Hari ke 176, empat hari menjelang
bulan ke 6 saya ada di Sulawesi. Bila dihitung total dari awal keluar rumah,
sudah lebih dari 8 bulan saya meninggalkan rumah.
Ini kali pertama saya keluar
rumah dalam jangka waktu yang lama. Saya sering bepergian, namun biasanya hanya
berstatus flashpacker, paling lama
hanya satu minggu. Itupun untuk refreshing melepas penat. Dulu, ketika menjadi
mahasiswa, paling lama juga hanya tiga bulan tidak pulang. Jadi, inilah rekor
terlama saya keluar dari rumah.
Rindu? Pasti. Saya ingat
kata-kata Direktur HRD di tempat saya bekerja dulu, orang bisa bertahan jauh
dari orang-orang terdekat dan tetap produktif ada di kisaran angka 3 bulan
–mungkin bisa lebih lama pada orang-orang yang motivasinya sangat tinggi-. Ya,
saya tidak memungkiri, angka 8 bulan membuat saya rindu dengan semua yang telah
menjadi kebiasaan “normal” saya.
Rumah, itu yang pertama. Deru
mesin jahit Ibu yang biasanya menjadi lagu pengantar tidur. Bau iler di bantal
kesayangan, plus struktur kayu sofa di depan ruang jahit Ibu yang selama 6
tahun terakhir sudah menjadi kamar darurat ketika saya pulang ke rumah. Kehebohan
dan keanehan rasa masakan Bapak di akhir minggu. Juga tingkah Bapak dan Ibu
yang tetap membuai saya layaknya anak kecil yang belum bisa apa-apa.
Riuh teriakan sepupu yang selalu
merengek dan merajuk manja meminta Milkuat. Teriakan-teriakan saling ejek
ketika gerakan jari memainkan tombol-tombol PS berhasil menaklukkan tim andalan
adik-adik saya. Menemani Ibu menerima salam, cium dari adik-adik dan Bapak yang
siap berangkat beraktivitas. Duduk mengobrol hingga Mang Sayur datang. Sudah
sangat lama rasanya meninggalkan Ibu memilih sendiri sayur-sayuran dari gerobak
si Mamang.
Sayur-sayuran. Tepatnya kuliner.
Hal kedua yang sangat saya rindukan. Mungkin bukan karena rasa makanan yang
tidak enak, hanya lidah saja yang belum juga terbiasa dengan rasa dan cara
memasak ala Sulawesi Barat. Hari-hari yang biasa ditemani tempe, sayur mayur,
citarasa rempah yang dikombinasi beraneka ragam, variasi daging, ikan, bermacam
makanan olahan turunan, bahkan makanan instan sejak enam bulan lalu berubah. Hambar.
Tergantikan oleh dominasi amis ikan laut. Ikan terbang, ikan kakap, bandeng,
tongkol, teri, dan bermacam ikan lain yang silih berganti menghias meja makan. Digoreng,
dibakar, direbus, tanpa bumbu tambahan. Ya, tanpa bumbu. Memang saya jadi bisa
membedakan rasa ikan, namun lidah tidak bisa bohong. Saya tetap menginginkan
makanan yang biasa saya makan sehari-hari.
Begitu pula sayur. Sayur di
Majene tergolong makanan mahal. Identik dengan orang Jawa karena daerah
penghasil sayur adalah daerah trans berisi orang-orang Jawa seperti di
Wonomulyo dan Kolehalang. Pun jenisnya tidak sevariatif di Jawa. 6 bulan, belum
pernah saya temui wortel, kentang, buncis, selada. Paling hanya kacang panjang
dan daun paku.
Karena keterbatasan suplai itulah
saya dan teman-teman jadi malas bereksperimen dengan masakan. Mau masak A,
ternyata bahan-bahannya kurang. Mau masak B, bahannya ada tapi mahal. Beberapa
kali masakan ber-cita rasa lumayan berhasil saya temui, tapi tetap saja tidak
mampu menutup kerinduan menyantap cita-rasa yang sudah membentuk lidah saya
selama 23 tahun terakhir.
Ketiga, suasana. Suasana yang
mencakup tempat, waktu, dan manusia. Nyatanya memang sejak lulus kuliah di akhir
2010, kegilaan masa muda telah dipaksa kalah oleh kekuatan dunia “orang dewasa”
yang penuh keseriusan dan rutinitas. Membosankan. Dunia yang memisahkan saya
dengan puluhan senyum lepas teman-teman terdekat. Tugas-tugas kantor, kesibukan
dengan keluarga, stress mencari beasiswa lanjut, fokus membesarkan usaha, telah
membangun sebuah batas yang begitu sulit ditembus oleh persahabatan. Kian hari
jarak itu semakin melebar, mungkin hanya sapaan melalui sms dan telepon yang
menjadi benang tipis penanda hubungan pertemanan kami.
Saya rindu malam-malam ketika
teriakan-teriakan memenuhi rumah kos, entah karena listrik mati, ada cewek
cantik lewat didepan kos, pertandingan bola, main kartu, atau ketika ada rejeki
nomplok –satu atau dua kardus nasi- memanggil dari panitia pengajian di masjid.
Atau ketika kantuk tidak juga datang dan coba diundang lewat teh jahe, beberapa
bungkus nasi, dan sepiring gorengan bakar di atas tikar disamping gerobak
angkringan Pakdhe Yono.
Juga ketika ide-ide gila muncul
sebagai pelarian dari himpitan tugas-tugas kuliah. Membuat parodi film, video
klip, iklan, atau bahkan menempuh perjalanan lintas provinsi hanya untuk
menikmati semangkuk indomie rebus di Lereng Gunung Lawu. Rindu pesta besar
menikmati hasil ngobyek proyek-proyek
kelas teri. Menikmati gemerlap dunia selevel kantong mahasiswa dengan gaya
sosialita.
Rindu yang hanya sempat terobati
lewat foto, video, atau sekedar saling lempar ejekan lewat sosial media.
Mencoba berimajinasi seolah-olah masih berada di dalam tempat, waktu, dan suasana
yang sama. Walau berjauhan tempat. Walau berjauhan waktu.
Jarum merah panjang masih terus
bergerak berkeliling. Berdetak perlahan menemani pagi, melewati siang, membuai
malam yang terus menerus berulang. Menantikan saat yang tepat hingga waktu cuti
datang untuk bertemu keluarga, bertemu makanan, dan bertemu sahabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar