Minggu, 14 Oktober 2012

Rumah Baruku - Majene #1


Majene, banyak orang mengucapnya –termasuk saya- dengan MaJEne (dengan lafal JE seperti pada kata Jepang). “Bakal dipelototin orang sana kamu nanti”, begitu kira-kira pesan Kak Aline pendahulu saya di Majene. Karena pengucapan MaJEne yang benar adalah MaJEne (dengan lafal JE seperti pada kata Jet) dan ada tambahan huruf “k” tanggung di belakang, jadi seolah berbunyi “Majene(k)”. Majene memiliki arti “berwudhu” atau “bersuci” dalam bahasa Mandar. Memang mayoritas warga Majene adalah muslim. Konon ceritanya dahulu ada orang Belanda yang singgah di Majene kemudian dia bertanya pada seorang lokal yang sedang berwudhu “Apa nama tempat ini?”

Karena tidak paham bahasa Belanda, orang lokal ini menjawabnya dengan “Majene” karena dia sedang berwudhu. Dari situ mulailah daerah ini disebut dengan Majene.

Saya tidak menyangka kalau bakal ditempatkan di Kabupaten Majene, Kabupaten yang kabarnya diproyeksikan jadi Kota Pendidikan dari Provinsi Sulawesi Barat. Di sebuah kabupaten yang dilewati jalan poros Sulawesi. Saya juga belum tahu pasti keadaannya, saya malas mencari informasi. Semua informasi yang saya dapatkan dasarnya adalah informasi lisan dari pendahulu-pendahulu saya.
Majene Cakep Komuniti (Tim kami di Majene)

Entah mengapa saya –dan tujuh orang kawan sepenempatan- tidak terlalu antusias untuk mendalami info tentang Majene. Berbeda dengan kawan-kawan yang ditempatkan di kabupaten lain, mereke seolah sidah paham betul daerah yang akan mereka jelajahi. Ada yang sudah paham tentnag banyaknya buaya yang mengintai di balik eksotisme sungai-sungi di Kalimantan, ada yang mulai bersiap mental akan penolakan warga terhadap pendatang, bahkan ada yang sudah bersiap memborong tissue basah karena tahu di daerahnya akan sulit untuk mencari air mandi. Yang saya tahu, desa yang akan saya tinggali nanti tidak ada listrik, “Harus ke desa bawah buat nge-charge laptop, itu juga pakai genset”. Begitu bunyi pesan Vivi yang nantinya akan saya gantikan.

“Nggak usah bawa smartphone, hp senter aja udah cukup, sinyal susah disini”, tambahnya lagi. Oke, dari awal memang sudah disiapkan buat terbiasa tanpa listrik dan sinyal.

Miris, karena kabarnya desa saya hanya terletak 15 menit ke arah gunung dari Jalan Poros menggunakan sepeda motor. “Motor sendiri?” tanya saya kepada Vivi. “Pinjem warga laaah”, jawabnya dengan nada agak sinis bercanda. “Bapak asuh punya motor koq, orang-orang desa juga nanti fine-fine aja kalau motornya dipinjem”. Ya, Bapak asuh saya adalah adik dari Pak Rasyid, Guru di SD tempat saya mengajar yang jega menjadi Bapak asuh Vivi. Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Mandar, mau tidak mau saya harus belajar bahasa Mandar. Kabarnya sudah ada kamus bahasa Mandar yang diterbitkan. Itu wajib dicari.

Calon murid saya? “Monster”, kata Vivi spontan.

Apa?

Tapi Vivi langsung menjelaskannya, “Iya monster, tapi kamu harus ingat kata Pak Munif Chatib, setiap anak itu spesial dan mereka memiliki bakatnya sendiri. Kamu sebagai guru yang harus menemukan dan mengarahkannya”. Oke, logis. Dan memang selama training, itu yang benar-benar di-doktrin-kan dalam pikiran kami. Setiap anak spesial. Mereka terlahir dengan bakat yang dititipkan Allah SWT pada masing-masing mereka.

Yap, semua trainer dalam pelatihan, Ibu Weilin, Pak Munif Chatib, Ibu Elke, Ibu Ruth, Pak Bobby, Om Dik Doank, Pak Yudis, Ibu Sisca, semua menyajikan “Cara Gila” untuk mengajar. Benar-benar gila, gila metodenya, gila peralatannya, gila kreativitasnya, dan yang jelas guru harus benar-benar mau jadi gila demi muridnya. Hasilnya? GILA!!!! Lihat saja nanti.

Cuma 10-15 orang yang bakal memanggil saya “Bapak” dengan imutnya. Karena SD Inpress 22 Rura hanya memiliki sekitar 63 murid. Beruntung kalau saya dapat mengajar banyak kelas, sehingga lebih banyak lagi anak-anak yang bakal saya kenal, yang bakal menjadi tempat saya belajar.

Oke sepertinya itu sudah cukup. Saya tidak ingin mengetahui lebih jauh tentang Majene dari sini. Saya ingin mengetahui Majene dari sana. Langsung dari dalam Majene. Karena kesan itu personal sifatnya, dan saya tidak ingin pikiran saya tentang Majene diracuni oleh kesan, baik ataupun buruk, dari orang lain. Saya ingin membangun impresi tentang Majene dari diri saya sendiri, dari mata saya. Segera saja terbangkan kami ke Majene, kami ingin merasakannya. Secepatnya. Sombong ya? Memang, tapi pesan dari CEO Detik.com semalam, “sombong itu menyenangkan”, hehe.

Majene, semoga menjadi tempat saya berwudhu. Menjadi tempat dimana saya mensucikan diri saya dari apapun yang bakal merusak sholat saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar