Jumat, 06 September 2013

Surat dari Luar Negeri

“Ada kiriman untuk Indonesia Mengajar Rura”

Sms yang langsung masuk ketika handphone dinyalakan. Pengirimnya adalah Kepala Kantor Pos Malunda. Lhoh koq Malunda? Memang begitu keadaannya, karena Ulumanda adalah kecamatan pemekaran, sarana dan prasarana yang ada belumlah selengkap kecamatan yang mapan. Jadilah Kantor Pos Malunda dijadikan kantor bersama dua kecamatan.

Seketika itu rencana untuk men-charge laptop di rumah seorang Guru saya batalkan. Motor langsung saya arahkan berbelok ke kanan menuju Pom Bensin Malunda, menitip laptop pada petugas SPBU untuk di-charge, kemudian berbalik menuju Kantor Pos.

“Ini Pak Guru, ada kiriman dari Swedia”

Wah, dari luar negeri?
Sebuah kartu pos bergambar katedral dengan beberapa menara beratap kerucut. Berlatar langit yang berpadu dengan birunya laut. Tercetak dengan elegan diatas kertas lux.

Stockholm, 20.03.2013

@pembayunsekar

Nama yang tampak familiar. Dan memang benar, setelah ditelusur via facebook, sang pengirim adalah seorang kawan kuliah di UNS dulu. Seorang yang beruntung mendapatkan beasiswa S2 Perencanaan Wilayah di Swedia. Tulisannya dalam kartu pos singkat, “SELALU SEMANGAT BELAJAR”.

Langsung terbayang bagaimana ekspresi murid-murid besok ketika saya pamerkan kartu pos dari negeri yang nun jauh di seberang sana, negara dimana Zlatan Ibrahimovic lahir. Bila ada tombol percepat untuk memutar waktu, rasanya ingin menekan tombol itu sampai batas maksimal. Agar hari esok segera datang.

Akhirnya pagi datang. Setelah menuntaskan urusan harian di kamar mandi tetangga sebelah, cepat-cepat saya  berangkat ke sekolah untuk menunjukkan Kartu Pos yang diterima kemarin. Segera saya masuk kantor, mengambil globe, dan langsung masuk ke kelas 4. Setelah memberi salam, berdoa, dan menghafal doa sholat, langsung saya ambil globe dan memberikan intro tentang negara Swedia. Murid-murid hanya mengangguk. Entah anggukan paham atau anggukan bingung.

Setelah intro saya cukupkan, saya ambil Kartu Pos dari dalam tas. Setengah berteriak, saya angkat kartu pos itu tinggi-tinggi. “Kartu Pos ini berisi salam dari Kakak-kakak yang sekarang sedang sekolah di Swedia”

“Kartu Pos Pak?”

“Dari Swedia?”

“Ya dari Swedia, negara Eropa yang Bapak ceritakan tadi..”

Siiiiing! Hening sesaat.

“Pak PR-nya dinilai dong”

“Iya Pak PR-nya dinilai, katanya hari ini mau diperiksa?”

Aduh, koq tanggapan mereka biasa saja? Padahal kartu ini berasal dari negara yang mungkin hanya sempat terlintas dalam mimpi mereka, sudah menempuh perjalan yang sangat jauh, dan berisikan doa dan harapan agar murid-murid terus berusaha mengejar mimpi mereka. Dalam bayangan saya yang muncul adalah beragam ekspresi terkejut, murid-murid yang berebut melihat Kartu Pos dari Eropa, kelas yang histeris, dan sejumlah reaksi keterkejutan yang lain.

Selidik punya selidik, ternyata mereka sama sekali belum mengenal apa itu surat menyurat. Surat yang mereka kenal cuma dua, surat Undangan Nikah dan Surat Al-Fatihah. Pantas saja. Kartu pos dari Swedia hanya dianggap seperti foto pemandangan yang digunting dari buku.

Akhirnya, dengan semangat mengenalkan mereka pada surat dan dunia luar, saya putuskan untuk memulai program “Surat dari Rura”. Tujuannya agar mereka bisa tahu ada dunia lain selain Dusun Rura, kedua agar mereka lancar menulis.

Pertama memang sangat kacau, tulisan mereka sama sekali tidak bisa saya mengerti. Struktur kalimatnya terbolak-balik, huruf banyak yang tertukar, kurang, bahkan kelebihan. Tidak masalah, yang penting mereka berani menulis. Akhirnya surat pertama mereka saya kirim dengan menyertakan beberapa panduan membaca.

Surat pertama dikirimkan ke seorang kawan pengampu sebuah TPA dan ke anak didik teman-teman sesama Pengajar Muda.

Surat kedua, ketiga, mereka sudah bisa menceritakan hal-hal yang variatif, tulisan sudah mulai memanjang menjadi beberapa paragraf. Namun tetap saja mengundang tawa bila dibaca, itulah yang saya sebut kejujuran dan kepolosan anak-anak.

Pada surat keempat, akhirnya diputuskan untuk memulai mengirim surat ke tokoh-tokoh nasional. Target utama tentu saja Presiden.  Maka hari itu saya perintahkan anak-anak untuk menulis surat kepada Presiden.

“Siapa Presiden kita anak-anak?”

“Kalma Katta Pak”, jawab mereka serentak.

Aduh. Sejak kapan Bupati Majene diangkat menjadi presiden? Dan lagi, setelah ditelusuri pejabat yang mereka kenal cuma tiga orang. Kalma Katta, Pak Zakariah Kepala Desa, dan Bapak Lena Kepala Dusun.

Akhirnya metode menulis surat saya ubah. Jadilah setiap ada sesi menulis surat untuk tokoh, saya tenteng foto-foto yang ada di kantor, bahkan beberapa sengaja saya print agar mereka mengenal kepada siapa surat mereka akan dikirimkan. Selain itu saya dongengkan dulu mengapa tokoh tersebut perlu dijadikan panutan bagi mereka.

Sukses, maka hampir setiap minggu amplop-amplop beterbangan dari sudut dusun Rura menuju kediaman SBY, Boediono, JK, B J Habibie, Jokowi, hingga Kalma Katta. Bahkan dalam suatu acara, surat mereka ke Bupati Majene dibacakan di depan 9 Kepala Dinas di Kabupaten Majene.

“Pak Kalma, kata Pak Didin kamu orangnya baik. Boleh nggak saya menginap di rumah kamu? –kamu? ya begitulah kepolosan mereka-. Nanti saya bawakan langsat dan durian. Atli.”

Memang sengaja saya tidak melakukan editing ataupun mengetik ulang surat mereka. Semua saya sampaikan apa adanya. Surat dengan kertas yang sobek, agak dicoret-coret, tulisan yang mirip hasil bacaan seismograf, dan banyak lagi “keunikan”-nya. Bahkan surat yang struktur bahasanya “nyleneh” tetap saya biarkan. Biar jujur dan dapat chemistry-nya, kata seorang teman penempatan yang psikolog.

Dan atas bantuan beberapa orang teman, surat-surat lain juga berdatangan ke Rura. Dari Banggai, dari Paser, Ceko, Jepang, Taiwan, Austria, dan yang membanggakan Radio PPI dunia sengaja membuat program berkirim kabar entah via surat, video, foto, atau apapun untuk memberi semangat anak-anak murid kami disini, Majene.

Jadi sekarang bila ada sesi menulis surat, yang ditulis bukan hanya nama, kelas, sekolah, dan nama guru. Sangat beragam. Cerita soal musim buah, cerita tentang keinginan bertukar lagu, undangan untuk hadir ke Rura, bahkan cerita tentang impian-impiannya di masa depan.

“Pak B J Habibie”

“Kata Pak Didin bapak bisa membuat pesawat terbang, saya mau membuat pesawat terbang. Cita-
cita saya menjadi bidan yang sukses. Saya ingin sekolah di Jawa. Saya ingin naik pesawat terbang”

“Wassalamu’alaikum wr wb”

Yuyun Shafira

Rangkaian kata-kata Yuyun dikirim, terbang tinggi menuju langit. Menembus batas-batas cakrawala, menjadi awal terwujudnya cita-cita sederhana yang ingin segera dicapainya.


“Cepat dibalas ya Pak Habibie”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar