Yang ekspresinya paling aneh, itu saya
Ternyata sudah lama saya
melupakan blog ini sejak terakhir memutuskan untuk membagi cerita kehidupan
–terutama cerita jalan-jalan-. Memang sejak tulisan terakhir saya disibukkan
dengan kegalaluan hati untuk melanjutkan kehidupan yang akhirnya mengarahkan
saya untuk menjalani pilihan menjadi Pengajar Muda dari Program Indonesia
Mengajar. Awalnya memang ada motivasi pribadi yang menguntit, tapi seiring
berjalannya waktu dan hasil berbagi dengan banyak orang hebat, semoga saya
masih mau untuk berusaha me-lempeng-kan
niat.
Pelatihan itu dimulai tanggal 10
september 2012. Kami ber-52 datang dari penjuru nusantara ke Kantor IM di
daerah Blok M. Dua hari kami diinapkan di Wisma Handayani milik Depkes RI di
Fatmawati untuk kemudian melanjutkan training outdoor bersama Wanadri di sebuah
bukit di Sumedang –Gunung Kareumbi kalau tidak salah, markas dari Wanadri-.
Sehari kami menginap di dusun Cigumentong yang sangat sederhana.
Hanya ada 17 rumah disana yang
telah dihuni secara turun-temurun, bahkan beberapa sudah kosong. Kalau
digambarkan seperti ini kira-kira: rumah paling depan adalah rumah ketua RT,
kemudian terdapat sebuah balai di sampingnya yang cukup untuk menampung 50-an
orang. Kemudaian ada lapangan yang lumayan besar yang dikelilingi sekitar 6
rumah warga dan satu masjid. Saya menduga daerah itu adalah pusat kampung
karena daerah itulah yang paling datar, disamping adanya lapangan dan masjid
tentunya. Sementara rumah-rumah yang lain berderet naik memenuhi lereng
perbukitan, tidak terlalu tersebar, namun tidak pula terlalu padat. Nampak
beberapa kolam ikan, karena air cukup lancar mengalir ke desa ini. Juga ada
beberapa kandang kambing serta tanaman sayur mayur di samping rumah. Hiaju,
sejuk, dan dingin, itu yang menggambarkan Cigumentong.
Beberapa rumah terlihat kosong. Katanya
sih sudah dibeli oleh orang-orang dari kota. Hanya beberapa rumah yang memiliki
lampu walau hanya seterang lampu senter LED, lampu neon hanya ada di Mushalla
kampung. Sebetulnya ada generator mikrohidro dan beberapa rumah memiliki
pembangkit tenaga surya bantuan pemerintah, namun sedang tidak berfungsi.
Pembangkit mikrohidro hanya berfungsi jika debit air cukup besar untuk memutar
turbin, sedangkan beberapa pembangkit surya menurut informasi warga sudah mulai
rusak. Jadi menurut cerita malam ini kami harus bergelap-gelap ria bila tak
membawa senter. Sinyal? Jangan harap ada, tapi komunikasi terasa lebih intim di
sini. Tanpa handphone. Itu point pentingnya.
Kami tinggal di rumah yang
menghadap langsung lapangan kampung. Rumah panggung yang memang mendominasi
struktur bangunan di Desa Cigumentong menjadi tempat beristirahat kami semalam
kedepan. Dua buah kolam ikan besar di belakang rumah berhias beberapa “gazebo”
yang akan menjadi kamar MCK kami. Berlatar perbukitan hijau yang menawarkan
hawa sejuk –dingin tepatnya-, kami mencoba mengakrabkan dengan warga
Cigumentong yang kebanyakan bertani dan berkebun. Memang jelas terlihat di
kejauhan sana kebun sayur yang membentang luas di tengah kepungan bukit-bukit
yang agak kering karena kemarau.
Sejenak beristirahat, ternyata
Ibu sudah menyiapkan sejenis kerupuk yang masih mengepul hangat. Sangat cocok
dinikmati sambil menunggu memerahnya langit yang ditinggal matahari. Langsung
saja kami hajar kerupuk itu –saya tak tahu namanya karena Ibu menjelaskannya
dalam bahasa Sunda-, dan dalam waktu sekejap kosonglah toples besar menyisakan
bekas minyak. Biarlah kami dikata rakus, tapi ini beralasan karena sejak awal
perjalanan dari Jakarta pagi tadi kemudian turun di Bandung yang dilanjut
dengan sejam ber-angkot plus jalan kaki juga selama satu jam lebih tak ada
logistik yang masuk ke perut. Dan rupanya memang kerupuk itu hanya pembuka. Tak
lama berselang Ibu membawakan kami sebakul nasi yang begitu wangi berhiaskan
kepulan asap yang membangkitkan selera. Setelah itu muncul secara berururtan
sayur lodeh, ikan asin, sambal, dan lalapan. Sunda banget, pikiran saya
berkata. “Dari kebon sendiri dhek”, kata Ibu.
Tak perlu berbasa basi lagi,
piring berdentang, gelas bertubrukan, sendok bergemerincing. Kami makan. Habis.
Kenyang.
Sambil mengistirahatkan perut
yang penuh, dari balik pintu tengah, ekor mata saya menangkap sosok seorang
anak kecil yang daritadi memperhatikan kami. Anak Bapak asuh kami yang baru
menginjak kelas empat SD. Dengan malu-malu dia memperkenalkan diri, sedikit
tersenyum. Berbasa basi sebentar sebelum akhirnya saya memintanya mengantar ke
pembangkit mikro hidro yang tidak berputar gara-gara kurang air. Menembus gang
sempit diantara rumah warga, menuruni bukit kecil yang berhiaskan tanaman kol
untuk kemudian naik menuju sebuah gubuk permanen yang melindungi generator.
Sebentar mengamati kemudian pulang karena adzan maghrib sedah terdengar dari
kejauhan.
Gelap mulai datang, deru genset
dari masjid juga terdengar sangat jelas. Malam menggelayut, kami berjamaah di
masjid. Selesai sholat, beberapa anak mulai datang membawa iqra dan juz amma.
Karena Pak Kyai belum datang, saya dan beberapa teman mencoba memfasilitasi
mereka mengaji. Bintang-bintang terlihat sangat indah di luar sana. Langit yang
bersih, tenang, dan tanpa gangguan cahaya lampu membuat saya terhenyak. Seumur
hidup, itulah pertama kalinya saya melihat bintang begitu banyak.
Di tengah kepungan bukit, di
dalam kegelapan, di temani nyanyian alam berhiaskan taburan bintang yang tak
pernah lelah berkelip, dalam dengung anak-anak yang mengaji, saya menikmati
tenangnya Cigumentong. Sunyi dan diam namun menentramkan. Tak ada foto, karena
saat itu kamera dan seluruh gadget tidak boleh digunakan. Namun tanpa gadget
bukan berarti tak bisa bercerita kan?.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar