Jumat, 11 Januari 2013

Pak Guru Datang








Menjalani hidup dalam kesederhanaan selama satu tahun, terpencil, tanpa listrik, tanpa sinyal, tanpa akses jalan yang bagus, mungkin tanpa suplai air bersih. Bila itu ditanyakan pada saya lima bulan lalu, dengan lantang saya akan menjawab, “Mungkin ada yang bisa hidup seperti itu, tapi bukan saya”
Tapi kenyataannya? Saya sedang duduk memandang awan dari jendela JT 0788 rute Jakarta-Makassar. Pesawat yang mengantarkan saya meninggalkan tanah Jawa menuju Kabupaten yang namanya saja belum pernah saya dengar semasa sekolah dulu. Hingga mendarat kemudian berpindah ke mobil, saya masih belum berhenti mencari jawaban. Bahkan indahnya putih pasir pantai yang berpadu dengan birunya laut sepanjang Maros-Parepare-Pinrang-sampai Polewali tidak mampu mengalihkan saya.

“Serius? Ini bukan mimpi, kan?”

“Benarkah saya akan melakukannya?”


Sampai akhirnya perjalanan menyusur pantai barat Sulawesi terhenti setelah melewati sebuah gapura, pikiran itu masih belum berhenti mengacau. SELAMAT DATANG DI MAJENE, KOTA PENDIDIKAN. Begitu bunyi tulisan yang mengakhiri 8 jam perjalanan  darat dari total 15 jam perjalanan sejak berangkat dari Jakarta tadi. Sedikit lega, karena sebentar lagi kaki yang tertekuk bisa leluasa bergerak, bau keringat akan berganti dengan wangi sabun, dan perut yang kosong akan kembali terisi. Dengan status “tamu undangan Pemda Majene”, rasa lelah selama perjalanan saya yakin akan segera hilang dengan fasilitas nomor satu yang kami dapatkan. Untuk sejenak, kegalauan teralihkan.

Memang benar, selama tiga hari pertama kami benar-benar dimanjakan oleh Pemda Majene. Dan puncaknya adalah ketika acara pisah sambut di gedung aula Kabupaten Majene yang merupakan acara perpisahan pendahulu kami dan menyambut kami yang baru datang. Satu persatu rangkaian acara dilaksanakan hingga akhirnya acara pisah sambut benar-benar berakhir. Galau kembali datang. Berakhir, artinya mulai detik ini saya harus berpindah dari Kota Kabupaten menuju Dusun tempat saya bekerja untuk 14 bulan ke depan. Dusun yang letaknya lebih dekat ke Mamuju daripada ke Majene. Dusun yang pintu gerbangnya terletak 76 km dari pusat kabupaten, ditambah 8 km menyusuri jalan desa yang terjal. Naik turun melewati gunung, hutan kemiri dan coklat.


Inilah yang menjadi sumber rasa galau yang beberapa minggu ini sering datang. Datang ke lingkungan yang sangat asing, dengan bahasa, adat, dan makanan yang benar-benar berbeda. Sendirian. Dan perbedaan itu hanya dijembatani oleh satu rasa kebangsaan, kami sama-sama BANGSA INDONESIA. Bingung? Sudah pasti. Apa yang harus saya lakukan? Bagaimana saya masuk ke lingkungan masyarakat? Bagaimana bila begini? bagaimana bila begitu?, dan bermacam “bagaimana” yang lain silih berganti hadir seakan ingin menarik saya untuk kembali menuju bandara. Pulang.

Tapi mobil terus melaju. Bukan untuk pulang, tapi mendekat ke tempat yang pada akhirnya harus saya sebut sebagai rumah, sebagai kampung halaman. Hampir 150 menit mobil berjalan sebelum berhenti di sebuah pertigaan kecil bertuliskan “Tabojo”. Empat motor terlihat datang menghampiri. Beberapa orang mulai memperkenalkan diri, beberapa yang lain dengan sigap mengambil tas-tas saya, menaikkannya ke atas motor, kemudian masuk ke jalan desa, hilang ditelan gerimis dan rimbunnya pohon kemiri. Satu kekhawatiran hilang. Senyum lebar yang ditunjukkan warga yang menjemput di Tabojo mengisyaratkan bahwa warga Dusun Rura sudah siap dengan satu orang asing yang akan menjadi bagian kesehariannya selama 14 bulan.

Berdua menerobos gerimis, Paman Gapri yang ditugaskan membawa saya dari Tabojo menuju Rura dengan sangat lincah mengemudikan motor sambil terus bercerita tentang segala hal yang dia tahu. Cerita tentang warga, anak-anak, keadaan sekolah, suasana kampung, hingga musim durian yang sebentar lagi datang membuat saya tiba-tiba merasa nyaman. Rasa nyaman yang secara perlahan mengikis ribuan “bagaimana” yang sudah menumpuk di pikiran.


“Horeeeee...horeeee....”

Di tengah bunyi air yang beradu dengan daun dan batu, terdengar sorak sorai dari kejauhan. Lama kelamaan teriakan-teriakan itu semakin jelas terdengar.

“Apa itu Paman?”, tanya saya.

“Itu suara anak-anak yang daritadi sudah berbaris menunggu Bapak di sepanjang jalan”

Setelah berjuang menaklukkan satu turunan tajam berbatu, kemudian motor berbelok ke kanan. Dari balik rimbun pepohonan mulai terlihat atap-atap rumah. Beberapa mengeluarkan asap putih, beradu dengan kabut senja yang mulai turun. Perlahan motor mulai mendekati kampung.

Dan ternyata benar. Tanpa mempedulikan gerimis yang semakin deras dan dingin yang mulai datang karena baju yang basah, anak-anak semakin bersemangat berteriak. Menari, bernyanyi, juga melompat-lompat gembira. Berdesakan mendekati motor dan berebut untuk bersalaman kemudian mencium tangan.

“Pak Guru sudah datang!!!, Pak Guru sudah datang!!!”

Dan mereka berhasil memaksa air mata saya keluar, bahkan sebelum saya masuk ke Dusun Rura.
_______________________

Iya anak-anak, Pak Guru sudah datang. Bismillah. Semoga Bapak bisa tetap menjaga senyum itu tetap terkembang di wajah kalian.