Sabtu, 20 April 2013

Aku Superhero?


Disalami Wakil Presiden, dicitrakan sebagai sarjana-sarjana terbaik bangsa, dibangga-banggakan sebagai calon pemimpin masa depan, memiliki akses yang sangat luas untuk masuk ke Ring 1, dekat dengan Bupati, Wakil, hingga Kepala Dinas. Sudah pasti hal itu menjadikan Pengajar Muda (PM) menempati posisi seorang “tokoh” di dusun. Ditambah dengan polesan cerita di sana sini, sudah pasti masyarakat menjadi semakin “wow” memandang seorang PM.

Duduk pasti di podium utama sebelah Pak Desa atau Pak Haji, kemanapun pergi selalu diperhatikan, bahkan ketika sakit atau jatuh dari motor dan lecet sedikit saja, beritanya bisa menyebar luas melewati batas-batas administratif kecamatan. Terlihat berlebihan? Tapi memang begitu kenyataannya.

Sebagai seorang “tokoh” dengan embel-embel yang meninggikan hati, seringkali saya terjebak untuk melakukan semua hal sendirian. Bisa melakukan segala hal, mau melakukan apa saja, ringan tangan membantu orang lain, apapun. Betul, menjadi superhero dusun yang akan dikenang sepanjang masa.



“Pak Didin dulu biar malam hari berani lho jalan kaki ke pinggir”

“Pak Didin pernah lho sendirian datang ke sekolah dan mengajar enam kelas sekaligus ketika hari hujan dan tidak ada guru yang datang”

Ya, secara pribadi ego saya selalu menuntun untuk menjadi sosok super. Apalagi saya adalah PM ke tiga yang ditempatkan di Rura, sudah pasti akan selalu dibandingkan dengan dua orang pendahulu saya. Jujur, kuping saya sedikit gerah ketika saya melakukan sesuatu kemudian dibandingkan dengan dua pendahulu saya. Hal itu membuat saya selalu ingin melampaui semua pencapaian yang sudah diperoleh oleh dua PM sebelumnya.

“Kalahkan egomu”. Itu yang selalu diingatkan oleh Tika, koordinator kabupaten ketika rapat. “Bukan hal yang salah ketika ingin melakukan sesuatu di Dusun, bukan pelanggaran pula bila memiliki obsesi untuk melakukan A, B, C, D sampai Z. Namun harus selalu diingat, tujuan besarnya adalah untuk mendorong perubahan masyarakat”.

Kalau diibaratkan dalam sebuah balapan menuju kemajuan, saya bukanlah mobil yang mengantar menuju garis finish, bukan pula pembalap yang mengarahkan dan berpacu secepat mungkin, bukan pula bensin yang membuat mobil melaju. Saya hanya akselerator yang mendorong mobil melaju lebih kencang. Tanpa saya-pun, mobil tetap bisa sampai di garis finish.

Jika semua hal dilakukan sendiri saya memang terlihat menjadi sosok yang hebat. Namun lama kelamaan ketergantungan warga ke saya menjadi semakin tinggi, dan ketika saya pergi segalanya akan kembali seperti semula. Yang tersisa hanya nama yang melegenda, namun tidak ada “sisa” yang betul-betul bisa dimanfaatkan masyarakat untuk secara mandiri berjalan menuju kemajuan.

Tapi biar bagaimanapun saya harus jadi superhero, setidaknya untuk menggebrak dulu di awal. Dan disini ego saya harus memilih, mau jadi Superhero Genetis atau non-Genetis.

Superhero Genetis, mereka yang menjadi super karena takdir. Superman, Thor, MetroMan, Ultraman, Manusia Saiya, Gundala, X-Men. Takdirlah yang menyisipkan gen super di dalam tubuh mereka.
Superman misalnya. Ditakdirkan lahir di Planet Krypton. Bila Krypton tidak hancur dan dia tidak dikirim ke Bumi, tentu saja kehidupannya biasa saja. Kenapa? Karena semua orang di Krypton sama kuatnya seperti Superman. Ini pembeda pertama, he is an outsider.

Bahkan Louis Lane yang notabene adalah orang terdekat tidak mampu mewarisi –walau sekedar- mata super atau kemampuan terbang. Yang terjadi, dari kereta bayi hampir ditabrak mobil hingga bumi akan hancur, Superman yang turun tangan. Ya, ketergantungan.

Ketika superman hilang (mati suri), orang-orang seolah tak punya harapan hidup. Tidak ada yang bisa menggantikan Superman. Kenapa? Karena tidak ada orang lain yang memiliki gen super.

Mereka –Superhero Genetis- eksklusif. Tidak semua orang atau tepatnya tidak ada orang yang bisa menjadi seperti mereka.

Batman? Dia juga superhero, namu dia berbeda. Bruce Wayne anak manusia biasa. Dia takut gelap, takut kelelawar, dan punya trauma dengan kekerasan. Tidak ada “gen” super yang disisipkan Tuhan dalam dirinya. Ke-super-annya tumbuh karena pengalaman hidup.

Berbekal kelebihan finansial –dan intelegensi- yang dimiliki, dia ingin merubah kampung halamannya, Gotham yang “tidak manusiawi” menjadi lebih ramah. Dia kerahkan segala sumber daya yang dimiliki untuk mencapainya. Sendirian? Yang terlihat memang begitu.

Tapi ada Lucius Fox yang menjadi arsitek terciptanya Tumbler, Batpod, dan segala peralatan canggih Batman. Ada Alfred, yang mengurus hal-hal remeh sekaligus menjadi penasehat pribadi Sang Superhero. Ada Gordon, Robin, bahkan “fake Batman” yang seolah menjadi “penampakan” Batman ketika dia hilang. Semua yang memiliki visi  “Memanusiakan Gotham” dirangkul, difasilitasi, dan dididik agar mampu bergerak secara mandiri.

Bahkan Batman mampu melawan ego Superhero-nya ketika muncul “manusia biasa” yang berasal dari Gotham, Harvey Dent, seorang jaksa wilayah yang bersih –dan tanpa topeng-. Untuk merubah poros keadilan dari dirinya ke Dent, Batman rela menjadi buron, di-kambinghitam-kan sebagai penjahat, dan menyembunyikan aib Dent (Two Face)selama 8 tahun lamanya.

Memang Gotham menjadi kacau kembali. Bisa saja Batman bertindak. Namun, apa guna? Dengan mengambil alih situasi tujuan besar tidak mungkin tercapai. Perubahan memang perlu proses panjang, dan bisa jadi kekacauan tersebut tidak sekacau sebelumnya.

Dan hebatnya, Batman tahu dia punya batas waktu, akan melemah dan mati sehingga untuk menjaga keberlanjutan visinya, dia menyiapkan suksesor. Robin dan Catwoman –dalam versi  Batman&Robin- adalah pendamping serta calon pengganti Batman.

Juga Ironman, the Punisher, dan sedikit superhero “non-genetis” yang menjadi superhero bukan karena “takdir” atau “kecelakaan”, namun lebih karena niat baik yang dibarengi dengan ikhtiar.

Buatlah sistem. So if you’re gone, it still runs properly. Namamu mungkin akan hilang dan terlupakan. Tapi dengan adanya sistem yang memaksa masyarakat terlibat langsung, akan muncul kesadaran dan rasa kepemilikan sehingga tujuan besar menuju perubahan bisa dipastikan terus berjalan. Dan bukankah ini masuk dalam kriteria amal jariyah yang tak akan pernah putus masuk ke rekening akhirat selama sistem itu dipakai? 

Jadi superhero Genetis atau non-Genetis, itu adalah pilihan.

Disini hanya setahun. Tinggalkan jejak, bukan nama.

Nama Cuma bisa diingat dan dikenang, namun jejak bisa diikuti.

4 komentar:

  1. Gak harus jadi superhero di depan anak-anak, karena dengan memperhatikan mereka saja, kita udah lebih dari batman-superman-wonderwoman dan sejenisnya di depan mereka.

    BalasHapus