Menjalani hidup dalam
kesederhanaan selama satu tahun, terpencil, tanpa listrik, tanpa sinyal, tanpa
akses jalan yang bagus, mungkin tanpa suplai air bersih. Bila itu ditanyakan
pada saya lima bulan lalu, dengan lantang saya akan menjawab, “Mungkin ada yang bisa hidup seperti itu,
tapi bukan saya”
Tapi kenyataannya? Saya sedang
duduk memandang awan dari jendela JT 0788 rute Jakarta-Makassar. Pesawat yang
mengantarkan saya meninggalkan tanah Jawa menuju Kabupaten yang namanya saja
belum pernah saya dengar semasa sekolah dulu. Hingga mendarat kemudian
berpindah ke mobil, saya masih belum berhenti mencari jawaban. Bahkan indahnya
putih pasir pantai yang berpadu dengan birunya laut sepanjang
Maros-Parepare-Pinrang-sampai Polewali tidak mampu mengalihkan saya.
“Serius? Ini bukan mimpi, kan?”
“Benarkah saya akan melakukannya?”
Sampai akhirnya perjalanan
menyusur pantai barat Sulawesi terhenti setelah melewati sebuah gapura, pikiran
itu masih belum berhenti mengacau. SELAMAT DATANG DI MAJENE, KOTA PENDIDIKAN.
Begitu bunyi tulisan yang mengakhiri 8 jam perjalanan darat dari total 15 jam perjalanan sejak
berangkat dari Jakarta tadi. Sedikit lega, karena sebentar lagi kaki yang
tertekuk bisa leluasa bergerak, bau keringat akan berganti dengan wangi sabun,
dan perut yang kosong akan kembali terisi. Dengan status “tamu undangan Pemda Majene”, rasa lelah selama perjalanan saya
yakin akan segera hilang dengan fasilitas nomor satu yang kami dapatkan. Untuk
sejenak, kegalauan teralihkan.
Memang benar, selama tiga hari
pertama kami benar-benar dimanjakan oleh Pemda Majene. Dan puncaknya adalah
ketika acara pisah sambut di gedung aula Kabupaten Majene yang merupakan acara
perpisahan pendahulu kami dan menyambut kami yang baru datang. Satu persatu
rangkaian acara dilaksanakan hingga akhirnya acara pisah sambut benar-benar
berakhir. Galau kembali datang. Berakhir, artinya mulai detik ini saya harus
berpindah dari Kota Kabupaten menuju Dusun tempat saya bekerja untuk 14 bulan
ke depan. Dusun yang letaknya lebih dekat ke Mamuju daripada ke Majene. Dusun
yang pintu gerbangnya terletak 76 km dari pusat kabupaten, ditambah 8 km
menyusuri jalan desa yang terjal. Naik turun melewati gunung, hutan kemiri dan
coklat.
Inilah yang menjadi sumber rasa
galau yang beberapa minggu ini sering datang. Datang ke lingkungan yang sangat
asing, dengan bahasa, adat, dan makanan yang benar-benar berbeda. Sendirian.
Dan perbedaan itu hanya dijembatani oleh satu rasa kebangsaan, kami sama-sama
BANGSA INDONESIA. Bingung? Sudah pasti. Apa yang harus saya lakukan? Bagaimana
saya masuk ke lingkungan masyarakat? Bagaimana bila begini? bagaimana bila
begitu?, dan bermacam “bagaimana” yang lain silih berganti hadir seakan ingin
menarik saya untuk kembali menuju bandara. Pulang.
Tapi mobil terus melaju. Bukan untuk
pulang, tapi mendekat ke tempat yang pada akhirnya harus saya sebut sebagai
rumah, sebagai kampung halaman. Hampir 150 menit mobil berjalan sebelum
berhenti di sebuah pertigaan kecil bertuliskan “Tabojo”. Empat motor terlihat
datang menghampiri. Beberapa orang mulai memperkenalkan diri, beberapa yang
lain dengan sigap mengambil tas-tas saya, menaikkannya ke atas motor, kemudian
masuk ke jalan desa, hilang ditelan gerimis dan rimbunnya pohon kemiri. Satu
kekhawatiran hilang. Senyum lebar yang ditunjukkan warga yang menjemput di
Tabojo mengisyaratkan bahwa warga Dusun Rura sudah siap dengan satu orang asing
yang akan menjadi bagian kesehariannya selama 14 bulan.
Berdua menerobos gerimis, Paman
Gapri yang ditugaskan membawa saya dari Tabojo menuju Rura dengan sangat lincah
mengemudikan motor sambil terus bercerita tentang segala hal yang dia tahu.
Cerita tentang warga, anak-anak, keadaan sekolah, suasana kampung, hingga musim
durian yang sebentar lagi datang membuat saya tiba-tiba merasa nyaman. Rasa
nyaman yang secara perlahan mengikis ribuan “bagaimana” yang sudah menumpuk di
pikiran.
“Horeeeee...horeeee....”
Di tengah bunyi air yang beradu
dengan daun dan batu, terdengar sorak sorai dari kejauhan. Lama kelamaan
teriakan-teriakan itu semakin jelas terdengar.
“Apa itu Paman?”, tanya saya.
“Itu suara anak-anak yang daritadi sudah berbaris menunggu Bapak di
sepanjang jalan”
Setelah berjuang menaklukkan satu
turunan tajam berbatu, kemudian motor berbelok ke kanan. Dari balik rimbun
pepohonan mulai terlihat atap-atap rumah. Beberapa mengeluarkan asap putih,
beradu dengan kabut senja yang mulai turun. Perlahan motor mulai mendekati
kampung.
Dan ternyata benar. Tanpa
mempedulikan gerimis yang semakin deras dan dingin yang mulai datang karena
baju yang basah, anak-anak semakin bersemangat berteriak. Menari, bernyanyi,
juga melompat-lompat gembira. Berdesakan mendekati motor dan berebut untuk
bersalaman kemudian mencium tangan.
“Pak Guru sudah datang!!!, Pak Guru sudah datang!!!”
Dan mereka berhasil memaksa air
mata saya keluar, bahkan sebelum saya masuk ke Dusun Rura.
_______________________
Iya anak-anak, Pak Guru sudah
datang. Bismillah. Semoga Bapak bisa tetap menjaga senyum itu tetap terkembang
di wajah kalian.
eaa pak guru
BalasHapusJare resain?
Hapusmantab din.......
BalasHapuslanjutkan....
Lanjutkan kemana?neng ndi saiki masbro?Solo kah?
HapusSemoga semua makhluk berbahagia...
BalasHapusSalam,
Esih nang Bali Kang?
HapusBapa Guru... Aku njaluk pangestumu ngupadi Kayu Gung Susuhing Angin...
BalasHapus