Awalnya saya cuek dengan isu
ada/tidaknya Ujuan Nasional. Ada ya terserah, tidak ada ya masa bodoh. Kadang
saya pikir memang harus ada UN, karena harus ada asesmen untuk mengetahui
seberapa pencapaian siswa akan pelajarannya. Bahkan dalam hidup ada istilah
ujian kehidupan, jadi memang untuk melewati suatu tahap tertentu. Harus ada Ujian.
Namun saya pikir benar juga kata banyak pengamat, kurang adil bila 3 (atau 6)
tahun belajar hanya ditentukan oleh 2 jam atau 40-50 soal atau 3-4 pelajaran.
Hari ini (7/5) murid-murid saya
akan melaksanakan hari terakhir ujian
mereka. 13 anak gunung yang harus turun ke jalan poros untuk melewati
satu tahap kehidupannya. Kami (guru-guru) sudah sangat yakin mereka bisa
melewatinya. Pokoknya lewat lah itu ujian. Lulus atau tidak, 90% adalah faktor
keberuntungan. Saya katakan begitu karena memang harus diakui kemampuan
murid-murid kami belum dalam kapasitasnya untuk mengerjakan Ujian berstandar
Nasional (atau Jakarta tepatnya). Saya yakin hampir semua murid mengerjakan
soal ujuan dengan cara “menembak” jawaban.
Meng-underestimate murid?
Boleh saja dibilang begitu. Tapi
cobalah datang ke sekolah kami, mengajar beberapa bulan, lakukan riset simpel
dan hasilnya pasti akan sama dengan kesimpulan yang saya tuliskan tadi.
Pertama, kemampuan kebahasaan.
Murid-murid kami mengerti bahasa Indonesia percakapan –yang sederhana-, bisa MEMBACA
sebuah tulisan berbahasa Indonesia, namun mereka tidak mampu MENANGKAP MAKNA
dari rangkaian kata-kata berbahasa Indonesia tersebut. Soal UN B. Indonesia
yang panjang, soal cerita matematika, soal cerita IPA/S. Jadi, tanpa bisa
memahami maksudnya, mana bisa mencari jawaban yang benar. Ya, murid-murid
menjawab soal UN dengan cara spekulasi.
Dua, soal-soal yang sangat
Jakarta. Pertanyaan soal kereta api, halte bus, komputer, tablet yang entah
sengaja atau tidak sering tercantum dalam soal UN. Hey, anak-anak disini
bagaimana bisa membayangkan kereta api? Halte bus? Bandara? Atau Komputer dan
tablet? Listrik saja belum ada. Bila 5 dari 50 soal bertipe seperti itu, 10%
nilai murid-murid kami hilang karena satu kesalahan: tidak tinggal di Jakarta.
Dan soal KTSP. Dengan KTSP
kurikulum bisa disesuaikan dengan standar sekolah. Sederhananya, anak-anak
diajarkan dengan konten-konten lokal namun sesuai dengan standar yang
diitetapkan Kemendiknas.
Dalam matematika misalnya, yang penting murid bisa
perkalian entah mengalikan sapi, pohon kopi, rumah panggung, dll. Namun kalau
pada soal UN yang muncul adalah perkalian kereta api, -plus dua faktor yang
disebutkan sebelumnya- mana adil?
Oke, kembali ke soal UN. Mungkin Kemendiknas
punya pertimbangan tersendiri kenapa harus ada UN, memang sebuah pilihan sulit
dan saya yakin Kemendiknas sudah siap dengan pro-kontra nya. Dengan keadaan
masyarakat –termasuk wali murid dan guru- dengan kualitas dan integritas yang
seperti sekarang, boleh jadi UN memang cara paling mudah pengawasannya dalam
mengukur kelulusan. Itu saja masih ada beberapa oknum yang mencoba “bermain”
dengan UN.
Juga protes tentang biaya cetak,
distribusi soal, dan lain lain yang menghabiskan dana besar. Boleh jadi dana
besar itu opsi paling rendah dari bermacam skema penetapan kelulusan secara
nasional. Dengan sistem UN yang sudah mapan saja masih repot, bagaimana mencoba
membuat dan menerapkan sistem baru? Dan bila gagal, kambing hitamnya pasti Kemendiknas
lagi, menteri disuruh mundur lagi, buat sistem baru lagi. Kapan masalah
selesai?
Saya pernah berfikir bagaimana
bila UN tetap ada, namun kelulusan tiap sekolah diserahkan ke masing-masing
sekolah. Namun sebelumnya Kemendiknas pusat memiliki data base terkait grading atau penggolongan tiap sekolah,
sehingga semua murid tetap lulus namun kualitas lulusannya dikonversi dalam
data grading nasional. Namun ya kembali
ke urusan biaya. Untuk melakukan riset ke tiap sekolah sampai ujung Indonesia
berapa biayanya? Dan dibutuhkan juga tim riset yang itegritasnya betul-betul
mantap dan “anti godaan”.
UN, suka ataupun tidak itulah
pilihannya sekarang. Ditengah tuntutan yang begitu tinggi kepada Kemendiknas
untuk menyelesaikan masalah pendidikan negeri ini, dengan keterbatasan SDM,
dana, dan teknologi yang dimiliki, wajar bila ada kekurangan disana-sini. Bila
setuju UN, baiknya ikut memikirkan cara untuk mengakomodir sekolah-sekolah
dengan keadaan seperti tempat kami mengajar. Bila tidak setuju UN, baiknya juga
ikut mencari cara paling efisien untuk menetapkan kelulusan murid. UN bisa
dijadikan sarana untuk Unite the Nation, menyatukan bangsa, bukan malah saling
menjelekkan dan memecah belah sesama.
Tidak ada yang bisa sempurna,
namun semuanya bisa dibuat lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar