Beberapa anak terlihat berlarian,
berebut bola, menggiringnya, kemudian menendang, berusaha memasukkan benda
bundar itu ke dalam gawang. Badan mereka nampak tegap dan sehat. Sementara yang
lain sibuk dengan gundu, bola kasti dan kulit kemiri, atau sekedar berlari-lari
menyusuri teras. Sama seperti SD di bagian Indonesia yang lain, seragam putih
merah masih setia menempel walaupun banyak yang sudah terlihat lusuh. Ada tas
tergantung pada setiap punggung, namun hanya satu dua yang terlihat bersepatu.
08:00 WITA. Pelajaran seharusnya
sudah dimulai. Namun karena akses ke Desa yang sangat sulit, wajar bila banyak
guru yang tinggal di pinggir –istilah yang dipakai orang Pegunungan untuk
menyebut warga pesisir- sering datang terlambat.
“Pak, masuk kelas enam ya?”
“Masuk kelas empat saja Pak...”
“Pak kelas lima kosong, mengajar kami saja”
“Kapan masuk kelas tiga Pak?”
Permintaan-permintaan itu hanya
sempat terbalas oleh senyum. Begitulah keadaan di Rura, murid selalu meminta
guru masuk ke kelasnya. Mereka haus pengetahuan. Jangan heran bila ada yang
berteriak “Lagi Pak, lagi!!” ketika
jam pelajaran sudah habis dan soal sudah selesai dikerjakan.
Benarkah bila ada yang menyatakan
semangat belajar di desa terpencil itu rendah? Tidak, mereka justru punya
spirit yang jauh lebih tinggi dibanding anak-anak sekolah di kota.
Semangat anak Rura sudah dimulai
jauh sebelum langit menampakkan terangnya. Dalam dekapan kabut pagi, mereka
sudah berlomba menuju sumur desa untuk beradu kuat dengan dinginnya air dan
udara subuh. Tanpa sarapan –sarapan bukanlah kebiasaan warga Rura- mereka
segera bersiap dan menunggu datangnya Guru melintas di depan rumah. Terkadang
ada yang menghampiri dengan nafas sedikit terengah.
“Tadi Saya lari biar berangkat bareng Bapak”, begitu katanya sambil
bergabung dengan kawan-kawannya untuk berjalan dan bernyanyi bersama menuju
sekolah.
Namun seringkali keinginan
belajar di kelas sedikit tertunda karena Penjaga Sekolah yang belum datang
membuka pintu-pintu kelas, atau karena Pak Guru berhalangan hadir, atau karena
harus membantu orang tua mencari sappiri
(kemiri – bahasa Mandar Gunung) di hutan. Bahkan beberapa bulan lalu karena
beberapa kelas sedang direhab, anak-anak harus rela bergantian ruang kelas,
atau bergabung dengan kelas lain.
Di tengah kepungan kebun coklat
dan suara serangga yang tak pernah putus, anak-anak Rura menuliskan satu
persatu huruf dan angka yang menuntun mereka menuju masa depan. Memang masih
banyak yang sulit mengeja GAJAH dan menjumlahkan 5+1, namun tangan-tangan
mungil mereka selalu terangkat ketika sebuah pertanyaan diajukan. Hingga kelas
berakhir, suara lantang mereka tak pernah berhenti menggetarkan kelas. Berebut menjawab
semua soal walaupun seringkali jawaban yang diberikan tidak tepat. Namun itulah
yang membuat kami bangga. Anak-anak tidaka takut mengungkapkan pendapatnya. Ini
yang guru-guru sebut dengan KEBERANIAN.
Tidak seperti murid-murid di
kota, tidak ada bermain atau tidur siang sepulang sekolah, tidak ada pula yang
namanya pelajaran tambahan. Satu-satunya kegiatan yang harus dilakukan adalah
memecah kemiri. Setelah sholat dan makan siang biasanya anak-anak sudah siap
dengan petuttu, alat pemecah kemiri
yang mirip dengan sendok sayur dari bambu.
“Prek!!...prek!!!...”, suara kulit kemiri yang pecah, kalah beradu
dengan batu. Begitu sampai malam menjelang.
Dan saat langit berubah menjadi
hitam, segala keriuhan kompak bersembunyi. Meniupkan kesunyian ke seluruh sudut
Dusun Rura yang gelap. Belajarkah anak-anak?
Mungkin iya, mungkin juga tidak.
Lelah pikiran di sekolah, serta lelah fisik karena kemiri bisa jadi membuat
anak-anak sulit menahan matanya untuk tetap terbuka. Lagipula bila masih ada
semangat untuk belajar di malam hari, ada hambatan lain yang menunggu.
Kegelapan.
Benar, kegelapan. Bila mata
dilemparkan ke kalender yang tergantung di dinding ruang tamu, tertulis memang
tahun 2012. Namun suasana malam di Rura lebih mirip cerita nostalgia Bapak Ibu saya
pada medio ’79-’80-an. Belum ada listrik masuk Rura. Genset? Operasionalnya
terlalu mahal menurut beberapa warga. Tidak ada lampu, hanya kaleng bekas susu
berisi minyak tanah dengan sebuah sumbu menjulur yang menjadi satu-satunya
penghasil cahaya. Belajar malam hari benar-benar menjadi sebuah perjuangan.
Sambil melawan kantuk, ditemani
remangnya pelita, terkadang harus terbatuk karena asap yang terhirup Ikram
tumbuh menjadi anak yang sangat cepat menghitung perkalian dan pembagian.
Maslim bertransformasi dari anak cengeng menjadi Juara Sains Kecamatan. Azis
dapat menghafal dan menyanyikan lagu dengan merdu. Lasmi mampu menghasilkan
puisi dan lukisan yang indah. Dan Sarni mampu mengembangkan kemampuannya
mengitung cepat.
Mereka mempunyai otak yang
sama-sama cerdas, cita-cita yang sama tinggi. Walaupun berada di desa yang
penuh dengan keterbatasan, selama masih memijak bumi yang sama kerasnya dan
berada di bawah langit yang sama birunya, kesempatan yang Allah berikan
pastilah sama. Mereka pasti bisa jadi seperti apa yang mereka cita-citakan. Tidak
ada yang tidak mungkin bila Dia sudah berkata, Kun.
Rura, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar