Minggu, 14 Oktober 2012

Sebuah tempat di tepian Bandung #1

Yang ekspresinya paling aneh, itu saya

Ternyata sudah lama saya melupakan blog ini sejak terakhir memutuskan untuk membagi cerita kehidupan –terutama cerita jalan-jalan-. Memang sejak tulisan terakhir saya disibukkan dengan kegalaluan hati untuk melanjutkan kehidupan yang akhirnya mengarahkan saya untuk menjalani pilihan menjadi Pengajar Muda dari Program Indonesia Mengajar. Awalnya memang ada motivasi pribadi yang menguntit, tapi seiring berjalannya waktu dan hasil berbagi dengan banyak orang hebat, semoga saya masih mau untuk berusaha me-lempeng-kan niat.

Pelatihan itu dimulai tanggal 10 september 2012. Kami ber-52 datang dari penjuru nusantara ke Kantor IM di daerah Blok M. Dua hari kami diinapkan di Wisma Handayani milik Depkes RI di Fatmawati untuk kemudian melanjutkan training outdoor bersama Wanadri di sebuah bukit di Sumedang –Gunung Kareumbi kalau tidak salah, markas dari Wanadri-. Sehari kami menginap di dusun Cigumentong yang sangat sederhana.

Hanya ada 17 rumah disana yang telah dihuni secara turun-temurun, bahkan beberapa sudah kosong. Kalau digambarkan seperti ini kira-kira: rumah paling depan adalah rumah ketua RT, kemudian terdapat sebuah balai di sampingnya yang cukup untuk menampung 50-an orang. Kemudaian ada lapangan yang lumayan besar yang dikelilingi sekitar 6 rumah warga dan satu masjid. Saya menduga daerah itu adalah pusat kampung karena daerah itulah yang paling datar, disamping adanya lapangan dan masjid tentunya. Sementara rumah-rumah yang lain berderet naik memenuhi lereng perbukitan, tidak terlalu tersebar, namun tidak pula terlalu padat. Nampak beberapa kolam ikan, karena air cukup lancar mengalir ke desa ini. Juga ada beberapa kandang kambing serta tanaman sayur mayur di samping rumah. Hiaju, sejuk, dan dingin, itu yang menggambarkan Cigumentong.

Beberapa rumah terlihat kosong. Katanya sih sudah dibeli oleh orang-orang dari kota. Hanya beberapa rumah yang memiliki lampu walau hanya seterang lampu senter LED, lampu neon hanya ada di Mushalla kampung. Sebetulnya ada generator mikrohidro dan beberapa rumah memiliki pembangkit tenaga surya bantuan pemerintah, namun sedang tidak berfungsi. Pembangkit mikrohidro hanya berfungsi jika debit air cukup besar untuk memutar turbin, sedangkan beberapa pembangkit surya menurut informasi warga sudah mulai rusak. Jadi menurut cerita malam ini kami harus bergelap-gelap ria bila tak membawa senter. Sinyal? Jangan harap ada, tapi komunikasi terasa lebih intim di sini. Tanpa handphone. Itu point pentingnya.

Kami tinggal di rumah yang menghadap langsung lapangan kampung. Rumah panggung yang memang mendominasi struktur bangunan di Desa Cigumentong menjadi tempat beristirahat kami semalam kedepan. Dua buah kolam ikan besar di belakang rumah berhias beberapa “gazebo” yang akan menjadi kamar MCK kami. Berlatar perbukitan hijau yang menawarkan hawa sejuk –dingin tepatnya-, kami mencoba mengakrabkan dengan warga Cigumentong yang kebanyakan bertani dan berkebun. Memang jelas terlihat di kejauhan sana kebun sayur yang membentang luas di tengah kepungan bukit-bukit yang agak kering karena kemarau.

Sejenak beristirahat, ternyata Ibu sudah menyiapkan sejenis kerupuk yang masih mengepul hangat. Sangat cocok dinikmati sambil menunggu memerahnya langit yang ditinggal matahari. Langsung saja kami hajar kerupuk itu –saya tak tahu namanya karena Ibu menjelaskannya dalam bahasa Sunda-, dan dalam waktu sekejap kosonglah toples besar menyisakan bekas minyak. Biarlah kami dikata rakus, tapi ini beralasan karena sejak awal perjalanan dari Jakarta pagi tadi kemudian turun di Bandung yang dilanjut dengan sejam ber-angkot plus jalan kaki juga selama satu jam lebih tak ada logistik yang masuk ke perut. Dan rupanya memang kerupuk itu hanya pembuka. Tak lama berselang Ibu membawakan kami sebakul nasi yang begitu wangi berhiaskan kepulan asap yang membangkitkan selera. Setelah itu muncul secara berururtan sayur lodeh, ikan asin, sambal, dan lalapan. Sunda banget, pikiran saya berkata. “Dari kebon sendiri dhek”, kata Ibu.

Tak perlu berbasa basi lagi, piring berdentang, gelas bertubrukan, sendok bergemerincing. Kami makan. Habis. Kenyang.

Sambil mengistirahatkan perut yang penuh, dari balik pintu tengah, ekor mata saya menangkap sosok seorang anak kecil yang daritadi memperhatikan kami. Anak Bapak asuh kami yang baru menginjak kelas empat SD. Dengan malu-malu dia memperkenalkan diri, sedikit tersenyum. Berbasa basi sebentar sebelum akhirnya saya memintanya mengantar ke pembangkit mikro hidro yang tidak berputar gara-gara kurang air. Menembus gang sempit diantara rumah warga, menuruni bukit kecil yang berhiaskan tanaman kol untuk kemudian naik menuju sebuah gubuk permanen yang melindungi generator. Sebentar mengamati kemudian pulang karena adzan maghrib sedah terdengar dari kejauhan.

Gelap mulai datang, deru genset dari masjid juga terdengar sangat jelas. Malam menggelayut, kami berjamaah di masjid. Selesai sholat, beberapa anak mulai datang membawa iqra dan juz amma. Karena Pak Kyai belum datang, saya dan beberapa teman mencoba memfasilitasi mereka mengaji. Bintang-bintang terlihat sangat indah di luar sana. Langit yang bersih, tenang, dan tanpa gangguan cahaya lampu membuat saya terhenyak. Seumur hidup, itulah pertama kalinya saya melihat bintang begitu banyak.

Di tengah kepungan bukit, di dalam kegelapan, di temani nyanyian alam berhiaskan taburan bintang yang tak pernah lelah berkelip, dalam dengung anak-anak yang mengaji, saya menikmati tenangnya Cigumentong. Sunyi dan diam namun menentramkan. Tak ada foto, karena saat itu kamera dan seluruh gadget tidak boleh digunakan. Namun tanpa gadget bukan berarti tak bisa bercerita kan?.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar