Rabu, 01 Mei 2013

Kangen


Hari ke 176, empat hari menjelang bulan ke 6 saya ada di Sulawesi. Bila dihitung total dari awal keluar rumah, sudah lebih dari 8 bulan saya meninggalkan rumah.

Ini kali pertama saya keluar rumah dalam jangka waktu yang lama. Saya sering bepergian, namun biasanya hanya berstatus flashpacker, paling lama hanya satu minggu. Itupun untuk refreshing melepas penat. Dulu, ketika menjadi mahasiswa, paling lama juga hanya tiga bulan tidak pulang. Jadi, inilah rekor terlama saya keluar dari rumah.


Rindu? Pasti. Saya ingat kata-kata Direktur HRD di tempat saya bekerja dulu, orang bisa bertahan jauh dari orang-orang terdekat dan tetap produktif ada di kisaran angka 3 bulan –mungkin bisa lebih lama pada orang-orang yang motivasinya sangat tinggi-. Ya, saya tidak memungkiri, angka 8 bulan membuat saya rindu dengan semua yang telah menjadi kebiasaan “normal” saya.

Rumah, itu yang pertama. Deru mesin jahit Ibu yang biasanya menjadi lagu pengantar tidur. Bau iler di bantal kesayangan, plus struktur kayu sofa di depan ruang jahit Ibu yang selama 6 tahun terakhir sudah menjadi kamar darurat ketika saya pulang ke rumah. Kehebohan dan keanehan rasa masakan Bapak di akhir minggu. Juga tingkah Bapak dan Ibu yang tetap membuai saya layaknya anak kecil yang belum bisa apa-apa.
Riuh teriakan sepupu yang selalu merengek dan merajuk manja meminta Milkuat. Teriakan-teriakan saling ejek ketika gerakan jari memainkan tombol-tombol PS berhasil menaklukkan tim andalan adik-adik saya. Menemani Ibu menerima salam, cium dari adik-adik dan Bapak yang siap berangkat beraktivitas. Duduk mengobrol hingga Mang Sayur datang. Sudah sangat lama rasanya meninggalkan Ibu memilih sendiri sayur-sayuran dari gerobak si Mamang.

Sayur-sayuran. Tepatnya kuliner. Hal kedua yang sangat saya rindukan. Mungkin bukan karena rasa makanan yang tidak enak, hanya lidah saja yang belum juga terbiasa dengan rasa dan cara memasak ala Sulawesi Barat. Hari-hari yang biasa ditemani tempe, sayur mayur, citarasa rempah yang dikombinasi beraneka ragam, variasi daging, ikan, bermacam makanan olahan turunan, bahkan makanan instan sejak enam bulan lalu berubah. Hambar. Tergantikan oleh dominasi amis ikan laut. Ikan terbang, ikan kakap, bandeng, tongkol, teri, dan bermacam ikan lain yang silih berganti menghias meja makan. Digoreng, dibakar, direbus, tanpa bumbu tambahan. Ya, tanpa bumbu. Memang saya jadi bisa membedakan rasa ikan, namun lidah tidak bisa bohong. Saya tetap menginginkan makanan yang biasa saya makan sehari-hari.

Begitu pula sayur. Sayur di Majene tergolong makanan mahal. Identik dengan orang Jawa karena daerah penghasil sayur adalah daerah trans berisi orang-orang Jawa seperti di Wonomulyo dan Kolehalang. Pun jenisnya tidak sevariatif di Jawa. 6 bulan, belum pernah saya temui wortel, kentang, buncis, selada. Paling hanya kacang panjang dan daun paku.

Karena keterbatasan suplai itulah saya dan teman-teman jadi malas bereksperimen dengan masakan. Mau masak A, ternyata bahan-bahannya kurang. Mau masak B, bahannya ada tapi mahal. Beberapa kali masakan ber-cita rasa lumayan berhasil saya temui, tapi tetap saja tidak mampu menutup kerinduan menyantap cita-rasa yang sudah membentuk lidah saya selama 23 tahun terakhir.

Ketiga, suasana. Suasana yang mencakup tempat, waktu, dan manusia. Nyatanya memang sejak lulus kuliah di akhir 2010, kegilaan masa muda telah dipaksa kalah oleh kekuatan dunia “orang dewasa” yang penuh keseriusan dan rutinitas. Membosankan. Dunia yang memisahkan saya dengan puluhan senyum lepas teman-teman terdekat. Tugas-tugas kantor, kesibukan dengan keluarga, stress mencari beasiswa lanjut, fokus membesarkan usaha, telah membangun sebuah batas yang begitu sulit ditembus oleh persahabatan. Kian hari jarak itu semakin melebar, mungkin hanya sapaan melalui sms dan telepon yang menjadi benang tipis penanda hubungan pertemanan kami.

Saya rindu malam-malam ketika teriakan-teriakan memenuhi rumah kos, entah karena listrik mati, ada cewek cantik lewat didepan kos, pertandingan bola, main kartu, atau ketika ada rejeki nomplok –satu atau dua kardus nasi- memanggil dari panitia pengajian di masjid. Atau ketika kantuk tidak juga datang dan coba diundang lewat teh jahe, beberapa bungkus nasi, dan sepiring gorengan bakar di atas tikar disamping gerobak angkringan Pakdhe Yono.

Juga ketika ide-ide gila muncul sebagai pelarian dari himpitan tugas-tugas kuliah. Membuat parodi film, video klip, iklan, atau bahkan menempuh perjalanan lintas provinsi hanya untuk menikmati semangkuk indomie rebus di Lereng Gunung Lawu. Rindu pesta besar menikmati hasil ngobyek proyek-proyek kelas teri. Menikmati gemerlap dunia selevel kantong mahasiswa dengan gaya sosialita.

Rindu yang hanya sempat terobati lewat foto, video, atau sekedar saling lempar ejekan lewat sosial media. Mencoba berimajinasi seolah-olah masih berada di dalam tempat, waktu, dan suasana yang sama. Walau berjauhan tempat. Walau berjauhan waktu.

Jarum merah panjang masih terus bergerak berkeliling. Berdetak perlahan menemani pagi, melewati siang, membuai malam yang terus menerus berulang. Menantikan saat yang tepat hingga waktu cuti datang untuk bertemu keluarga, bertemu makanan, dan bertemu sahabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar