Disalami Wakil Presiden,
dicitrakan sebagai sarjana-sarjana terbaik bangsa, dibangga-banggakan sebagai
calon pemimpin masa depan, memiliki akses yang sangat luas untuk masuk ke Ring
1, dekat dengan Bupati, Wakil, hingga Kepala Dinas. Sudah pasti hal itu
menjadikan Pengajar Muda (PM) menempati posisi seorang “tokoh” di dusun.
Ditambah dengan polesan cerita di sana sini, sudah pasti masyarakat menjadi
semakin “wow” memandang seorang PM.
Duduk pasti di podium utama
sebelah Pak Desa atau Pak Haji, kemanapun pergi selalu diperhatikan, bahkan
ketika sakit atau jatuh dari motor dan lecet sedikit saja, beritanya bisa
menyebar luas melewati batas-batas administratif kecamatan. Terlihat
berlebihan? Tapi memang begitu kenyataannya.
Sebagai seorang “tokoh” dengan
embel-embel yang meninggikan hati, seringkali saya terjebak untuk melakukan semua
hal sendirian. Bisa melakukan segala hal, mau melakukan apa saja, ringan tangan membantu orang lain, apapun. Betul, menjadi superhero dusun yang akan dikenang
sepanjang masa.
“Pak Didin dulu biar malam hari berani lho jalan kaki ke pinggir”
“Pak Didin pernah lho sendirian datang ke sekolah dan mengajar enam
kelas sekaligus ketika hari hujan dan tidak ada guru yang datang”
Ya, secara pribadi ego saya
selalu menuntun untuk menjadi sosok super. Apalagi saya adalah PM ke tiga yang
ditempatkan di Rura, sudah pasti akan selalu dibandingkan dengan dua orang
pendahulu saya. Jujur, kuping saya sedikit gerah ketika saya melakukan sesuatu
kemudian dibandingkan dengan dua pendahulu saya. Hal itu membuat saya selalu
ingin melampaui semua pencapaian yang sudah diperoleh oleh dua PM sebelumnya.
“Kalahkan egomu”. Itu yang selalu diingatkan oleh Tika, koordinator
kabupaten ketika rapat. “Bukan hal yang
salah ketika ingin melakukan sesuatu di Dusun, bukan pelanggaran pula bila
memiliki obsesi untuk melakukan A, B, C, D sampai Z. Namun harus selalu
diingat, tujuan besarnya adalah untuk mendorong perubahan masyarakat”.
Kalau diibaratkan dalam sebuah
balapan menuju kemajuan, saya bukanlah mobil yang mengantar menuju garis
finish, bukan pula pembalap yang mengarahkan dan berpacu secepat mungkin, bukan
pula bensin yang membuat mobil melaju. Saya hanya akselerator yang mendorong
mobil melaju lebih kencang. Tanpa saya-pun, mobil tetap bisa sampai di garis
finish.
Jika semua hal dilakukan sendiri
saya memang terlihat menjadi sosok yang hebat. Namun lama kelamaan
ketergantungan warga ke saya menjadi semakin tinggi, dan ketika saya pergi
segalanya akan kembali seperti semula. Yang tersisa hanya nama yang melegenda,
namun tidak ada “sisa” yang betul-betul bisa dimanfaatkan masyarakat untuk
secara mandiri berjalan menuju kemajuan.
Tapi biar bagaimanapun saya harus
jadi superhero, setidaknya untuk menggebrak dulu di awal. Dan disini ego saya
harus memilih, mau jadi Superhero Genetis atau non-Genetis.
Superhero Genetis, mereka yang
menjadi super karena takdir. Superman, Thor, MetroMan, Ultraman, Manusia Saiya,
Gundala, X-Men. Takdirlah yang menyisipkan gen super di dalam tubuh mereka.
Superman misalnya. Ditakdirkan lahir
di Planet Krypton. Bila Krypton tidak hancur dan dia tidak dikirim ke Bumi,
tentu saja kehidupannya biasa saja. Kenapa? Karena semua orang di Krypton sama
kuatnya seperti Superman. Ini pembeda pertama, he is an outsider.
Bahkan Louis Lane yang notabene
adalah orang terdekat tidak mampu mewarisi –walau sekedar- mata super atau
kemampuan terbang. Yang terjadi, dari kereta bayi hampir ditabrak mobil hingga
bumi akan hancur, Superman yang turun tangan. Ya, ketergantungan.
Ketika superman hilang (mati
suri), orang-orang seolah tak punya harapan hidup. Tidak ada yang bisa
menggantikan Superman. Kenapa? Karena tidak ada orang lain yang memiliki gen
super.
Mereka –Superhero Genetis-
eksklusif. Tidak semua orang atau tepatnya tidak ada orang yang bisa menjadi
seperti mereka.
Batman? Dia juga superhero, namu
dia berbeda. Bruce Wayne anak manusia biasa. Dia takut gelap, takut kelelawar,
dan punya trauma dengan kekerasan. Tidak ada “gen” super yang disisipkan Tuhan
dalam dirinya. Ke-super-annya tumbuh karena pengalaman hidup.
Berbekal kelebihan finansial –dan
intelegensi- yang dimiliki, dia ingin merubah kampung halamannya, Gotham yang
“tidak manusiawi” menjadi lebih ramah. Dia kerahkan segala sumber daya yang
dimiliki untuk mencapainya. Sendirian? Yang terlihat memang begitu.
Tapi ada Lucius Fox yang menjadi
arsitek terciptanya Tumbler, Batpod, dan segala peralatan canggih Batman. Ada
Alfred, yang mengurus hal-hal remeh sekaligus menjadi penasehat pribadi Sang
Superhero. Ada Gordon, Robin, bahkan “fake
Batman” yang seolah menjadi “penampakan” Batman ketika dia hilang. Semua
yang memiliki visi “Memanusiakan Gotham”
dirangkul, difasilitasi, dan dididik agar mampu bergerak secara mandiri.
Bahkan Batman mampu melawan ego
Superhero-nya ketika muncul “manusia biasa” yang berasal dari Gotham, Harvey
Dent, seorang jaksa wilayah yang bersih –dan tanpa topeng-. Untuk merubah poros
keadilan dari dirinya ke Dent, Batman rela menjadi buron, di-kambinghitam-kan
sebagai penjahat, dan menyembunyikan aib Dent (Two Face)selama 8 tahun lamanya.
Memang Gotham menjadi kacau
kembali. Bisa saja Batman bertindak. Namun, apa guna? Dengan mengambil alih
situasi tujuan besar tidak mungkin tercapai. Perubahan memang perlu proses
panjang, dan bisa jadi kekacauan tersebut tidak sekacau sebelumnya.
Dan hebatnya, Batman tahu dia
punya batas waktu, akan melemah dan mati sehingga untuk menjaga keberlanjutan
visinya, dia menyiapkan suksesor. Robin dan Catwoman –dalam versi Batman&Robin- adalah pendamping serta
calon pengganti Batman.
Juga Ironman, the Punisher, dan
sedikit superhero “non-genetis” yang menjadi superhero bukan karena “takdir”
atau “kecelakaan”, namun lebih karena niat baik yang dibarengi dengan ikhtiar.
Buatlah sistem. So if you’re gone, it still runs properly. Namamu
mungkin akan hilang dan terlupakan. Tapi dengan adanya sistem yang memaksa
masyarakat terlibat langsung, akan muncul kesadaran dan rasa kepemilikan
sehingga tujuan besar menuju perubahan bisa dipastikan terus berjalan. Dan
bukankah ini masuk dalam kriteria amal jariyah yang tak akan pernah putus masuk
ke rekening akhirat selama sistem itu dipakai?
Jadi superhero Genetis atau
non-Genetis, itu adalah pilihan.
Disini hanya setahun. Tinggalkan
jejak, bukan nama.
Nama Cuma bisa diingat dan
dikenang, namun jejak bisa diikuti.
eaaaa....
BalasHapusaeeee...
HapusGak harus jadi superhero di depan anak-anak, karena dengan memperhatikan mereka saja, kita udah lebih dari batman-superman-wonderwoman dan sejenisnya di depan mereka.
BalasHapusWah, Wonder Woman datang, hehehehe
Hapus