuh punya motor koq, orang-orang desa juga nanti fine-fine aja kalau motornya dipinjem”. Ya, Bapak asuh saya adalah adik dari Pak Rasyid, Guru di SD tempat saya mengajar yang jega menjadi Bapak asuh Vivi. Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Mandar, mau tidak mau saya harus belajar bahasa Mandar. Kabarnya sudah ada kamus bahasa Mandar yang diterbitkan. Itu wajib dicari.

Calon murid saya? “Monster”, kata Vivi spontan.

Apa?

Tapi Vivi langsung menjelaskannya, “Iya monster, tapi kamu harus ingat kata Pak Munif Chatib, setiap anak itu spesial dan mereka memiliki bakatnya sendiri. Kamu sebagai guru yang harus menemukan dan mengarahkannya”. Oke, logis. Dan memang selama training, itu yang benar-benar di-doktrin-kan dalam pikiran kami. Setiap anak spesial. Mereka terlahir dengan bakat yang dititipkan Allah SWT pada masing-masing mereka.

Yap, semua trainer dalam pelatihan, Ibu Weilin, Pak Munif Chatib, Ibu Elke, Ibu Ruth, Pak Bobby, Om Dik Doank, Pak Yudis, Ibu Sisca, semua menyajikan “Cara Gila” untuk mengajar. Benar-benar gila, gila metodenya, gila peralatannya, gila kreativitasnya, dan yang jelas guru harus benar-benar mau jadi gila demi muridnya. Hasilnya? GILA!!!! Lihat saja nanti.

Cuma 10-15 orang yang bakal memanggil saya “Bapak” dengan imutnya. Karena SD Inpress 22 Rura hanya memiliki sekitar 63 murid. Beruntung kalau saya dapat mengajar banyak kelas, sehingga lebih banyak lagi anak-anak yang bakal saya kenal, yang bakal menjadi tempat saya belajar.

Oke sepertinya itu sudah cukup. Saya tidak ingin mengetahui lebih jauh tentang Majene dari sini. Saya ingin mengetahui Majene dari sana. Langsung dari dalam Majene. Karena kesan itu personal sifatnya, dan saya tidak ingin pikiran saya tentang Majene diracuni oleh kesan, baik ataupun buruk, dari orang lain. Saya ingin membangun impresi tentang Majene dari diri saya sendiri, dari mata saya. Segera saja terbangkan kami ke Majene, kami ingin merasakannya. Secepatnya. Sombong ya? Memang, tapi pesan dari CEO Detik.com semalam, “sombong itu menyenangkan”, hehe.

Majene, semoga menjadi tempat saya berwudhu. Menjadi tempat dimana saya mensucikan diri saya dari apapun yang bakal merusak sholat saya.

Sebuah tempat di tepian Bandung #2 : Sederhana


 

Setelah semalaman beristirahat dalam balutan hangat selimut tebal di sudut ruang tamu rumah panggung, pagi ini aktivitas saya mulai dengan nongkrong di “gazebo”, melakukan aktivitas alamiah saya. Walaupun semi outdoor, namun karena itulah satu-satunya MCK yang bisa saya temui, dengan terpaksa saya menikmatinya. Tentu dengan berbagai cara, bagi yang sudah terbiasa atau pernah mengalami bagaimana harus berkegiatan di gazebo ini pasti bisa mandi dan buang air dengan nyaman tanpa masalah. Tapi bagi yang berasal dari kota besar? Ini menjadi tantangan tersendiri. Alasan malu lah, tidak terbiasa lah, pokoknya ada saja yang diungkapkan untuk meratapi keadaan. Maka muncul beberapa ide untuk menutup sebagian WC dengan sarung, mandi dengan pakaian lengkap, atau yang lebih realistis melakukan aktivitas mandi dll disaat hari masih gelap, disaat hawa dingin masih menusuk-nusuk.

Selesai dengannya, kami melakukan upacara. Nasionalisme itu penting!! Begitu katanya, saya sih hanya ikut-ikutan. Biar tidak dihukum, hehe. Selesai, lalu kami digiring menuju lokasi yang lebih tinggi dan lebih “liar”. Ya, di lokasi yang baru mungkin hanya kami yang bisa disebut sebagai “peradaban”. Tidak ada rumah. Yang ada hanya pohon, sungai, suara serangga, mungkin babi hutan.

Di tengah rimbun pohon pinus, kami belajar tentang kesederhanaan. kami belajar akrab dengan alam. Makan dengan bahan yang tersedia alami di alam. Belajar menaklukkan ular –dengan merinding dan takut-takut-. Belajar tentang bagaimana harus bertahan dalam kondisi minimal dan yang paling penting saya harus merefleksi arti hidup yang sebenarnya. Berada dalam kepungan rasa sepi, jenuh, marah, dan lelah yang bercampur di tengah segala yang serba terbatas membuat saya malu atas kutukan-kutukan yang selalu saya keluarkan dengan mudah di tengah kemudahan-kemudahan yang selama ini saya rasakan.

Dalam dingin kabut yang menggelayut di setiap malam hingga pagi menjelang, saya dipaksa untuk mengucap syukur yang selama ini terlalu berat untuk keluar, meski hanya lewat ucapan. Bentangan alam yang tersaji tepat di depan mata menjadi cermin besar untuk kembali meresapi ciptaan dan kekuasaan Allah SWT yang hampir terlupa, tergantikan oleh layar-layar kesibukan dunia.

Ternyata kami hanyalah sebuah titik kecil tiada arti dalam panggung hidup ciptaan-Nya. 52 manusia kota yang sombong berhasil dipukul dengan telak hanya oleh sulitnya buang air tanpa air, oleh sulitnya mencari tempat sholat yang “layak” menurut standar yang kebiasaan kami, oleh sulitnya mencari makanan “enak”, oleh sulitnya mendapatkan tempat tidur yang nyaman, oleh kesulitan-kesulitan sederhana yang hanya kami anggap “urusan pembantu” bila kami ada di kota. Kami dipaksa utnuk ikhlas. Tidak banyak menuntut dari alam, dari yang Allah sudah sediakan.

Penyesalan. Itulah yang saya rasakan. Ternyata sudah banyak waktu yang telah saya habiskan tanpa makna, tanpa adanya “karya besar” yang tidak hanya memuliakan diri namun juga mampu memuliakan orang lain. Saya terhanyut oleh rayuan dunia yang menggiring saya untuk jadi manusia rakus yang mencari semua kesempatan, mendapatkan semua hal, dan menerima semua pujian. Seandainya waktu dapat saya putar, saya ingin mengulangnya kembali.Ingin saya berikan lebih banyak kebahagiaan yang saya terima untuk orang lain. Ternyata Allah sudah memberikan jauh, jauh, dan jauh lebih banyak dari yang saya butuhkan.

Sok suci. Sok alim. Sok humanis. Mungkin “pujian” seperti itu yang akan saya dapatkan selanjutnya. Namun bukankah itu lebih “membumikan” dibanding pujian-pujian palsu berbalut kepentingan?buat saya pribadi kritik pedas dan cemoohan merupakan pemberi energi terbesar yang memaksa tubuh untuk segera bergerak. Walaupun saya juga tidak bisa memastikan bahwa jalan yang saya ambil bakal tetap lurus, namun saya akan selalu berusaha dan berharap Allah menjaga saya. Karena hanya di tangan-Nya hati ini bisa saya titipkan dengan aman.

(besambung)

Sebuah tempat di tepian Bandung #1

Yang ekspresinya paling aneh, itu saya

Ternyata sudah lama saya melupakan blog ini sejak terakhir memutuskan untuk membagi cerita kehidupan –terutama cerita jalan-jalan-. Memang sejak tulisan terakhir saya disibukkan dengan kegalaluan hati untuk melanjutkan kehidupan yang akhirnya mengarahkan saya untuk menjalani pilihan menjadi Pengajar Muda dari Program Indonesia Mengajar. Awalnya memang ada motivasi pribadi yang menguntit, tapi seiring berjalannya waktu dan hasil berbagi dengan banyak orang hebat, semoga saya masih mau untuk berusaha me-lempeng-kan niat.

Pelatihan itu dimulai tanggal 10 september 2012. Kami ber-52 datang dari penjuru nusantara ke Kantor IM di daerah Blok M. Dua hari kami diinapkan di Wisma Handayani milik Depkes RI di Fatmawati untuk kemudian melanjutkan training outdoor bersama Wanadri di sebuah bukit di Sumedang –Gunung Kareumbi kalau tidak salah, markas dari Wanadri-. Sehari kami menginap di dusun Cigumentong yang sangat sederhana.

Hanya ada 17 rumah disana yang telah dihuni secara turun-temurun, bahkan beberapa sudah kosong. Kalau digambarkan seperti ini kira-kira: rumah paling depan adalah rumah ketua RT, kemudian terdapat sebuah balai di sampingnya yang cukup untuk menampung 50-an orang. Kemudaian ada lapangan yang lumayan besar yang dikelilingi sekitar 6 rumah warga dan satu masjid. Saya menduga daerah itu adalah pusat kampung karena daerah itulah yang paling datar, disamping adanya lapangan dan masjid tentunya. Sementara rumah-rumah yang lain berderet naik memenuhi lereng perbukitan, tidak terlalu tersebar, namun tidak pula terlalu padat. Nampak beberapa kolam ikan, karena air cukup lancar mengalir ke desa ini. Juga ada beberapa kandang kambing serta tanaman sayur mayur di samping rumah. Hiaju, sejuk, dan dingin, itu yang menggambarkan Cigumentong.

Beberapa rumah terlihat kosong. Katanya sih sudah dibeli oleh orang-orang dari kota. Hanya beberapa rumah yang memiliki lampu walau hanya seterang lampu senter LED, lampu neon hanya ada di Mushalla kampung. Sebetulnya ada generator mikrohidro dan beberapa rumah memiliki pembangkit tenaga surya bantuan pemerintah, namun sedang tidak berfungsi. Pembangkit mikrohidro hanya berfungsi jika debit air cukup besar untuk memutar turbin, sedangkan beberapa pembangkit surya menurut informasi warga sudah mulai rusak. Jadi menurut cerita malam ini kami harus bergelap-gelap ria bila tak membawa senter. Sinyal? Jangan harap ada, tapi komunikasi terasa lebih intim di sini. Tanpa handphone. Itu point pentingnya.

Kami tinggal di rumah yang menghadap langsung lapangan kampung. Rumah panggung yang memang mendominasi struktur bangunan di Desa Cigumentong menjadi tempat beristirahat kami semalam kedepan. Dua buah kolam ikan besar di belakang rumah berhias beberapa “gazebo” yang akan menjadi kamar MCK kami. Berlatar perbukitan hijau yang menawarkan hawa sejuk –dingin tepatnya-, kami mencoba mengakrabkan dengan warga Cigumentong yang kebanyakan bertani dan berkebun. Memang jelas terlihat di kejauhan sana kebun sayur yang membentang luas di tengah kepungan bukit-bukit yang agak kering karena kemarau.

Sejenak beristirahat, ternyata Ibu sudah menyiapkan sejenis kerupuk yang masih mengepul hangat. Sangat cocok dinikmati sambil menunggu memerahnya langit yang ditinggal matahari. Langsung saja kami hajar kerupuk itu –saya tak tahu namanya karena Ibu menjelaskannya dalam bahasa Sunda-, dan dalam waktu sekejap kosonglah toples besar menyisakan bekas minyak. Biarlah kami dikata rakus, tapi ini beralasan karena sejak awal perjalanan dari Jakarta pagi tadi kemudian turun di Bandung yang dilanjut dengan sejam ber-angkot plus jalan kaki juga selama satu jam lebih tak ada logistik yang masuk ke perut. Dan rupanya memang kerupuk itu hanya pembuka. Tak lama berselang Ibu membawakan kami sebakul nasi yang begitu wangi berhiaskan kepulan asap yang membangkitkan selera. Setelah itu muncul secara berururtan sayur lodeh, ikan asin, sambal, dan lalapan. Sunda banget, pikiran saya berkata. “Dari kebon sendiri dhek”, kata Ibu.

Tak perlu berbasa basi lagi, piring berdentang, gelas bertubrukan, sendok bergemerincing. Kami makan. Habis. Kenyang.

Sambil mengistirahatkan perut yang penuh, dari balik pintu tengah, ekor mata saya menangkap sosok seorang anak kecil yang daritadi memperhatikan kami. Anak Bapak asuh kami yang baru menginjak kelas empat SD. Dengan malu-malu dia memperkenalkan diri, sedikit tersenyum. Berbasa basi sebentar sebelum akhirnya saya memintanya mengantar ke pembangkit mikro hidro yang tidak berputar gara-gara kurang air. Menembus gang sempit diantara rumah warga, menuruni bukit kecil yang berhiaskan tanaman kol untuk kemudian naik menuju sebuah gubuk permanen yang melindungi generator. Sebentar mengamati kemudian pulang karena adzan maghrib sedah terdengar dari kejauhan.

Gelap mulai datang, deru genset dari masjid juga terdengar sangat jelas. Malam menggelayut, kami berjamaah di masjid. Selesai sholat, beberapa anak mulai datang membawa iqra dan juz amma. Karena Pak Kyai belum datang, saya dan beberapa teman mencoba memfasilitasi mereka mengaji. Bintang-bintang terlihat sangat indah di luar sana. Langit yang bersih, tenang, dan tanpa gangguan cahaya lampu membuat saya terhenyak. Seumur hidup, itulah pertama kalinya saya melihat bintang begitu banyak.

Di tengah kepungan bukit, di dalam kegelapan, di temani nyanyian alam berhiaskan taburan bintang yang tak pernah lelah berkelip, dalam dengung anak-anak yang mengaji, saya menikmati tenangnya Cigumentong. Sunyi dan diam namun menentramkan. Tak ada foto, karena saat itu kamera dan seluruh gadget tidak boleh digunakan. Namun tanpa gadget bukan berarti tak bisa bercerita kan?.

(bersambung)

Minggu, 22 Juli 2012

Perjalanan Ramadhan /2 : Angka Keramat 03:10

 

 
03:10 am

“biiiip biiip biiip”

Alarm berbunyi. Alarm sudah lebih dari sepuluh bulan terpasang dalam angka 03:10 pagi. Angka keramat yang diberikan Pak Saiful untuk saya. Seorang sopir proyek asal Bekasi yang mengajarkan bagaimana caranya bangun untuk tahajud.

Saya bertemu Pak Saiful pertama kali ketika beliau mengantar saya menuju kantor proyek dan ternyata kami detempatkan di mess yang sama. Ketika itu saya masih sangat sulit menyempatkan diri untuk bangun walaupun hanya sekedar untuk sholat subuh di Masjid. Setiap hari, padatnya pekerjaan hampir pasti berakhir dengan lembur sampai pagi. Rutinitas yang hingga akhirnya membentuk kebiasaan mengakhirkan sholat subuh demi mencukupi kebutuhan tidur.

Tinggal bersama lima hari dalam seminggu membuat saya mengenal kebiasaan-kebiasaan Pak Saiful, termasuk tahajud yang rutin beliau kerjakan setiap hari. Pola yang beliau buat adalah seperti ini, bangun jam 03.00, tahajud, sholat taubat, kemudian dilanjutkan dzikir sampai subuh. Yang jelas, ketika Pak Saiful bangun, seringkali bertepatan dengan saya selesai lembur.

Suatu pagi setelah lembur mempersiapkan rapat mingguan, saya telat bangun. Sholat subuh baru saya kerjakan pukul 06:15. Sejak saat itu, saya berpesan pada Pak Saiful untuk membangunkan saya ketika hendak jamaah subuh. Diproyek memang hanya beberapa orang yang rajin ke Masjid, beberapa memilih sholat sendiri, tapi lebih banyak yang tidak mengerjakan sholat.

Namun pekerjaan membangunkan Subuh hanya dilakukan Pak Saiful selama tiga hari. Selanjutnya beliau berpesan:

“Mas, kalau mau terbiasa bangun Subuh sebaiknya pasang saja alarm. Terus supaya tidak tidur lagi setelah mematikan alarm, bangunlah (duduk atau berdiri) seketika bersamaan dengan terbukanya mata untuk pertama kali. Insyallah tidak lebih dari sebulan nanti sudah terbiasa bangun subuh”

Kemudian beliau mengambil handphone saya dan menyetel alarm pada angka 03:10. “Biar sekalian belajar tahajud” tambahnya. Dan selama sebulan lebih saya selalu dipaksa bangun pada waktu tersebut. Beberapa kali berhasil, namun lebih banyak gagal. Namun sejak saat itu, walaupun sering terlewat untuk tahajud, subuh di masjid sudah hampir pasti terkejar.

Cara Pak Saiful inilah yang kemudian membuat saya mengerti kenapa selama sebulan dibulan Ramadhan kita diperintahkan untuk menahan lapar, memperbanyak ibadah, dan mengurangi tidur. Waktu satu bulan merupakan rentang yang cukup untuk menyetel ulang jam biologis tubuh. Memaksa tubuh untuk menerima dan terbiasa dengan kegiatan-kegiatan baru.

Yang sulit untuk bangun malam dipaksa terbiasa dengan waktu makan sahur yang berakhir tepat sebelum adzan subuh. Yang tidak pernah sholat sunnah, digembleng dengan tarawih yang pahalanya setara sholat wajib. Yang tidak bisa menahan diri, diharamkan untuk menyentuh makanan, minuman, mencampuri istri, marah, dan sebagainya sampai waktu berbuka tiba.

Ramadhan yang penuh dengan “paksaan” dan “larangan” sebenarnya hanyalah sarana untuk membentuk sebuah kebiasaan baru. Kebiasaan yang akan melahirkan rutinitas ibadah baru pada bulan-bulan setelahnya. Walaupun pastinya tidak semua bisa terlaksana persis seperti saat Ramadhan, tapi setidaknya ada beberapa rutinitas Ramadhan yang tersisa. Mungkin hanya kebiasaan bangun malam atau hanya kebiasaan sholat sunnah. Seperti pelajaran “tahajud” yang hanya tersisa “subuh di masjid”, Ramadhan pasti akan memberikan bekasnya.

Seperti sebuah ungkapan
“Karet yang direnggangkan pasti akan kembali memendek, namun dia pasti menjadi lebih panjang dari sebelumnya meski hanya seujung kuku”

Jumat, 08 Juni 2012

Janti, Klaten : air, ikan, air lagi, ikan lagi...

Entah sejak kapan saya menyukai terpaan angin fajar menelusup menyapu wajah dan masuk diantara sela-sela rambut. Mungkin sejak kelas 3 SD, saat untuk pertama kalinya selama hidup, Bapak membelikan saya sepeda BMX bekas yang kemudian merubah hidup saya menjadi seorang petualang. Ya minimal berpetualang muter kelurahan yang dulu seakan tak terjangkau saat modalnya hanya dengkul dan ayunan kaki.

Dan, kebiasaan itu terbawa sampai sekarang. Menikmati bau embun, merelakan dingin kabut meraba tubuh, bergesekan dengan rumput basah, menjadi hal yang sangat saya tunggu di setiap paginya.

Pun dengan pagi ini. Berbekal sepeda yang biasa menemani sehari-hari, berdua dengan Siswo kami memutuskan untuk mencari basahnya rumput, bau sawah, dan dingin mata air ke daerah Janti, Kabupaten Klaten yang juga merupakan sentra penangkaran ikan.

Tepat sehabis sholat subuh kami berangkat. Masih dalam gelap sisa-sisa malam, kami genjot sepeda dengan gear paling besar. Mumpung jalan masih sepi. 10 menit, 20 menit, 30 menit berlalu, pertokoan, rumah, hotel, dan baliho-baliho besar yang semula berderet rapat menghimpit kami perlahan menghilang berganti dengan sawah yang nampak masih enggan melepaskan kabut dari pelukannya. Alhasil, mata kami hanya mampu menangkap keremangan hijau sawah.

Beberapa kali berhenti untuk sekedar minum dan mengambil foto, beberapa kali dilewati rombongan pesepeda lain, dan beberapa kali menelan asap hitam bus Solo-Jogja yang seolah bermesin jet. Saya lupa tepatnya dimana, yang jelas sebelum pasar Delanggu, tepat setelah Jembatan, kami berbelok ke utara, mungkin ke arah Cokro. Pokoknya jalan menyempit dan sepi, yang ada hanya rombongan pesepeda, dan pesepeda. Motor dan mobil hanya terlihat sesekali. Walaupun jalan mulai terasa menanjak, tapi semua teralihkan oleh hamparan sawah yang beberapa terlihat mulai menguning, juga sambutan dari Gunung Merapi yang nampak Gagah menghadang kami didepan.

Persawahan menjelang pintu masuk Janti

Persawahan yang sudah panen & siap tanam lagi
Sekitar setengah jam kami menyusuri sawah sebelum akhirnya mulai muncul bangunan-bangunan yang hampir semua memajang kolam entah di depan, di samping, di belakang, dan papan bertuliskan "pemancingan" mudah sekali ditemukan.

Karena belum terlalu lapar, dan lagi pula belum ada warung yang buka, kami putuskan untuk terus naik menuju Umbul Nila. Sebuah mata air (umbul = mata air) yang terletak di sebelah utara Janti. Mata air yang cukup besar sehingga PDAM Kabupaten Klaten membangun sebuah penampungan yang besar di sebelahnya. Cukup besar, sehingga jangan heran kaklau di sekitar kolam nampak beberapa ibu sedang mencuci baju, bahkan ada beberapa anak yang tanpa rasa takut menceburkan diri dan berenang mengitari kolam.

Sejenak menikmati kopi di pinggiran umbul, mengambil beberapa foto, kamudian kami putuskan untuk turun dan mencari tempat sarapan. Karena ada di Janti, tentu saja yang kami cari adalah ikan. Berputar-putar sejenak, akhirnya kami masuk ke sebuah pemancingan yang ramai terparkir sepeda. Sebuah tempat pemancingan yang ternyata juga memiliki kolam renang didalamnya. Dan dari obrolan dengan beberapa orang, memang selain penangkaran ikan, pemancingan, dan resto, ada beberapa pemilik usaha yang juga membangun kolam renang, sehingga tidak salah kalau Janti mengusung tagline "wisata air".

Satu paket lengkap menu ikan kami pesan. NAsi sebakul, plus ikan satu piring, lalapan, sambel, kerupuk, sengan cepat tersaji dihadapan kami. Rasa capek dan lapar membuat kami kalap, dan dengan sekejap semuanya habis menyisakan tulang dan ceceran sambel.

Saya nggak bakat cerita panjang-panjang, dinikmati foto-fotonya saja deh :D




Sisik ikan yang mau diekspor

Kolam Ikan
Kolam Ikan
Dihadapan hamparan kolam ikan
Paket Lengkap

Siswo

Saya

Akhirnya dengan perut kenyang dan senyum lebar, kami kembali ke Solo.

Kamis, 07 Juni 2012

Jakarta dan Putrajaya

"Macetnya parah" itu yang sering terdengar pada jam-jam sibuk di Jakarta. Padahal "jam sibuk" di Jakarta hampir berlangsung sepanjang hari. Maka yang terjadi adalah macet dimana-mana.

Sebagai pusat pemerintahan, tidak seharusnya Jakarta sering dilanda banjir dan kemacetan parah setiap hari yang menghambat mobilisasi. Padahal bagi kota besar sepert Jakarta, mobilisasi mempunyai peranan sangan penting dalam transportasi logistik maupun manusia. Kemacetan dan banjir yang menjadi penyakit akut Jakarta sudah sangat sulit untuk diperbaiki. Perkembangan infrastruktur yang tidak terkonsep dengan baik dan terkesan asal-asalan menimbulkan kesemrawutan yang membuat pebangunan hanya dilakukan sebagai solusi sesaat sebagai reaksi atas masalah-masalah yang sudah menjadi rutinitas.

Namun, pemindahan ibukota tentu saja bukanlah perkara yang mudah. Perlu perencanaan yang detail sehingga tercipta kota yang terkonsep baik dan memiliki visi yang jelas yang mencakup semua aspek sehingga mampu menjadi kota yang nyaman sebagai tempat tinggal, mampu mendukung kegiatan pemerintahan, dan peduli terhadap lingkungan. Salah satu kota yang dapat menjadi contoh dalam pembangunan kota yang berkelanjutan adalah Putrajaya di Malaysia.

Hampir sama dengan di Indonesia, Malaysia juga memiliki masalah yang sama di ibukota mereka, Kuala Lumpur. Perkembangan kota yang cepat menyebabkan Kuala Lumpur penuh sesak oleh bermacam kepentingan yang menyebabkan terbenturnya kepentingan pemerintah dan swasta. Oleh karena itu, pada awal dekade 80-an, para pemimpin Malaysia berencana untuk memusatkan kegiatan pemerintahan di satu lokasi dengan fasilitas yang lengkap dan modern, sehingga mampu mendukung kegiatan pemerintahan yang efektif. Putrajaya dibangun dengan konsep Kota Taman (Garden City) yang menyelaraskan pembangunan dan manajemen kota dengan alam sekitarnya. Putrajaya adalah kawasan seluas 4931 hektar yang terletak diantara Kuala Lumpur -25km- dan Bandara Internasional Kuala Lumpur (KLIA) -20km-. Nama Putrajaya diambil dari nama perdana menteri pertama Malaysia, Tuanku Abdul Rahman Putra. Pembangunan kawasan Putrajaya dimulai tahun 26 agustus 1995 setelah lahan milik kerajaan Selangor dibebaskan oleh pemerintah dengan total biaya pengembangan kawasan sebesar 20,09 miliar Ringgit. Pembangunan tahap pertama dilakukan tahun 1996-2000 dengan prioritas pembangunan adalah Kantor Perdana Menteri, Departemen Keuangan, dan instansi pemerintah yang tidak memiliki gedung sendiri di Kuala Lumpur. Tahap kedua adalah pemindahan seluruh kantor pemerintah dan pembangunan perumahan untuk seluruh pegawai pemerintah yang bekerja di Putrajaya yang berlangsung dari tahun 2000-2005. Pembangunan Putrajaya direncanakan selesai secara total pada tahun 2015.

Putrajaya View

Putrajaya dipromosikan sebagai kota taman yang modern, didesain dengan fasilitas lengkap sehingga membuat warganya tinggal dengan nyaman. Dibagi dalam 20 distrik yang berpusat di pulau utama yang disebut Dataran Putra, kota yang dirancang untuk ditinggali 320.000 orang ini memiliki fasilitas seperti perumahan, sekolah, pusat perbelanjaan, masjid, area parkir yang tersebar di seluruh kota yang terkoneksi dengan “bus service” baik dalam kota maupun keluar Putrajaya, food court, tempat rekreasi, bioskop, dan sebagainya. Sebagai kota taman, proporsi pengunaan lahan yang terbesar adalah untuk ruang terbuka sebesar 39,15% -di Indonesia, undang-undang mensyaratkan 30%-, selanjutnya adalah 14,42% untuk perumahan, 18,40% untuk jalan raya, dan ditambah dengan danau seluas 600 hektar.

Transportasi

Selain fasilitas bangunan yang lengkap, sebagai kota yang menjadi pusat administrasi negara diperlukan sistem transportasi yang baik sehingga sehingga mobilisasi dan koordinasi antar instansi pemerintah berjalan dengan lancar. Sadar akan hal ini, otoritas Putrajaya membangun sistem transportasi yangterintegrasi, terdiri dari bus, kereta api, monorail, ditambah waterways yang didukung oleh 94,87 km jalan raya 4 lajur, 18,87 km rel kereta api, 18 km jalur monorail, serta 38 km waterfront.

Putrajaya road map

Gerbang masuk ke Putrajaya berada di Putrajaya Sentral yang merupakan tempat pemberhentian bus dan kereta api dari luar Putrajaya yang dapat dicapai dengan bus sekitar 30 menit dari KL maupun KLIA dengan tiket bus seharga RM 3,5. Sedangkan apabila menggunakan kereta api, dari KL Sentral menuju Putrajaya memakan waktu hampir sama dengan tiket seharga RM 19. Sebagai terminal utama, Putrajaya Sentral memiliki area parkir mobil pribadi dan area pakir bus yang sangat luas, karena semua jalur bus dan taksi yang beroperasi di Putrajaya berakhir di Putrajaya Sentral. Target pemerintah lokal adalah 70% beban arus lalu lintas di Putrajaya berasal dari transportasi publik. Sebagai usaha memenuhi target yang telah ditetapkan, terdapat 13 jalur bus dalam kota dengan tarif 50 sen sekali naik yang didukung 170 armada bus NGV (2008). Bus NGV adalah kendaraan hibrid yang hanya menghasilkan sedikit emisi, tidak menimbulkan suara dan getaran yang menganggu. Dengan transportasi umum yang murah dan nyaman, terbukti, pada tahun 2008 tercatat 2,5 juta orang yang memanfaatkan bus sebagai alat transportasi utama.

Figure 5 NGV bus

Untuk meningkatkan kinerja transportasi umum, maka pada bualn maret tahun 2004, MTrans –perusahaan pengelola transportasi Putrajaya- merencanakan monorail sebagai alat transportasi baru di Purtajaya dengan 23 stasiun yang terletak dibawah tanah maupun elevated. Namun pada akhir tahun 2004, setelah menyelesaikan pembangunan 2 stasiun utama dan satu jalur monorail termasuk jembatan yang dapat dilewati monorail dan mobil, pembangunan monorail ditunda untuk menunggu perkembangan lebih lanjut Putrajaya.

Subway

Selain bus dan monorail, terdapat juga taksi sebagai sarana transportasi, namun tarif taksi sangat jauh berbeda dengan tarif bus, sehingga taksi hanya digunakan pada keadaan darurat saja. Semetara angkutan kereta api hanya melayani rute luar kota yaitu KL-Putrajaya, PP dan Putrajaya KLIA, PP. Melengkapi transportasi darat yang sudah ada, di Putrajaya terdapat pula jalur transportasi air, namun alat tansportasi ini hanya diperuntukkan bagi keperluan wisata kepada turis yang mengunjungi Putrajaya.

Monorail facilities

Pengelolaan Sumber Daya Air

Sistem pengelolaan sumber daya air di Putrajaya meliputi daerah tangkapan seluas 50,9 km2, 6 anak sungai, pulau-pulau buatan, yang bermuara di Danau Putajaya seluas 600 hektar dengan kapasitas simpanan sebesar 23,5 juta m3. Danau ini difungsikan sebagai penyeimbang suhu dan cadangan air bersih bagi Putarjaya. Badan air di Putrajaya dibagi menjai 6 zone yang masing-masing memiliki fungsi khusus. Zone 1 berada di daerah hulu yang difungsikan sebagai wetland yang bertujuan untuk menjaga kualitas air danau, penghijauan, rekreasi, sarana edukasi, dan yang terpenting adalah menahan air sehingga debit air yang mengalir ke danau tidak berlebihan. Zone 2 berada di bawah zone 1, terletak di sekitar dataran Putra yang berfungsi sebagai zone rekreasi terkawal. Pada zone ini rekreasi yang dapat dilakukan adalah berlayar di sekitar Masjid Putra, Jembatan Putra yang bergaya eropa, sampai Jembatan cable stayed Seri Wawasan. Zone yang lain difungsikan antara lain untuk zone pengendapan sedimen, zone yang terisi oleh banyak pulau-pulau kecil yang disebut cells. Sel-sel ini merupakan pulau-pulau buatan yang tersebar di seluruh zona daerah tangkapan.

Figure 8 Wetland Cells

Pulau terbesar berukuran 50.9 hektar, sedangkan pulau terkecil berukuran 14,3 hektar. Sel-sel dengan ukuran besar ditanami dengan tumbuhan besar yang berfungsi sebagai pencegah erosi, penahan sedimen dan pemanen air hujan (rain harvesting). Selain itu juga ditanami tumbuh-tumbuhan yang cocok untuk habitat burung, serta hewan, baik hewan endemik maupun hewan yang sengaja didatangkan sehingga secara keseluruhan, sel-sel yang ada dikemas secara baik sebagai taman botani (botanical garden) yang menjadi sarana rekreasi dan edukasi masyarakat untuk selalu dekat dengan alam.

Watershed and waterbody zoning

Untuk sistem pencegahan banjir, sistem drainase Putrajaya tidak mengadopsi bentuk saluran drainase konvensional yang kaku. Sistem drainasi utama disembunyikan di dalam jaringan sungai buatan berbentuk acak yang menyebar ke seluruh sudut kota. Bentuk yang natural menjadikan jaringan drainase terlihat alami sehingga sesuai dengan konsep kota taman yang dianut Putrajaya.

Dampak dari pembangunan yang berkelanjutan di Putrajaya
Pembangunan yang terencana dengan baik menjadikan Putrajaya bukan saja menjadi pusat administrasi pemerintahan, namun dalam perkembangannya juga dijadikan sebagai objek wisata yang menarik banyak pengunjung. Banyak event-event pariwisata digelar sepanjang tahun. Hal ini tentu saja memberikan keuntungan ganda bagi pemerintah setempat. Disamping kegiatan pemerintahan dapat berjalan efektif dan efisien, banyaknya turis juga memberikan kontribusi terhadap pendapatan negara, yang tentu saja akan menaikkan perekonomian rakyat. Selain itu dari sisi politik, penataan ibukota yang baik dapat dijadikan alat pencitraan negara sehingga tidak timbul rasa rendah diri terhadap ngara lain yang pada akhirnya memunculkan jiwa nasionalisme yang tinggi.

Belajar dari Putrajaya
Kembali pada wacana pemindahan ibukota Jakarta, bercermin dari Putrajaya, untuk membangun sebuah pusat administrasi yang baru, diperlukan perencanaan yang menyeluruh dan berkelanjutan. Pembangunan harus mempunyai visi yang jelas agar penataan kota terkonsep dan tidak terjadi pembangunan yang “asal jadi”. Pembangunan infrastruktur yang lengkap dan modern akan mempermudah jalannya proses pemerintahan. Namun selain pembangunan infrastruktur, pembangunan juga perlu memperhatikan kelestarian alam dan harus mampu mengakomodasi kepentingan warga kota yang tinggal baik secara fisik maupun spiritual melalui penyediaan fasilitas ibadah dan rekreasi yang memadai. Pembangunan infrastruktur, gedung, jalan, sarana transportasi, saluran drainase, dan sistem manaemen tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat sehingga harus dijalankan secara konsisten dan berkesinambungan tanpa dipengaruhi keadaan politik yang berganti-ganti untuk menciptakan kota yang baik.



(telah di publish di sipil2006.wordpress.com)

Rabu, 06 Juni 2012

Lawu, 3265 MDPL

Tim Nekat Asrika

Jumat siang (1/6), setelah sehari persiapan fisik, berburu pinjaman alat dan perlengkapan, belanja logistik, kami bertujuh (Saya, Siswo, Irfan, Arifin, Widhi, Sugeng, Agnang) dengan semangat 45 berangkat menuju Cemoro Sewu. Titik awal pendakian gunung Lawu. Titik ini kami capai dari Solo dengna menumpang bus jurusan Solo-Tawangmangu (5ribu rupiah) disambung dengan ngompreng dari Terminal Tawangmangu ke Cemoro Sewu yang juga 5 ribu rupiah.

20:15
Setelah lapor dan istirahat sebentar, kami melakukan checking akhir dan tepat 20:30 kami mulai pendakian. Sinar purnama yang tak terhalang kabut mengekspos jalan berbatu yang akan kami susuri. Jalan selebar sekitar 1-2 meter yang menemani kami hingga pos 1. Dari base camp ke pos 1 kami tempuh dalam waktu 1 jam dengan kecepatan standar pemula. Dari pos 1 ke pos 2 jalan masih nampak berbatu namun mulai menyempit dan kemiringannya makin lama makin curam. Pun begitu dari pos 2 menuju pos 3, kondisinya tidak begitu berbeda. Sempat kami temui pula beberapa group yang juga mendaki malam itu. Beberapa diantaranya kami temui membuka tenda di Pos 3, lokasi yang sebenarnya kurang nyaman karena angin yang bertiup sangat kencang dan dingin.

23:48
Kami sempat melanjutkan perjalanan dari pos 3 ke pos 4, namun karena ada beberapa insiden kecil kami putuskan untuk membuka tenda di pos 3 dan meneruskan perjalanan esok hari.
____________________
Sunrise dari Pos 3 Cemoro Sewu
Sempat kecewa karena gagal menemui sunrise di Puncak, namun karena sudah lebih setengah jalan kami tempuh, mau tak mau perjalanan harus dilanjutkan sampai puncak, Hargo Dumilah. Puncak yang sudah saya idamkan sejak semester tiga dulu. Dari awal, Agnang sudah mengingatkan kalau pendakian dari pos 3 ke pos 4 akan sangat melelahkan, karena trek yang terjal menanjak. Dan benar saja, dari pos 3 kami butuh waktu 2 jam untuk sampai ke pos 4. Tentu saja waktu untuk berfoto ria berkontribusi menambah waktu tempuh kami ke pos 4 karena saat itu pemandangan yang iperlihatkan kepada kami sungguh luar biasa. Pemandangan ke arah barat, ke arah kota Solo dan Wonogiri. Bukit-bukit berjajar, dan yang jelas sekali terlihat adalah waduk Gajah Mungkur di kejauhan sana. Kabut yang sesekali turun makin me-luar biasa-kan suasana. Diapit tebing-tebing yang memantulkan cahaya matahari pagi, kelelahan, rasa lapar, dan kebosanan menapaki jalan menanjak seakan hilang, tergantikan oleh perasaan kagum dan takjub atas kebesaran ciptaan Yang Maha Maha.

07:58
Sampai di Pos 4 matahari mulai meninggi, karena trek dari pos 4 ke 5 yang relatif datar -yang oleh Agnang disebut "trek bonus"- langkah kami percepat, karena nasi, mie instan, telor rebus, dan kopi hangat sudah terlalu lama hanya menjadi hiasan tas. Hasilnya, tidak sampai satu jam kami sudah merapat ke sendang Drajat, tempat dimana akhirnya kami melakukan "pesta" dan menghabiskan "hiasan" tas kami.

09:13
Seolah mendapat energi baru, perjalanan menuju Hargo Dumilah kami jalani dengan semangat mie istan dan telor rebus. Tanjakan terjal menjelang puncak-pun dengan mudah dilibas layaknya jalan datar.

10:33
HARGO DUMILAH, puncak Lawu 3265 MDPL berhasil kami taklukkan.

Sejauh ini, inilah tempat tertinggi yang pernah saya pijak. Tempat dimana awan berada jauh dibawah sana. Tempat dimana angin gunung bertiup begitu kencang. Dimana kabut bisa saya rasakan begitu rendah. Dimana mata saya bisa memandang kebesaran Tuhan yang terhampar begitu luas.



Jauh dibawah sana

Sisi Timur Puncak Lawu

Tebing Timur

Tebing TImur



Waduk Gajah Mungkur (Wonogiri)

Barisan pegunungan

Irvan Nampang
Yang terjadi selanjutnya adalah berfoto, foto, foto, dan foto.

Hargo Dumilah




_______________
11:45
Puas menikmati keindahan puncak dan menikmati sedikit pelemasan otot kaki, kami memutuskan untuk turun melalui jalur Cemoro Kandang setelah sholat Dzuhur nanti. Jalur yang katanya lebih jauh dibanding jalur Cemoro Sewu, namun lebih landai. Jalur dengan 4 pos yang masing-masing pos-nya bisa ditempuh dalam waktu sekitar 1-2 jam.




Trek Cemoro Kandang
Jalak Lawu
18:41
Setelah hampir 6 jam menjelajahi trek turun Cemoro Kandang, kami sampai di Basecamp Cemoro Kandang. Akhirnya kesampaian juga mendaki puncak Lawu.

___________________________
Tips :
1. Persiapan Fisik, Logistik, dan Peralatan (Jelas)
2. Usahakan ke dan dari cemoro sewu tidak terlalu sore, sehingga tarif angkutan umum masih normal. Jika kemalaman dkienakan tarif sewa.
3. Minta nomer handphone sopir angkutan buat jaga-jaga kalau turun kemalaman.

Senin, 07 Mei 2012

Indonesia, The Tropical Dutch

“Ke Belanda yuuk?”
“Hah, Belanda?”
Sebuah ajakan untuk mengusir kebosanan di akhir minggu. Ternyata yang dimaksud “Belanda” oleh teman saya adalah kawasan kota tua yang memang dihiasi bangunan-bangunan tua peninggalan pemerintah kolonial Belanda di Batavia. Sekilas memang landscape di kota tua tidak seperti landscape Indonesia pada umumnya. Museum Sejarah Jakarta, Museum Bank Mandiri, serta beberapa bangunan tua yang dibelah kali Ciliwung seakan berusaha “mereplika” kota-kota di Belanda sana. Tapi benarkah hanya copy-paste?



13363679311714895077
Ilustrasi. Salah satu sudut pemukiman di Belanda. /Kompasiana (Shutterstock)

Hasil googling dengan kata kunci beberapa kota yang ada di Belanda menunjukkan pada saya bagaimana landscape di Belanda. Sekilas memang mirip, namun jika diperhatikan secara detail, nampaknya Inlander yang ada di Indonesia tidaklah sekedar copy-paste. Ya, desain “original Dutch” nampaknya kemudian dikembangkan dan dimodifikasi menjadi “tropical Dutch”. Llihat saja dari penggunaan batu kali di hampir semua bagian bangunan. Pondasi, dinding dasar (kurang lebih 1-1,5m dari tanah), bahkan beberapa bangunan ada yang seluruh permukaan dindingnya menggunakan batu kali. Mungkin bangsa Belanda melihat adanya ketersediaan batu kali yang melimpah di Indonesia, dan tentu saja karena batu memang terkenal kuat.



1336361937223906975
Batu Kali dimana-mana (Dok:pribadi)

Masih di seputar dinding, dinding bangunan peniggalan Belanda terkenal tebal, sekitar 25-30cm. Dan ini terbukti efektif meredam panasnya ilkim tropis. Coba saja masuk bangunan Belanda di siang yang terik, saya yakin panas dari luar tergantikan oleh sejuk udara ruang. Ya, mungkin modifikasi-modifikasi desain asli memang terpengaruh kuat oleh iklim tropis Indonesia. Dan lagi-lagi panas tropislah yang merubah fungsi “gunungan” atap bangunan Belanda di Indonesia. Memang, baik di Belanda dan di Indonesia, bangunan karya orang Belanda masih bercirikan atap bangunan yang tinggi, namun di Indonesia tidak ada atap bangunan yang dijadikan ruang loteng seperti di Belanda sana. Atap bangunan yang tinggi hanya berupa ruang kosong yang difungsikan sebagai filter panas matahari yang membakar genteng.



1336361998457552918
Atap tinggi tanpa loteng (Dok:pribadi)

133636205326457391
Atap tinggi (Dok:pribadi)

Pun desain jendela, walaupun sama-sama memiliki jumlah jendela yang banyak dan lebar-lebar, fungsi nya sedikit berbeda. Jika di belanda jendela lebar memang difungsikan untuk memasukkan sebanyak-banyaknya sinar matahari, di sini jendela difungsikan untuk pintu gerbang pertukaran udara agar suhu ruangan tetap terjaga tanpa bersentuhan langsung dengan cahaya matahari. Jangan heran jika pada bangunan Belanda versi tropis terdapat semacam tritisan diatasnya (yang juga berfungsi menghindari tampias air hujan), kalaupun tidak, masih ada selasar yang memberikan “jeda” antara ruangan dan halaman luar. Seakan masih kurang puas dengan mekanisme “pendinginan ruang” yang sudah dibuat, di beberapa bagian jendela atau pintu, kadang masih ditambahkan lubang-lubang udara yang jika kemasukan sinar matahari akan memberi suasana cahaya yang dramatis di dalam ruangan.



13363621861691454042
Tritisan (Dok:pribadi)

Sedikit keluar rumah, merah kuning warna tulip tergusur oleh rimbun dan hijaunya tanaman tropis. Beringin, rambutan, dan beberapa tanaman yang berdaun lebat banyak menghiasi rumah-rumah bergaya Belanda. Dan bila dilihat dari kejauhan, rumah-rumah bergaya Belanda terkesan angkuh dan “dingin”



1336362240417681274
Angkuh (Dok:pribadi)

Nampaknya memang tidak sama dengan yang asli di Belanda sana.
Berarti memang sudah ada modifikasi dan adaptasi desain dengan lingkungan tropis.
Berarti nggak sekedar copy-paste.
Walaupun mirip, tapi Indonesia dan Belanda tidaklah sama. Mungkin lebih tepat Indonesia ini disebut dengan Belanda versi Tropis.
Indonesia, the Tropical Dutch


1336362286830576169
Tropical Dutch (Dok:pribadi)