Jumat, 06 September 2013

Surat dari Luar Negeri

“Ada kiriman untuk Indonesia Mengajar Rura”

Sms yang langsung masuk ketika handphone dinyalakan. Pengirimnya adalah Kepala Kantor Pos Malunda. Lhoh koq Malunda? Memang begitu keadaannya, karena Ulumanda adalah kecamatan pemekaran, sarana dan prasarana yang ada belumlah selengkap kecamatan yang mapan. Jadilah Kantor Pos Malunda dijadikan kantor bersama dua kecamatan.

Seketika itu rencana untuk men-charge laptop di rumah seorang Guru saya batalkan. Motor langsung saya arahkan berbelok ke kanan menuju Pom Bensin Malunda, menitip laptop pada petugas SPBU untuk di-charge, kemudian berbalik menuju Kantor Pos.

“Ini Pak Guru, ada kiriman dari Swedia”

Wah, dari luar negeri?
Sebuah kartu pos bergambar katedral dengan beberapa menara beratap kerucut. Berlatar langit yang berpadu dengan birunya laut. Tercetak dengan elegan diatas kertas lux.

Stockholm, 20.03.2013

@pembayunsekar

Nama yang tampak familiar. Dan memang benar, setelah ditelusur via facebook, sang pengirim adalah seorang kawan kuliah di UNS dulu. Seorang yang beruntung mendapatkan beasiswa S2 Perencanaan Wilayah di Swedia. Tulisannya dalam kartu pos singkat, “SELALU SEMANGAT BELAJAR”.

Langsung terbayang bagaimana ekspresi murid-murid besok ketika saya pamerkan kartu pos dari negeri yang nun jauh di seberang sana, negara dimana Zlatan Ibrahimovic lahir. Bila ada tombol percepat untuk memutar waktu, rasanya ingin menekan tombol itu sampai batas maksimal. Agar hari esok segera datang.

Akhirnya pagi datang. Setelah menuntaskan urusan harian di kamar mandi tetangga sebelah, cepat-cepat saya  berangkat ke sekolah untuk menunjukkan Kartu Pos yang diterima kemarin. Segera saya masuk kantor, mengambil globe, dan langsung masuk ke kelas 4. Setelah memberi salam, berdoa, dan menghafal doa sholat, langsung saya ambil globe dan memberikan intro tentang negara Swedia. Murid-murid hanya mengangguk. Entah anggukan paham atau anggukan bingung.

Setelah intro saya cukupkan, saya ambil Kartu Pos dari dalam tas. Setengah berteriak, saya angkat kartu pos itu tinggi-tinggi. “Kartu Pos ini berisi salam dari Kakak-kakak yang sekarang sedang sekolah di Swedia”

“Kartu Pos Pak?”

“Dari Swedia?”

“Ya dari Swedia, negara Eropa yang Bapak ceritakan tadi..”

Siiiiing! Hening sesaat.

“Pak PR-nya dinilai dong”

“Iya Pak PR-nya dinilai, katanya hari ini mau diperiksa?”

Aduh, koq tanggapan mereka biasa saja? Padahal kartu ini berasal dari negara yang mungkin hanya sempat terlintas dalam mimpi mereka, sudah menempuh perjalan yang sangat jauh, dan berisikan doa dan harapan agar murid-murid terus berusaha mengejar mimpi mereka. Dalam bayangan saya yang muncul adalah beragam ekspresi terkejut, murid-murid yang berebut melihat Kartu Pos dari Eropa, kelas yang histeris, dan sejumlah reaksi keterkejutan yang lain.

Selidik punya selidik, ternyata mereka sama sekali belum mengenal apa itu surat menyurat. Surat yang mereka kenal cuma dua, surat Undangan Nikah dan Surat Al-Fatihah. Pantas saja. Kartu pos dari Swedia hanya dianggap seperti foto pemandangan yang digunting dari buku.

Akhirnya, dengan semangat mengenalkan mereka pada surat dan dunia luar, saya putuskan untuk memulai program “Surat dari Rura”. Tujuannya agar mereka bisa tahu ada dunia lain selain Dusun Rura, kedua agar mereka lancar menulis.

Pertama memang sangat kacau, tulisan mereka sama sekali tidak bisa saya mengerti. Struktur kalimatnya terbolak-balik, huruf banyak yang tertukar, kurang, bahkan kelebihan. Tidak masalah, yang penting mereka berani menulis. Akhirnya surat pertama mereka saya kirim dengan menyertakan beberapa panduan membaca.

Surat pertama dikirimkan ke seorang kawan pengampu sebuah TPA dan ke anak didik teman-teman sesama Pengajar Muda.

Surat kedua, ketiga, mereka sudah bisa menceritakan hal-hal yang variatif, tulisan sudah mulai memanjang menjadi beberapa paragraf. Namun tetap saja mengundang tawa bila dibaca, itulah yang saya sebut kejujuran dan kepolosan anak-anak.

Pada surat keempat, akhirnya diputuskan untuk memulai mengirim surat ke tokoh-tokoh nasional. Target utama tentu saja Presiden.  Maka hari itu saya perintahkan anak-anak untuk menulis surat kepada Presiden.

“Siapa Presiden kita anak-anak?”

“Kalma Katta Pak”, jawab mereka serentak.

Aduh. Sejak kapan Bupati Majene diangkat menjadi presiden? Dan lagi, setelah ditelusuri pejabat yang mereka kenal cuma tiga orang. Kalma Katta, Pak Zakariah Kepala Desa, dan Bapak Lena Kepala Dusun.

Akhirnya metode menulis surat saya ubah. Jadilah setiap ada sesi menulis surat untuk tokoh, saya tenteng foto-foto yang ada di kantor, bahkan beberapa sengaja saya print agar mereka mengenal kepada siapa surat mereka akan dikirimkan. Selain itu saya dongengkan dulu mengapa tokoh tersebut perlu dijadikan panutan bagi mereka.

Sukses, maka hampir setiap minggu amplop-amplop beterbangan dari sudut dusun Rura menuju kediaman SBY, Boediono, JK, B J Habibie, Jokowi, hingga Kalma Katta. Bahkan dalam suatu acara, surat mereka ke Bupati Majene dibacakan di depan 9 Kepala Dinas di Kabupaten Majene.

“Pak Kalma, kata Pak Didin kamu orangnya baik. Boleh nggak saya menginap di rumah kamu? –kamu? ya begitulah kepolosan mereka-. Nanti saya bawakan langsat dan durian. Atli.”

Memang sengaja saya tidak melakukan editing ataupun mengetik ulang surat mereka. Semua saya sampaikan apa adanya. Surat dengan kertas yang sobek, agak dicoret-coret, tulisan yang mirip hasil bacaan seismograf, dan banyak lagi “keunikan”-nya. Bahkan surat yang struktur bahasanya “nyleneh” tetap saya biarkan. Biar jujur dan dapat chemistry-nya, kata seorang teman penempatan yang psikolog.

Dan atas bantuan beberapa orang teman, surat-surat lain juga berdatangan ke Rura. Dari Banggai, dari Paser, Ceko, Jepang, Taiwan, Austria, dan yang membanggakan Radio PPI dunia sengaja membuat program berkirim kabar entah via surat, video, foto, atau apapun untuk memberi semangat anak-anak murid kami disini, Majene.

Jadi sekarang bila ada sesi menulis surat, yang ditulis bukan hanya nama, kelas, sekolah, dan nama guru. Sangat beragam. Cerita soal musim buah, cerita tentang keinginan bertukar lagu, undangan untuk hadir ke Rura, bahkan cerita tentang impian-impiannya di masa depan.

“Pak B J Habibie”

“Kata Pak Didin bapak bisa membuat pesawat terbang, saya mau membuat pesawat terbang. Cita-
cita saya menjadi bidan yang sukses. Saya ingin sekolah di Jawa. Saya ingin naik pesawat terbang”

“Wassalamu’alaikum wr wb”

Yuyun Shafira

Rangkaian kata-kata Yuyun dikirim, terbang tinggi menuju langit. Menembus batas-batas cakrawala, menjadi awal terwujudnya cita-cita sederhana yang ingin segera dicapainya.


“Cepat dibalas ya Pak Habibie”

Selasa, 07 Mei 2013

Keberatan dengan yang "paling ringan"?



Ada hak “mereka” pada harta yang kamu terima. Angka yang sangat kecil, dua setengah atau seper empat puluh. Bayangkan saja sebuah brownies Amanda yang dipotong menjadi empat puluh buah. Sebuah potongan yang hanya sanggup memaniskan ujung lidah.

Tapi 2,5% berarti potongan 250 ribu rupiah bila ada angka 10 juta di rekening. Angka yang cukup untuk 5 kali masuk starbucks, atau 5 kali nonton di XXI, atau menikmati beberapa loyang pizza lezat di Pizza Hut. Angka yang besar untuk hidup berkecukupan selama satu minggu dengan gaya hidup ala mahasiswa di Solo.

Itu yang seringkali membuat seper empat puluh menjadi terlihat sangat besar. Seperti jerawat di ujung hidung. Kecil, namun terasa menghancurkan keindahan baju dan perhiasan terbaik sekalipun bila tidak ada keikhlasan “penderita” jerawat. Memang begitu, sedekah seakan mengurangi sempurnanya kepemilikan atas harta hasil kerja keras.

Tapi nampaknya pikiran tentang rasa berat bersedekah perlahan mulai meluntur sejak saya ditempatkan disini, di Majene. Dengan larangan pemberian charity atau sumbangan yang berlebihan dan mencolok, kami diarahkan untuk membina dan mendampingi masyarakat untuk secara mandiri memunculkan kebutuhan pada kemajuan. Empowering Community, begitu katanya.

Ternyata sedekah harta –sebesar apapun angkanya- adalah cara paling mudah dan paling ringan dalam usaha memperbaiki suatu komunitas. Kenapa? Saya akan mencoba sedikit berbagi.

Tim kami kebetulan ditugaskan di  tengah masyarakat dusun yang serba kekurangan. Sementara kami ber-delapan, dengan bermacam latar belakang yang kami miliki pastinya memiliki banyak akses -ke beberapa kenalan yang ekonominya mapan, ke beberapa organisasi dengan simpatisan yang jumlahnya lumayan, dan ke beberapa tokoh masyarakat-. Rasanya cocok sudah. Kami bisa menghubungkan Muzakki dan Mustahik dengan mudah.

Masalah terselesaikan.

Namun apakah semudah itu?

Teman saya di dusun penempatan yang lain telah melakukan sebuah riset sederhana. Dia mencoba secara rutin membelikan sabun kepada warganya yang memang terbiasa mandi tanpa sabun. Soap Charity, canda dia. Satu dua kali, nampak semua berjalan baik, dan seolah warga telah naik kesadaran kesehatannya karena sudah memakai sabun. Namun setelah dua bulan, ketika teman saya berhenti “menyuapkan” sabun, warga kembali pada kebiasaan awalnya. Angka meningkatnya kesadaran kesehatan kembali kepada titik nol. Karena motivasi memakai sabun bukan berasal dari kesadaran kesehatan, namun karena tersedianya sabun gratis.

Seperti itulah mudahnya sedekah. Beri beras, orang kelaparan bisa makan. Beri uang, orang bisa membeli banyak keperluan. Beri baju, orang telanjang menjadi berpakaian. Selintas memang masalah terselesaikan. 

Namun nyatanya banyak orang yang secara fisik siap menerima bantuan, namun tidak secara mental. Bila jangka waktu pemberian sedekah cukup lama dan tanpa dibarengi dengan peningkatan kapasitas mental penerima, esensi sedekah sebagai tali penolong darurat, sementara, berbelok menjadi gantungan utama kehidupan.

Yang terjadi kemudian adalah banyaknya orang yang berebut dianggap paling miskin dan paling layak menerima bantuan. Mental “radio”, hanya bisa menerima sinyal. Tak bisa memancarkan gelombang yang tetap angkuh melewati segala medan dan cuaca.

Menyiapkan mental. Itulah tugas yang menjadi lebih berat dibandingkan dengan melemparkan sekarung uang ke tengah kemiskinan. Mendidik mental berarti berhadapan dengan adat istiadat, pola pikir, bahkan seringkali keyakinan yang sudah tertanam dalam selama puluhan generasi. Itu sama saja seperti menyuruh kambing untuk terbang seperti burung. Penolakan demi penolakan akan terus datang.

Tanyakan kepada Lembaga Pengelola Zakat.

Lelah fisik, lelah pikiran, lelah hati, dan keputus asaan sudah pasti akan menyergap hari-hari panjang dalam perjalanan jauh perbaikan mental. Hanya niat yang ikhlas -mengharap rida Sang Pencipta- satu-satunya bahan bakar yang membuat mereka terus maju.

Karena memang perubahan mental memerlukan waktu yang sangat lama. Sang kambing harus ditumbuhkan kepercayaan dirinya, dibaguskan mentalnya, dididik agar menguasai ilmu dan teknologi penerbangan. Dengan konsistensi dan ketekunan, kemungkinan besar sang kambing akan terbang.

“... berjihadlah kamu dengan harta dan jiwamu...”

Sedekah harta itu mudah. Seperti potongan ayat diatas, harta disebutkan terlebih dahulu dibandingkan jiwa (tenaga, pikiran, nyawa) yang berarti membantu dengan harta itu lebih ringan dibanding membantu dengan tenaga dan pikiran. Karena tanggung jawab moral atas sedekah harta “lunas” ketika uang –atau apapun- berpindah tangan dari pemberi ke amil –atau langsung ke penerima-. Setelah itu, sisa 97,5% bisa dinikmati dengan bebas.

Jadi, apalah arti seratus dua ratus ribu dari deretan panjang angka di buku tabungan dibandingkan lelah hati, fisik, dan pikiran –plus habisnya waktu- dalam menyiapkan mental penerima sedekah untuk menjadi mandiri di kemudian hari.

Masih merasa beratkah dengan “yang paling ringan”?

UN: Unite the Nation, menyatukan bangsa.



Awalnya saya cuek dengan isu ada/tidaknya Ujuan Nasional. Ada ya terserah, tidak ada ya masa bodoh. Kadang saya pikir memang harus ada UN, karena harus ada asesmen untuk mengetahui seberapa pencapaian siswa akan pelajarannya. Bahkan dalam hidup ada istilah ujian kehidupan, jadi memang untuk melewati suatu tahap tertentu. Harus ada Ujian. Namun saya pikir benar juga kata banyak pengamat, kurang adil bila 3 (atau 6) tahun belajar hanya ditentukan oleh 2 jam atau 40-50 soal atau 3-4 pelajaran.

Hari ini (7/5) murid-murid saya akan melaksanakan hari terakhir ujian  mereka. 13 anak gunung yang harus turun ke jalan poros untuk melewati satu tahap kehidupannya. Kami (guru-guru) sudah sangat yakin mereka bisa melewatinya. Pokoknya lewat lah itu ujian. Lulus atau tidak, 90% adalah faktor keberuntungan. Saya katakan begitu karena memang harus diakui kemampuan murid-murid kami belum dalam kapasitasnya untuk mengerjakan Ujian berstandar Nasional (atau Jakarta tepatnya). Saya yakin hampir semua murid mengerjakan soal ujuan dengan cara “menembak” jawaban.

Meng-underestimate murid?

Boleh saja dibilang begitu. Tapi cobalah datang ke sekolah kami, mengajar beberapa bulan, lakukan riset simpel dan hasilnya pasti akan sama dengan kesimpulan yang saya tuliskan tadi.

Pertama, kemampuan kebahasaan. Murid-murid kami mengerti bahasa Indonesia percakapan –yang sederhana-, bisa MEMBACA sebuah tulisan berbahasa Indonesia, namun mereka tidak mampu MENANGKAP MAKNA dari rangkaian kata-kata berbahasa Indonesia tersebut. Soal UN B. Indonesia yang panjang, soal cerita matematika, soal cerita IPA/S. Jadi, tanpa bisa memahami maksudnya, mana bisa mencari jawaban yang benar. Ya, murid-murid menjawab soal UN dengan cara spekulasi.

Dua, soal-soal yang sangat Jakarta. Pertanyaan soal kereta api, halte bus, komputer, tablet yang entah sengaja atau tidak sering tercantum dalam soal UN. Hey, anak-anak disini bagaimana bisa membayangkan kereta api? Halte bus? Bandara? Atau Komputer dan tablet? Listrik saja belum ada. Bila 5 dari 50 soal bertipe seperti itu, 10% nilai murid-murid kami hilang karena satu kesalahan: tidak tinggal di Jakarta.

Dan soal KTSP. Dengan KTSP kurikulum bisa disesuaikan dengan standar sekolah. Sederhananya, anak-anak diajarkan dengan konten-konten lokal namun sesuai dengan standar yang diitetapkan Kemendiknas. 

Dalam matematika misalnya, yang penting murid bisa perkalian entah mengalikan sapi, pohon kopi, rumah panggung, dll. Namun kalau pada soal UN yang muncul adalah perkalian kereta api, -plus dua faktor yang disebutkan sebelumnya- mana adil?

Oke, kembali ke soal UN. Mungkin Kemendiknas punya pertimbangan tersendiri kenapa harus ada UN, memang sebuah pilihan sulit dan saya yakin Kemendiknas sudah siap dengan pro-kontra nya. Dengan keadaan masyarakat –termasuk wali murid dan guru- dengan kualitas dan integritas yang seperti sekarang, boleh jadi UN memang cara paling mudah pengawasannya dalam mengukur kelulusan. Itu saja masih ada beberapa oknum yang mencoba “bermain” dengan UN.

Juga protes tentang biaya cetak, distribusi soal, dan lain lain yang menghabiskan dana besar. Boleh jadi dana besar itu opsi paling rendah dari bermacam skema penetapan kelulusan secara nasional. Dengan sistem UN yang sudah mapan saja masih repot, bagaimana mencoba membuat dan menerapkan sistem baru? Dan bila gagal, kambing hitamnya pasti Kemendiknas lagi, menteri disuruh mundur lagi, buat sistem baru lagi. Kapan masalah selesai?

Saya pernah berfikir bagaimana bila UN tetap ada, namun kelulusan tiap sekolah diserahkan ke masing-masing sekolah. Namun sebelumnya Kemendiknas pusat memiliki data base terkait grading atau penggolongan tiap sekolah, sehingga semua murid tetap lulus namun kualitas lulusannya dikonversi dalam data grading nasional. Namun ya kembali ke urusan biaya. Untuk melakukan riset ke tiap sekolah sampai ujung Indonesia berapa biayanya? Dan dibutuhkan juga tim riset yang itegritasnya betul-betul mantap dan “anti godaan”.


UN, suka ataupun tidak itulah pilihannya sekarang. Ditengah tuntutan yang begitu tinggi kepada Kemendiknas untuk menyelesaikan masalah pendidikan negeri ini, dengan keterbatasan SDM, dana, dan teknologi yang dimiliki, wajar bila ada kekurangan disana-sini. Bila setuju UN, baiknya ikut memikirkan cara untuk mengakomodir sekolah-sekolah dengan keadaan seperti tempat kami mengajar. Bila tidak setuju UN, baiknya juga ikut mencari cara paling efisien untuk menetapkan kelulusan murid. UN bisa dijadikan sarana untuk Unite the Nation, menyatukan bangsa, bukan malah saling menjelekkan dan memecah belah sesama.

Tidak ada yang bisa sempurna, namun semuanya bisa dibuat lebih baik. 

Rabu, 01 Mei 2013

Kangen


Hari ke 176, empat hari menjelang bulan ke 6 saya ada di Sulawesi. Bila dihitung total dari awal keluar rumah, sudah lebih dari 8 bulan saya meninggalkan rumah.

Ini kali pertama saya keluar rumah dalam jangka waktu yang lama. Saya sering bepergian, namun biasanya hanya berstatus flashpacker, paling lama hanya satu minggu. Itupun untuk refreshing melepas penat. Dulu, ketika menjadi mahasiswa, paling lama juga hanya tiga bulan tidak pulang. Jadi, inilah rekor terlama saya keluar dari rumah.


Rindu? Pasti. Saya ingat kata-kata Direktur HRD di tempat saya bekerja dulu, orang bisa bertahan jauh dari orang-orang terdekat dan tetap produktif ada di kisaran angka 3 bulan –mungkin bisa lebih lama pada orang-orang yang motivasinya sangat tinggi-. Ya, saya tidak memungkiri, angka 8 bulan membuat saya rindu dengan semua yang telah menjadi kebiasaan “normal” saya.

Rumah, itu yang pertama. Deru mesin jahit Ibu yang biasanya menjadi lagu pengantar tidur. Bau iler di bantal kesayangan, plus struktur kayu sofa di depan ruang jahit Ibu yang selama 6 tahun terakhir sudah menjadi kamar darurat ketika saya pulang ke rumah. Kehebohan dan keanehan rasa masakan Bapak di akhir minggu. Juga tingkah Bapak dan Ibu yang tetap membuai saya layaknya anak kecil yang belum bisa apa-apa.
Riuh teriakan sepupu yang selalu merengek dan merajuk manja meminta Milkuat. Teriakan-teriakan saling ejek ketika gerakan jari memainkan tombol-tombol PS berhasil menaklukkan tim andalan adik-adik saya. Menemani Ibu menerima salam, cium dari adik-adik dan Bapak yang siap berangkat beraktivitas. Duduk mengobrol hingga Mang Sayur datang. Sudah sangat lama rasanya meninggalkan Ibu memilih sendiri sayur-sayuran dari gerobak si Mamang.

Sayur-sayuran. Tepatnya kuliner. Hal kedua yang sangat saya rindukan. Mungkin bukan karena rasa makanan yang tidak enak, hanya lidah saja yang belum juga terbiasa dengan rasa dan cara memasak ala Sulawesi Barat. Hari-hari yang biasa ditemani tempe, sayur mayur, citarasa rempah yang dikombinasi beraneka ragam, variasi daging, ikan, bermacam makanan olahan turunan, bahkan makanan instan sejak enam bulan lalu berubah. Hambar. Tergantikan oleh dominasi amis ikan laut. Ikan terbang, ikan kakap, bandeng, tongkol, teri, dan bermacam ikan lain yang silih berganti menghias meja makan. Digoreng, dibakar, direbus, tanpa bumbu tambahan. Ya, tanpa bumbu. Memang saya jadi bisa membedakan rasa ikan, namun lidah tidak bisa bohong. Saya tetap menginginkan makanan yang biasa saya makan sehari-hari.

Begitu pula sayur. Sayur di Majene tergolong makanan mahal. Identik dengan orang Jawa karena daerah penghasil sayur adalah daerah trans berisi orang-orang Jawa seperti di Wonomulyo dan Kolehalang. Pun jenisnya tidak sevariatif di Jawa. 6 bulan, belum pernah saya temui wortel, kentang, buncis, selada. Paling hanya kacang panjang dan daun paku.

Karena keterbatasan suplai itulah saya dan teman-teman jadi malas bereksperimen dengan masakan. Mau masak A, ternyata bahan-bahannya kurang. Mau masak B, bahannya ada tapi mahal. Beberapa kali masakan ber-cita rasa lumayan berhasil saya temui, tapi tetap saja tidak mampu menutup kerinduan menyantap cita-rasa yang sudah membentuk lidah saya selama 23 tahun terakhir.

Ketiga, suasana. Suasana yang mencakup tempat, waktu, dan manusia. Nyatanya memang sejak lulus kuliah di akhir 2010, kegilaan masa muda telah dipaksa kalah oleh kekuatan dunia “orang dewasa” yang penuh keseriusan dan rutinitas. Membosankan. Dunia yang memisahkan saya dengan puluhan senyum lepas teman-teman terdekat. Tugas-tugas kantor, kesibukan dengan keluarga, stress mencari beasiswa lanjut, fokus membesarkan usaha, telah membangun sebuah batas yang begitu sulit ditembus oleh persahabatan. Kian hari jarak itu semakin melebar, mungkin hanya sapaan melalui sms dan telepon yang menjadi benang tipis penanda hubungan pertemanan kami.

Saya rindu malam-malam ketika teriakan-teriakan memenuhi rumah kos, entah karena listrik mati, ada cewek cantik lewat didepan kos, pertandingan bola, main kartu, atau ketika ada rejeki nomplok –satu atau dua kardus nasi- memanggil dari panitia pengajian di masjid. Atau ketika kantuk tidak juga datang dan coba diundang lewat teh jahe, beberapa bungkus nasi, dan sepiring gorengan bakar di atas tikar disamping gerobak angkringan Pakdhe Yono.

Juga ketika ide-ide gila muncul sebagai pelarian dari himpitan tugas-tugas kuliah. Membuat parodi film, video klip, iklan, atau bahkan menempuh perjalanan lintas provinsi hanya untuk menikmati semangkuk indomie rebus di Lereng Gunung Lawu. Rindu pesta besar menikmati hasil ngobyek proyek-proyek kelas teri. Menikmati gemerlap dunia selevel kantong mahasiswa dengan gaya sosialita.

Rindu yang hanya sempat terobati lewat foto, video, atau sekedar saling lempar ejekan lewat sosial media. Mencoba berimajinasi seolah-olah masih berada di dalam tempat, waktu, dan suasana yang sama. Walau berjauhan tempat. Walau berjauhan waktu.

Jarum merah panjang masih terus bergerak berkeliling. Berdetak perlahan menemani pagi, melewati siang, membuai malam yang terus menerus berulang. Menantikan saat yang tepat hingga waktu cuti datang untuk bertemu keluarga, bertemu makanan, dan bertemu sahabat.

Sabtu, 20 April 2013

Suka Jalan-jalan


Tukang mlaku. Itu nama yang saya pilih untuk beberapa account baik blog, email, dan bebrapa ID di sosial media. Banyak yang bertanya, kenapa tukang mlaku?

Saya juga lupa bagaimana saya akhirnya memilih nama itu. Yang jelas karena saya suka jalan. Jalan kaki dan bersepeda. Tukang mlaku berarti tukang jalan-jalan.

Juga karena saya sarjana Teknik Sipil yang sering dijuluki tukang oleh banyak teman. Tukang mlaku berarti juga tukang yang terus berjalan mencari proyek. Hehe.

Saya ingat ketika SD saya dan beberapa teman selelu memilih rute berbeda setiap hari untuk ke sekolah. Kadang lewat sawah, menyeberang sungai, meniti rel kereta api bekas, lompat pagar, pokoknya tiap hari harus ada cara seru buat ke sekolah. Hingga SMA, kebiasaan ini berlanjut. Disaat banyak teman yang beradu cepat dengan sepeda motornya, saya dan tiga orang teman lebih memilih berjalan kaki dari rumah ke sekolah, tidak terlalu jauh memang namun cukup membuat kaki pegal.

Ketika kuliah, kebiasaan ini menjadi makin parah. Apalagi dua orang teman kos memiliki hobi yang sama. Ditambah ketika itu kami sudah bisa mencari penghasilan sendiri. Hal ini yang menjadi awal cerita penjelajahan ke banyak daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, sebagian Jawa Barat, Ibukota, bahkan ke luar negeri. Tetap, dengan jalan kaki.

Setelah lulus kuliah, hobi ini makin akut. Setahun bekerja, Sumatera dan Sulawesi terjelajahi. Hingga tahun ketiga setelah lulus, hobi ini membawa saya terbang ke Majene, Sulawesi Barat. Tapi tugas kali ini menuntut saya untuk tinggal selama satu tahun di Majene, bukan untuk menjadi flashpacker seperti yang biasa saya lakukan.

Tapi dasar hobi, disini pun saya tidak bisa diam. Tiga bulan, seluruh tempat tinggal kawan saya disini sudah terjejak oleh kaki saya. Beberapa daerah yang lebih pelosok sudah saya kunjungi. Sejumlah tempat eksotis saya temukan. Dan beberapa peluang baru datang menghampiri.

Ya, peluang. Sebetulnya itulah inti dari hobi jalan-jalan yang kerap saya lakukan. Jalan-jalan adalah menambah peta jelajah pribadi, menemukan satu lagi cara untuk mejangkau suatu tempat, menambah kenalan dan koneksi, dan peluang. Karena selama berjalan saya melihat sesuatu yang baru. Dan bila sesuatu yang baru itu bisa saya hubungkan dengan semua yang ada di pikiran, pastilah muncul suatu ide.

Itulah mengapa saya lebih memilih jalan kaki atau paling cepat bersepeda. Disaat berjalan kaki, saya tidak perlu repot mengganti gigi, mengerem, menarik gas, atau hal-hal yang membuat pikiran saya sibuk. Yap, ketika jalan kaki pikiran santai dan sesuatu yang dilihat saat itu bisa langsung di-konek-kan menjadi ide dan peluang baru. Jalan kaki membuat saya memperoleh sudut pandang lain dibanding ketika naik motor atau naik bis. Kecepatan jalan kaki yang relatif rendah juga memberi kesempatan otak untuk mencerna apa yang dilihat. Bukan hanya sekedar pemandangan yang melintas cepat dalam kecepatan 60 km/jam.

Ah tapi itu terlalu membuang waktu dan biaya.

Siapa bilang? Angka-angka besar yang menyerbu rekening mayoritas berawal ketika mengamati deretan kios PKL, menyusur sungai, atau menikmati es teh di tepian aspal. Ide yang membuat saya mendapat hadiah jalan ke Malaysia dan memperoleh Piala perak dalam suatu penghargaan berawal dari bata pecah yang saya lihat di tepian halte.

Metode menggambar cepat beramai-ramai kami temukan ketika kepanasan di Citywalk kota Solo. Begitu juga di Majene, ide membuat resort muncul ketika melihat tepian pantai hutan bakau yang hanya dibiarkan tertutup bungkus mie instan. Keinginan membuat toko buku tumbuh saat pusing mencari buku bacaan untuk mengusir kebisanan. Melihat biji kopi dan coklat yang melimpah memunculkan bayangan kios penjualan kopi dan  olahan cokelat.

Terbukti memang apa yang dikatakan orang, jalanan adalah sekolah yang sebenarnya.

Memang memakan biaya dan waktu. Namun bila manajemen yang dilakukan bagus, biaya dan waktu yang dikeluarkan akan sebanding dengan hasil yang didapatkan. Dan mengapa harus ke luar kota? Perjalanan ke luar kota baru saya lakukan sekitar 2-3 tahun ke belakang ketika sudah bisa memiliki penghasilan. Sebelum itu? Ya hanya berjalan kaki keliling kota saja. Mencoba mengeksplor daerah yang belum pernah dimasuki. 

Saya yakin belum semua gang kecil yang ada di kota kelahiran pernah saya injak.

Tidak salah bila Allah memerintahkan manusia untuk bertebaran di muka bumi. Sudah jelas, karena makin sedikit bergerak, makin sedikit pula yang dilihat (baca:makin sedikit ilmu yang didapat). Tanpa ilmu dan wawasan yang luas, sudah barang tentu kehidupan jadi terasa sempit.

Tukang mlaku. Tetap akan berjalan, terus bergerak mencari proyek, haha.

Aku Superhero?


Disalami Wakil Presiden, dicitrakan sebagai sarjana-sarjana terbaik bangsa, dibangga-banggakan sebagai calon pemimpin masa depan, memiliki akses yang sangat luas untuk masuk ke Ring 1, dekat dengan Bupati, Wakil, hingga Kepala Dinas. Sudah pasti hal itu menjadikan Pengajar Muda (PM) menempati posisi seorang “tokoh” di dusun. Ditambah dengan polesan cerita di sana sini, sudah pasti masyarakat menjadi semakin “wow” memandang seorang PM.

Duduk pasti di podium utama sebelah Pak Desa atau Pak Haji, kemanapun pergi selalu diperhatikan, bahkan ketika sakit atau jatuh dari motor dan lecet sedikit saja, beritanya bisa menyebar luas melewati batas-batas administratif kecamatan. Terlihat berlebihan? Tapi memang begitu kenyataannya.

Sebagai seorang “tokoh” dengan embel-embel yang meninggikan hati, seringkali saya terjebak untuk melakukan semua hal sendirian. Bisa melakukan segala hal, mau melakukan apa saja, ringan tangan membantu orang lain, apapun. Betul, menjadi superhero dusun yang akan dikenang sepanjang masa.



“Pak Didin dulu biar malam hari berani lho jalan kaki ke pinggir”

“Pak Didin pernah lho sendirian datang ke sekolah dan mengajar enam kelas sekaligus ketika hari hujan dan tidak ada guru yang datang”

Ya, secara pribadi ego saya selalu menuntun untuk menjadi sosok super. Apalagi saya adalah PM ke tiga yang ditempatkan di Rura, sudah pasti akan selalu dibandingkan dengan dua orang pendahulu saya. Jujur, kuping saya sedikit gerah ketika saya melakukan sesuatu kemudian dibandingkan dengan dua pendahulu saya. Hal itu membuat saya selalu ingin melampaui semua pencapaian yang sudah diperoleh oleh dua PM sebelumnya.

“Kalahkan egomu”. Itu yang selalu diingatkan oleh Tika, koordinator kabupaten ketika rapat. “Bukan hal yang salah ketika ingin melakukan sesuatu di Dusun, bukan pelanggaran pula bila memiliki obsesi untuk melakukan A, B, C, D sampai Z. Namun harus selalu diingat, tujuan besarnya adalah untuk mendorong perubahan masyarakat”.

Kalau diibaratkan dalam sebuah balapan menuju kemajuan, saya bukanlah mobil yang mengantar menuju garis finish, bukan pula pembalap yang mengarahkan dan berpacu secepat mungkin, bukan pula bensin yang membuat mobil melaju. Saya hanya akselerator yang mendorong mobil melaju lebih kencang. Tanpa saya-pun, mobil tetap bisa sampai di garis finish.

Jika semua hal dilakukan sendiri saya memang terlihat menjadi sosok yang hebat. Namun lama kelamaan ketergantungan warga ke saya menjadi semakin tinggi, dan ketika saya pergi segalanya akan kembali seperti semula. Yang tersisa hanya nama yang melegenda, namun tidak ada “sisa” yang betul-betul bisa dimanfaatkan masyarakat untuk secara mandiri berjalan menuju kemajuan.

Tapi biar bagaimanapun saya harus jadi superhero, setidaknya untuk menggebrak dulu di awal. Dan disini ego saya harus memilih, mau jadi Superhero Genetis atau non-Genetis.

Superhero Genetis, mereka yang menjadi super karena takdir. Superman, Thor, MetroMan, Ultraman, Manusia Saiya, Gundala, X-Men. Takdirlah yang menyisipkan gen super di dalam tubuh mereka.
Superman misalnya. Ditakdirkan lahir di Planet Krypton. Bila Krypton tidak hancur dan dia tidak dikirim ke Bumi, tentu saja kehidupannya biasa saja. Kenapa? Karena semua orang di Krypton sama kuatnya seperti Superman. Ini pembeda pertama, he is an outsider.

Bahkan Louis Lane yang notabene adalah orang terdekat tidak mampu mewarisi –walau sekedar- mata super atau kemampuan terbang. Yang terjadi, dari kereta bayi hampir ditabrak mobil hingga bumi akan hancur, Superman yang turun tangan. Ya, ketergantungan.

Ketika superman hilang (mati suri), orang-orang seolah tak punya harapan hidup. Tidak ada yang bisa menggantikan Superman. Kenapa? Karena tidak ada orang lain yang memiliki gen super.

Mereka –Superhero Genetis- eksklusif. Tidak semua orang atau tepatnya tidak ada orang yang bisa menjadi seperti mereka.

Batman? Dia juga superhero, namu dia berbeda. Bruce Wayne anak manusia biasa. Dia takut gelap, takut kelelawar, dan punya trauma dengan kekerasan. Tidak ada “gen” super yang disisipkan Tuhan dalam dirinya. Ke-super-annya tumbuh karena pengalaman hidup.

Berbekal kelebihan finansial –dan intelegensi- yang dimiliki, dia ingin merubah kampung halamannya, Gotham yang “tidak manusiawi” menjadi lebih ramah. Dia kerahkan segala sumber daya yang dimiliki untuk mencapainya. Sendirian? Yang terlihat memang begitu.

Tapi ada Lucius Fox yang menjadi arsitek terciptanya Tumbler, Batpod, dan segala peralatan canggih Batman. Ada Alfred, yang mengurus hal-hal remeh sekaligus menjadi penasehat pribadi Sang Superhero. Ada Gordon, Robin, bahkan “fake Batman” yang seolah menjadi “penampakan” Batman ketika dia hilang. Semua yang memiliki visi  “Memanusiakan Gotham” dirangkul, difasilitasi, dan dididik agar mampu bergerak secara mandiri.

Bahkan Batman mampu melawan ego Superhero-nya ketika muncul “manusia biasa” yang berasal dari Gotham, Harvey Dent, seorang jaksa wilayah yang bersih –dan tanpa topeng-. Untuk merubah poros keadilan dari dirinya ke Dent, Batman rela menjadi buron, di-kambinghitam-kan sebagai penjahat, dan menyembunyikan aib Dent (Two Face)selama 8 tahun lamanya.

Memang Gotham menjadi kacau kembali. Bisa saja Batman bertindak. Namun, apa guna? Dengan mengambil alih situasi tujuan besar tidak mungkin tercapai. Perubahan memang perlu proses panjang, dan bisa jadi kekacauan tersebut tidak sekacau sebelumnya.

Dan hebatnya, Batman tahu dia punya batas waktu, akan melemah dan mati sehingga untuk menjaga keberlanjutan visinya, dia menyiapkan suksesor. Robin dan Catwoman –dalam versi  Batman&Robin- adalah pendamping serta calon pengganti Batman.

Juga Ironman, the Punisher, dan sedikit superhero “non-genetis” yang menjadi superhero bukan karena “takdir” atau “kecelakaan”, namun lebih karena niat baik yang dibarengi dengan ikhtiar.

Buatlah sistem. So if you’re gone, it still runs properly. Namamu mungkin akan hilang dan terlupakan. Tapi dengan adanya sistem yang memaksa masyarakat terlibat langsung, akan muncul kesadaran dan rasa kepemilikan sehingga tujuan besar menuju perubahan bisa dipastikan terus berjalan. Dan bukankah ini masuk dalam kriteria amal jariyah yang tak akan pernah putus masuk ke rekening akhirat selama sistem itu dipakai? 

Jadi superhero Genetis atau non-Genetis, itu adalah pilihan.

Disini hanya setahun. Tinggalkan jejak, bukan nama.

Nama Cuma bisa diingat dan dikenang, namun jejak bisa diikuti.

Selasa, 02 April 2013

Dilema Listrik


13649483631736658411
Matahari kian terik membakar bumi. Rangkaian rumbia yang menutup rumah hampir tak mampu lagi menahan radiasi panas. Hanya alunan nada daun coklat yang bergesekan mampu memberi kesejukan membawa semilir angin beraroma kayu coklat. Buah kemiri di pelataran kian ramai bergemeretak, menguapkan kandungan air dan menjadikan diri siap dipecah sore nanti.
Orang-orang masih terhanyut dalam peluh menatikan bel istirahat saat adzan dzuhr datang menggema. Hening. Hanya suara televisi yang sayup terdengar, bergantian dengan suara alam yang harmonis.
Suara televisi di siang hari?

Oh saya lupa, saya sedang berada di Dusun Awo Kecamatan Tamero’do. 35 km jauhnya dari dusun Rura tempat saya tinggal. Dusun yang sangat berbeda keadaanya, rumah-rumah panggung berbaris rapi berdampingan dengan rumah batu –rumah tembok-, dibatasi pagar-pagar bambu berwarna biru putih yang melindungi bunga-bungaan indah yang hampir mekar. Beberapa rumah terlihat hijau oleh rumput yang menutup halamannya. Masjid berdiri gagah di pusat dusun.

Yang jelas listrik sudah masuk dan menyala 24 jam sehari, bukan pukul 17-22 seperti rata-rata kampung di gunung. Kawan saya yang ditempatkan di Awo tidak perlu repot turun ke dusun bawah untuk sekedar menge-charge laptop dan handphone, kamera bisa terus merekam tiap detik tingkah lucu anak-anak.
1364947940785850443
Genset yang baru dipasang

Dan dusun berlistrik terlihat lebih hidup. Suara adzan dari toa mampu menyapa telinga bapak-bapak yang ada jauh di dalam hutan. Pelajaran tambahan dan belajar mengaji bisa dilakukan sampai jauh malam. Film tentang binatang dan tata surya favorit anak-anak bisa diputar setiap malam.

Iri aku menyaksikan ini
Tapi kutekad aku harus bersyukur
Berguru pada kenyataan
Pada makhluk Tuhan yang katanya tak berakal

Sepenggal lirik “Kupu-kupu Hitam Putih” milik Iwan Fals langsung terlintas di benak. Saya juga ingin listrik, jerit yang terus menggema dalam hati.
________________________
Langit masih melukiskan biru yang sama, atap rumbia masih berusaha sekuat tenaga menghalau panas matahari. Es mulai mencair, melahirkan butir-butir embun yang perlahan mulai turun membasahi gelas.
Deretan tiang beton perangkai kabel-kabel masih angkuh berdiri menembus hutan. Berusaha menerangi ujung-ujung peradaban sebagai prasyarat agar layak disebut sebagai “keberhasilan pembangunan” atau “adilnya pemerataan”.

Saya ada di dusun bawah, tempat biasa “mencari” listrik ketika handphone dan laptop sudah kedip-kedip minta diisi. Dusun yang ada di jalan poros ini memang sudah lama dianugerahi lsitrik yang melimpah.
13649481541806368875
Genset yang dipasang

Namun diwaktu dzuhur masjid tidak mendendangkan merdunya adzan. Pun begitu ketika ashar. Ba’da maghrib tidak terdengar dengungan anak-anak yang dengan susah payah membedakan bacaan ikhfa dengan idhgam. Buku-buku dan PR tetap tersimpan rapi di dalam tas, tak tersentuh. Ruang belajar kosong, padahal lampu menyala terang.

Keriuhan hanya terlihat di ruang tengah tiap rumah. Ruangan dimana sebuah kotak 21 inch menjadi pusatnya. Ada yang tersenyum, tertawa, mendongak, melongo, bahkan beberapa  terlihat membungkus dirinya dengan sarung, menikmati kesendirian di pojok ruang tanpa menggeser bola mata dari televisi. Menikmati sinetron, gosip, tayangan olahraga, dan drama penjual mimpi yang pergi dan datang silih berganti.

Teras-teras bernyawa lampu 10 watt juga tidak kalah ramai dengan pemuda dan bapak-bapak yang asyik bermain domino dan kartu remi. Ada yang tertawa senang, ada pula yang meringis mengikhlaskan wajahnya “dirias” tepung oleh kawan-kawannya.
Ternyata listrik di Dusun bawah memunculkan wajah yang lain.
________________________
Saya sangat terkejut ketika suatu hari sepulang dari kota beberapa warga dusun menarik saya ke kebun belakang rumah.

”Bapak lihat saja nanti”

Dari balik rerimbunan daun kopi terlihat  sebuah mesin diesel yang sedang diisi solar. Biru dengan cerobong aluminium mengkilat bermahkota tangki solar berwarna merah. MADE in CHINA, begitu tulisan yang terlihat mencolok dari kejauhan. Kabel-kabel hitam menjulur, membelit, memotong, dan tergantung diantara pohon-pohon terus menerobos masuk ke tiap-tiap rumah tanpa satupun terlewat.
“Sebentar malam akan di uji coba Pak, mulai minggu depan Genset Dusun bisa beroperasi”

Ternyata bantuan genset dusun sudah masuk. Menurut Pak Dusun, genset itu mampu menerangi sekitar 30 rumah di Dusun Rura yang sudah sekian lama ada dalam kegelapan. Cukup patungan seribu rupiah setiap rumah per satu malam, maka listrik akan menyala mulai pukul 17.00 sampai solar hasil patungan habis ditelan mesin genset.

Alhamdulillah, berarti mulai minggu depan keheningan malam akan tergantikan dengan gaduhnya anak-anak yang berebut duduk di dekat monitor laptop. Menantikan tayangan National Geographic diputar. Pak Haji tidak perlu lagi memicingkan mata ketika senter yang menerangi Al-Qur’an santri-santrinya mulai meredup. Perpustakaan gelap yang selalu dianggap setting film horor akan berubah terang benderang dan penuh anak yang berebut buku, kertas gambar, serta pensil warna. Dan yang pasti, tamatlah riwayat kaleng susu kosong bersumbu yang sahabat setia warga Rura selama ini. Mirip suasana di Dusun Awo yang saya datangi tempo hari.

Namun, bagaimana bila yang terjadi justru sebaliknya?

Rumah Pak Haji ditinggalkan, kalah oleh gemerlap dunia yang dipamerkan layar-layar televisi. Suara adzan terabaikan oleh alunan gendang dangdut electon. Rumus dan hafalan pelajaran tergantikan oleh dialog-dialog kosong yang dicontohkan sinetron.

Listrik sudah akan masuk Rura, apa yang akan terjadi?


Rura, 2013.

Minggu, 03 Maret 2013

Mereka Guru Hebat


                                         
“Tingkat kehadiran Guru di daerah terpencil sangat rendah”

“Guru daerah terpencil memang malas mengajar, mereka hanya menikmati gaji buta”

“Bagaimana anak pedalaman bisa cerdas, Gurunya tidak pernah hadir”

Dan begitu memang kenyataan yang saya lihat pada awal mulai mengajar di SDN Inpres 22 Rura. Kalimat-kalimat itu kuat memprovokasi. Marah. Jengah dan kesal melihat guru yang jarang hadir. Ingin rasanya berteriak dan menunjuk muka satu persatu Guru.

“Bapak ini bertugas mencerdaskan anak-anak, kenapa begitu mudah melepas tanggung jawab? Menelantarkan anak-anak yang sudah bersemangat datang ke sekolah dan membiarkan mereka tetap dalam kebodohan?”

“Mengapa Bapak jarang hadir ke sekolah? Mana tanggung jawab Bapak sebagai Guru”
_____________________________

Namun kemarahan itu perlahan luntur ketika mulai mengenal guru-guru dengan lebih dekat. Tahu dimana rumahnya, kenal keluarganya, sudah lebih santai ketika berbicara, bukan hanya sekedar topik basa-basi untuk mengusir keheningan. Sudah pula berani untuk bermalam (bagi orang Mandar, bila seorang tamu bermalam berarti sudah dianggap masuk sebagai anggota keluarga).

Seperti malam itu, saya menginap di rumah Pak Kepala Sekolah. Hadir juga menemani Pak Kaco, seorang Guru senior yang hampir pensiun, dan Pak Rasyid, ayah angkat kedua serta Guru di SD tempat saya mengajar.

Dan entah darimana mulanya, obrolan kami sampai kepada bagaimana mereka mengawali karir sebagai Guru. Mulai dari masa pendidikan di SPG Polewali, cerita saat menjadi guru honorer, bagaimana bertemu istri, dan bagaimana masa-masa setelah diangkat menjadi PNS yang mengajar di daerah terpencil.
Pak Kepsek mengawali cerita. Berlatar tahun 1994, beliau mengawali karir di SD Kolehalang –daerah transmigran yang terletak sekitar 30-an km dari Jalan Poros. Disambung dengan Pak Kaco yang mendapatkan amanah di SD Ulumanda –titik terjauh di Kecamatan Ulumanda, sekitar 10-20 km diatas Kolehalang.

Bila digambarkan, seperti inilah lokasi pengabdian para Guru hebat tersebut: Jarak antara Makassar Majene 300an km, ditambah 76 km jarak dari Majene ke gerbang desa. Dari gerbang desa berturut-turut adalah Rura-Sambabo-Kabiraan-Babasondong berjarak sekitar 11 km, barulah Taukong-Kolehalang-Ulumanda sekitar 40-an km. Dan di tahun 1994, jalan yang ada bukanlah jalan tanah berbatu seperti sekarang. Yang ada hanya jalan setapak, atau bahkan pernah guru-guru ini merintis jalan menuju sekolah.

 “Kamu sekarang enak, naik motor paling hanya 15 menit. Dulu paling tidak butuh setengah hari untuk berjalan sampai Rura”.

Pak Kepala sekolah dan Pak Kaco lebih parah. Perjalanan ke Kolehalang bisa memakan waktu satu hari penuh, bahkan tidak jarang mereka menginap di hutan. Bila berangkat mengajar, Bapak selalu membawa tas ransel untuk perbekalan dua minggu mengajar. Ya, jujur Pak Kepsek dan Pak Kaco mengakui mereka hanya mengajar selama dua minggu di atas. Dua minggu sisanya mereka habiskan di bawah.

Jadi, dalam sebulan kerja Bapak hanya dua minggu melaksanakan kewajiban?

Memang, secara kasat mata itu yang terlihat di mata kita dalam posisi sebagagai pengamat, bukan pelaku. Pada awalnya saya-pun beranggapan begitu. “Aaah itu sih bisa-bisanya Bapak membuat alasan”. Namun setelah bercerita lebih jauh, ada sisi yang tidak bisa dilihat oleh orang yang tidak mengalaminya secara langsung.


Para guru ini sudah merelakan sebagian hidupnya, kehilangan waktu berharga bersama keluarga tercinta untuk mengajar di daerah terpencil. Membiarkan masa muda dan kekuatan mereka tergerus oleh langkah-langkah kecil menembus hutan. Membagi sedikit ilmunya untuk sedikit menghilangkan “dahaga ilmu” masyarakat daerah terpencil. Dalam keterbatasan dan kesulitan yang seringkali tidak pernah terbayang sama sekali.

Dua minggu mengajar dalam keadaan seperti ini saya yakin sudah cukup menghabiskan tenaga dan pikiran para guru. Dan sebagai manusia normal, mereka juga butuh keseimbangan dalam hidup. Mereka juga ingin menjalankan peran lain dalam kehidupan pribadi yang mereka miliki secara seimbang. Sebagai suami, sebagai ayah, sebagai anak, sebagai yang lain.


Masihkah berfikir bahwa guru-guru ini pemalsa dan tidak bertanggung jawab?

Mungkin memang masih banyak yang buta huruf di tempat mereka mengajar, namun bisa jadi ini sudah jauh lebih baik daripada keadaan disaat mereka belum hadir disana. Semua perlu proses.

Memang, kian hari infrastruktur di desa menjadi semakin baik. Namun itu tidak membuat guru-guru baru tertarik mengabdi di pedalaman. Guru di pedalaman kian hari kian berkurang. Lagi-lagi masalah kesejahteraan yang menjadi alasan mengapa banyak yang memilih menjadi guru “Kota” daripada guru “Gunung”. Jadi tinggallah Pak Kasman, Pak Kaco, Pak Rasyid yang walaupun sudah semakin lemah masih merelakan dirinya untuk mengambil bagian dalam upaya nyata membuat anak-anak tetap memiliki harapan.
Mereka terus bergerak walaupun dikepung oleh prasangka yang mendiskreditkan pengabdian  yang sudah diperbuat. Label pemalas, pemakan gaji buta, guru yang enggan maju tak mampu lagi menghentikan langkah guru-guru hebat ini.

Saya hanya bisa tertegun. Saya mengaku bahwa saya baru bisa “melihat”, bukan “memahami”, bahkan “memaknai” sesuatu.
_________

Pagi pun muncul secara perlahan, sedikit demi sedikit mengubah gelap malam menjadi terang benderang. Begitupun Pak Kasman, Pak Kaco, dan Pak Rasyid. Mereka bukan matahari yang mampu memberi energi pada seluruh siang. Mereka hanya segaris cahaya jingga yang membuka pagi. Tidak mampu menerangi, namun mampu memberi harapan bagi manusia bahwa sebentar lagi mentari hadir mengganti gelapnya malam.

Loteng atas, 2012.

Anak Dusun..


Beberapa anak terlihat berlarian, berebut bola, menggiringnya, kemudian menendang, berusaha memasukkan benda bundar itu ke dalam gawang. Badan mereka nampak tegap dan sehat. Sementara yang lain sibuk dengan gundu, bola kasti dan kulit kemiri, atau sekedar berlari-lari menyusuri teras. Sama seperti SD di bagian Indonesia yang lain, seragam putih merah masih setia menempel walaupun banyak yang sudah terlihat lusuh. Ada tas tergantung pada setiap punggung, namun hanya satu dua yang terlihat bersepatu.




08:00 WITA. Pelajaran seharusnya sudah dimulai. Namun karena akses ke Desa yang sangat sulit, wajar bila banyak guru yang tinggal di pinggir –istilah yang dipakai orang Pegunungan untuk menyebut warga pesisir- sering datang terlambat.
 “Pak, masuk kelas enam ya?”

“Masuk kelas empat saja Pak...”

“Pak kelas lima kosong, mengajar kami saja”

“Kapan masuk kelas tiga Pak?”

Permintaan-permintaan itu hanya sempat terbalas oleh senyum. Begitulah keadaan di Rura, murid selalu meminta guru masuk ke kelasnya. Mereka haus pengetahuan. Jangan heran bila ada yang berteriak “Lagi Pak, lagi!!” ketika jam pelajaran sudah habis dan soal sudah selesai dikerjakan.

Benarkah bila ada yang menyatakan semangat belajar di desa terpencil itu rendah? Tidak, mereka justru punya spirit yang jauh lebih tinggi dibanding anak-anak sekolah di kota.

Semangat anak Rura sudah dimulai jauh sebelum langit menampakkan terangnya. Dalam dekapan kabut pagi, mereka sudah berlomba menuju sumur desa untuk beradu kuat dengan dinginnya air dan udara subuh. Tanpa sarapan –sarapan bukanlah kebiasaan warga Rura- mereka segera bersiap dan menunggu datangnya Guru melintas di depan rumah. Terkadang ada yang menghampiri dengan nafas sedikit terengah.

“Tadi Saya lari biar berangkat bareng Bapak”, begitu katanya sambil bergabung dengan kawan-kawannya untuk berjalan dan bernyanyi bersama menuju sekolah.

Namun seringkali keinginan belajar di kelas sedikit tertunda karena Penjaga Sekolah yang belum datang membuka pintu-pintu kelas, atau karena Pak Guru berhalangan hadir, atau karena harus membantu orang tua mencari sappiri (kemiri – bahasa Mandar Gunung) di hutan. Bahkan beberapa bulan lalu karena beberapa kelas sedang direhab, anak-anak harus rela bergantian ruang kelas, atau bergabung dengan kelas lain.

Di tengah kepungan kebun coklat dan suara serangga yang tak pernah putus, anak-anak Rura menuliskan satu persatu huruf dan angka yang menuntun mereka menuju masa depan. Memang masih banyak yang sulit mengeja GAJAH dan menjumlahkan 5+1, namun tangan-tangan mungil mereka selalu terangkat ketika sebuah pertanyaan diajukan. Hingga kelas berakhir, suara lantang mereka tak pernah berhenti menggetarkan kelas. Berebut menjawab semua soal walaupun seringkali jawaban yang diberikan tidak tepat. Namun itulah yang membuat kami bangga. Anak-anak tidaka takut mengungkapkan pendapatnya. Ini yang guru-guru sebut dengan KEBERANIAN.

Tidak seperti murid-murid di kota, tidak ada bermain atau tidur siang sepulang sekolah, tidak ada pula yang namanya pelajaran tambahan. Satu-satunya kegiatan yang harus dilakukan adalah memecah kemiri. Setelah sholat dan makan siang biasanya anak-anak sudah siap dengan petuttu, alat pemecah kemiri yang mirip dengan sendok sayur dari bambu.

“Prek!!...prek!!!...”, suara kulit kemiri yang pecah, kalah beradu dengan batu. Begitu sampai malam menjelang.

Dan saat langit berubah menjadi hitam, segala keriuhan kompak bersembunyi. Meniupkan kesunyian ke seluruh sudut Dusun Rura yang gelap. Belajarkah anak-anak?

Mungkin iya, mungkin juga tidak. Lelah pikiran di sekolah, serta lelah fisik karena kemiri bisa jadi membuat anak-anak sulit menahan matanya untuk tetap terbuka. Lagipula bila masih ada semangat untuk belajar di malam hari, ada hambatan lain yang menunggu. Kegelapan.

Benar, kegelapan. Bila mata dilemparkan ke kalender yang tergantung di dinding ruang tamu, tertulis memang tahun 2012. Namun suasana malam di Rura lebih mirip cerita nostalgia Bapak Ibu saya pada medio ’79-’80-an. Belum ada listrik masuk Rura. Genset? Operasionalnya terlalu mahal menurut beberapa warga. Tidak ada lampu, hanya kaleng bekas susu berisi minyak tanah dengan sebuah sumbu menjulur yang menjadi satu-satunya penghasil cahaya. Belajar malam hari benar-benar menjadi sebuah perjuangan.


Sambil melawan kantuk, ditemani remangnya pelita, terkadang harus terbatuk karena asap yang terhirup Ikram tumbuh menjadi anak yang sangat cepat menghitung perkalian dan pembagian. Maslim bertransformasi dari anak cengeng menjadi Juara Sains Kecamatan. Azis dapat menghafal dan menyanyikan lagu dengan merdu. Lasmi mampu menghasilkan puisi dan lukisan yang indah. Dan Sarni mampu mengembangkan kemampuannya mengitung cepat.

Mereka mempunyai otak yang sama-sama cerdas, cita-cita yang sama tinggi. Walaupun berada di desa yang penuh dengan keterbatasan, selama masih memijak bumi yang sama kerasnya dan berada di bawah langit yang sama birunya, kesempatan yang Allah berikan pastilah sama. Mereka pasti bisa jadi seperti apa yang mereka cita-citakan. Tidak ada yang tidak mungkin bila Dia sudah berkata, Kun.
Rura, 2012

Jumat, 11 Januari 2013

Pak Guru Datang








Menjalani hidup dalam kesederhanaan selama satu tahun, terpencil, tanpa listrik, tanpa sinyal, tanpa akses jalan yang bagus, mungkin tanpa suplai air bersih. Bila itu ditanyakan pada saya lima bulan lalu, dengan lantang saya akan menjawab, “Mungkin ada yang bisa hidup seperti itu, tapi bukan saya”
Tapi kenyataannya? Saya sedang duduk memandang awan dari jendela JT 0788 rute Jakarta-Makassar. Pesawat yang mengantarkan saya meninggalkan tanah Jawa menuju Kabupaten yang namanya saja belum pernah saya dengar semasa sekolah dulu. Hingga mendarat kemudian berpindah ke mobil, saya masih belum berhenti mencari jawaban. Bahkan indahnya putih pasir pantai yang berpadu dengan birunya laut sepanjang Maros-Parepare-Pinrang-sampai Polewali tidak mampu mengalihkan saya.

“Serius? Ini bukan mimpi, kan?”

“Benarkah saya akan melakukannya?”


Sampai akhirnya perjalanan menyusur pantai barat Sulawesi terhenti setelah melewati sebuah gapura, pikiran itu masih belum berhenti mengacau. SELAMAT DATANG DI MAJENE, KOTA PENDIDIKAN. Begitu bunyi tulisan yang mengakhiri 8 jam perjalanan  darat dari total 15 jam perjalanan sejak berangkat dari Jakarta tadi. Sedikit lega, karena sebentar lagi kaki yang tertekuk bisa leluasa bergerak, bau keringat akan berganti dengan wangi sabun, dan perut yang kosong akan kembali terisi. Dengan status “tamu undangan Pemda Majene”, rasa lelah selama perjalanan saya yakin akan segera hilang dengan fasilitas nomor satu yang kami dapatkan. Untuk sejenak, kegalauan teralihkan.

Memang benar, selama tiga hari pertama kami benar-benar dimanjakan oleh Pemda Majene. Dan puncaknya adalah ketika acara pisah sambut di gedung aula Kabupaten Majene yang merupakan acara perpisahan pendahulu kami dan menyambut kami yang baru datang. Satu persatu rangkaian acara dilaksanakan hingga akhirnya acara pisah sambut benar-benar berakhir. Galau kembali datang. Berakhir, artinya mulai detik ini saya harus berpindah dari Kota Kabupaten menuju Dusun tempat saya bekerja untuk 14 bulan ke depan. Dusun yang letaknya lebih dekat ke Mamuju daripada ke Majene. Dusun yang pintu gerbangnya terletak 76 km dari pusat kabupaten, ditambah 8 km menyusuri jalan desa yang terjal. Naik turun melewati gunung, hutan kemiri dan coklat.


Inilah yang menjadi sumber rasa galau yang beberapa minggu ini sering datang. Datang ke lingkungan yang sangat asing, dengan bahasa, adat, dan makanan yang benar-benar berbeda. Sendirian. Dan perbedaan itu hanya dijembatani oleh satu rasa kebangsaan, kami sama-sama BANGSA INDONESIA. Bingung? Sudah pasti. Apa yang harus saya lakukan? Bagaimana saya masuk ke lingkungan masyarakat? Bagaimana bila begini? bagaimana bila begitu?, dan bermacam “bagaimana” yang lain silih berganti hadir seakan ingin menarik saya untuk kembali menuju bandara. Pulang.

Tapi mobil terus melaju. Bukan untuk pulang, tapi mendekat ke tempat yang pada akhirnya harus saya sebut sebagai rumah, sebagai kampung halaman. Hampir 150 menit mobil berjalan sebelum berhenti di sebuah pertigaan kecil bertuliskan “Tabojo”. Empat motor terlihat datang menghampiri. Beberapa orang mulai memperkenalkan diri, beberapa yang lain dengan sigap mengambil tas-tas saya, menaikkannya ke atas motor, kemudian masuk ke jalan desa, hilang ditelan gerimis dan rimbunnya pohon kemiri. Satu kekhawatiran hilang. Senyum lebar yang ditunjukkan warga yang menjemput di Tabojo mengisyaratkan bahwa warga Dusun Rura sudah siap dengan satu orang asing yang akan menjadi bagian kesehariannya selama 14 bulan.

Berdua menerobos gerimis, Paman Gapri yang ditugaskan membawa saya dari Tabojo menuju Rura dengan sangat lincah mengemudikan motor sambil terus bercerita tentang segala hal yang dia tahu. Cerita tentang warga, anak-anak, keadaan sekolah, suasana kampung, hingga musim durian yang sebentar lagi datang membuat saya tiba-tiba merasa nyaman. Rasa nyaman yang secara perlahan mengikis ribuan “bagaimana” yang sudah menumpuk di pikiran.


“Horeeeee...horeeee....”

Di tengah bunyi air yang beradu dengan daun dan batu, terdengar sorak sorai dari kejauhan. Lama kelamaan teriakan-teriakan itu semakin jelas terdengar.

“Apa itu Paman?”, tanya saya.

“Itu suara anak-anak yang daritadi sudah berbaris menunggu Bapak di sepanjang jalan”

Setelah berjuang menaklukkan satu turunan tajam berbatu, kemudian motor berbelok ke kanan. Dari balik rimbun pepohonan mulai terlihat atap-atap rumah. Beberapa mengeluarkan asap putih, beradu dengan kabut senja yang mulai turun. Perlahan motor mulai mendekati kampung.

Dan ternyata benar. Tanpa mempedulikan gerimis yang semakin deras dan dingin yang mulai datang karena baju yang basah, anak-anak semakin bersemangat berteriak. Menari, bernyanyi, juga melompat-lompat gembira. Berdesakan mendekati motor dan berebut untuk bersalaman kemudian mencium tangan.

“Pak Guru sudah datang!!!, Pak Guru sudah datang!!!”

Dan mereka berhasil memaksa air mata saya keluar, bahkan sebelum saya masuk ke Dusun Rura.
_______________________

Iya anak-anak, Pak Guru sudah datang. Bismillah. Semoga Bapak bisa tetap menjaga senyum itu tetap terkembang di wajah kalian.