Minggu, 03 Maret 2013

Anak Dusun..


Beberapa anak terlihat berlarian, berebut bola, menggiringnya, kemudian menendang, berusaha memasukkan benda bundar itu ke dalam gawang. Badan mereka nampak tegap dan sehat. Sementara yang lain sibuk dengan gundu, bola kasti dan kulit kemiri, atau sekedar berlari-lari menyusuri teras. Sama seperti SD di bagian Indonesia yang lain, seragam putih merah masih setia menempel walaupun banyak yang sudah terlihat lusuh. Ada tas tergantung pada setiap punggung, namun hanya satu dua yang terlihat bersepatu.




08:00 WITA. Pelajaran seharusnya sudah dimulai. Namun karena akses ke Desa yang sangat sulit, wajar bila banyak guru yang tinggal di pinggir –istilah yang dipakai orang Pegunungan untuk menyebut warga pesisir- sering datang terlambat.
 “Pak, masuk kelas enam ya?”

“Masuk kelas empat saja Pak...”

“Pak kelas lima kosong, mengajar kami saja”

“Kapan masuk kelas tiga Pak?”

Permintaan-permintaan itu hanya sempat terbalas oleh senyum. Begitulah keadaan di Rura, murid selalu meminta guru masuk ke kelasnya. Mereka haus pengetahuan. Jangan heran bila ada yang berteriak “Lagi Pak, lagi!!” ketika jam pelajaran sudah habis dan soal sudah selesai dikerjakan.

Benarkah bila ada yang menyatakan semangat belajar di desa terpencil itu rendah? Tidak, mereka justru punya spirit yang jauh lebih tinggi dibanding anak-anak sekolah di kota.

Semangat anak Rura sudah dimulai jauh sebelum langit menampakkan terangnya. Dalam dekapan kabut pagi, mereka sudah berlomba menuju sumur desa untuk beradu kuat dengan dinginnya air dan udara subuh. Tanpa sarapan –sarapan bukanlah kebiasaan warga Rura- mereka segera bersiap dan menunggu datangnya Guru melintas di depan rumah. Terkadang ada yang menghampiri dengan nafas sedikit terengah.

“Tadi Saya lari biar berangkat bareng Bapak”, begitu katanya sambil bergabung dengan kawan-kawannya untuk berjalan dan bernyanyi bersama menuju sekolah.

Namun seringkali keinginan belajar di kelas sedikit tertunda karena Penjaga Sekolah yang belum datang membuka pintu-pintu kelas, atau karena Pak Guru berhalangan hadir, atau karena harus membantu orang tua mencari sappiri (kemiri – bahasa Mandar Gunung) di hutan. Bahkan beberapa bulan lalu karena beberapa kelas sedang direhab, anak-anak harus rela bergantian ruang kelas, atau bergabung dengan kelas lain.

Di tengah kepungan kebun coklat dan suara serangga yang tak pernah putus, anak-anak Rura menuliskan satu persatu huruf dan angka yang menuntun mereka menuju masa depan. Memang masih banyak yang sulit mengeja GAJAH dan menjumlahkan 5+1, namun tangan-tangan mungil mereka selalu terangkat ketika sebuah pertanyaan diajukan. Hingga kelas berakhir, suara lantang mereka tak pernah berhenti menggetarkan kelas. Berebut menjawab semua soal walaupun seringkali jawaban yang diberikan tidak tepat. Namun itulah yang membuat kami bangga. Anak-anak tidaka takut mengungkapkan pendapatnya. Ini yang guru-guru sebut dengan KEBERANIAN.

Tidak seperti murid-murid di kota, tidak ada bermain atau tidur siang sepulang sekolah, tidak ada pula yang namanya pelajaran tambahan. Satu-satunya kegiatan yang harus dilakukan adalah memecah kemiri. Setelah sholat dan makan siang biasanya anak-anak sudah siap dengan petuttu, alat pemecah kemiri yang mirip dengan sendok sayur dari bambu.

“Prek!!...prek!!!...”, suara kulit kemiri yang pecah, kalah beradu dengan batu. Begitu sampai malam menjelang.

Dan saat langit berubah menjadi hitam, segala keriuhan kompak bersembunyi. Meniupkan kesunyian ke seluruh sudut Dusun Rura yang gelap. Belajarkah anak-anak?

Mungkin iya, mungkin juga tidak. Lelah pikiran di sekolah, serta lelah fisik karena kemiri bisa jadi membuat anak-anak sulit menahan matanya untuk tetap terbuka. Lagipula bila masih ada semangat untuk belajar di malam hari, ada hambatan lain yang menunggu. Kegelapan.

Benar, kegelapan. Bila mata dilemparkan ke kalender yang tergantung di dinding ruang tamu, tertulis memang tahun 2012. Namun suasana malam di Rura lebih mirip cerita nostalgia Bapak Ibu saya pada medio ’79-’80-an. Belum ada listrik masuk Rura. Genset? Operasionalnya terlalu mahal menurut beberapa warga. Tidak ada lampu, hanya kaleng bekas susu berisi minyak tanah dengan sebuah sumbu menjulur yang menjadi satu-satunya penghasil cahaya. Belajar malam hari benar-benar menjadi sebuah perjuangan.


Sambil melawan kantuk, ditemani remangnya pelita, terkadang harus terbatuk karena asap yang terhirup Ikram tumbuh menjadi anak yang sangat cepat menghitung perkalian dan pembagian. Maslim bertransformasi dari anak cengeng menjadi Juara Sains Kecamatan. Azis dapat menghafal dan menyanyikan lagu dengan merdu. Lasmi mampu menghasilkan puisi dan lukisan yang indah. Dan Sarni mampu mengembangkan kemampuannya mengitung cepat.

Mereka mempunyai otak yang sama-sama cerdas, cita-cita yang sama tinggi. Walaupun berada di desa yang penuh dengan keterbatasan, selama masih memijak bumi yang sama kerasnya dan berada di bawah langit yang sama birunya, kesempatan yang Allah berikan pastilah sama. Mereka pasti bisa jadi seperti apa yang mereka cita-citakan. Tidak ada yang tidak mungkin bila Dia sudah berkata, Kun.
Rura, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar