Minggu, 14 Oktober 2012

Sebuah tempat di tepian Bandung #2 : Sederhana


 

Setelah semalaman beristirahat dalam balutan hangat selimut tebal di sudut ruang tamu rumah panggung, pagi ini aktivitas saya mulai dengan nongkrong di “gazebo”, melakukan aktivitas alamiah saya. Walaupun semi outdoor, namun karena itulah satu-satunya MCK yang bisa saya temui, dengan terpaksa saya menikmatinya. Tentu dengan berbagai cara, bagi yang sudah terbiasa atau pernah mengalami bagaimana harus berkegiatan di gazebo ini pasti bisa mandi dan buang air dengan nyaman tanpa masalah. Tapi bagi yang berasal dari kota besar? Ini menjadi tantangan tersendiri. Alasan malu lah, tidak terbiasa lah, pokoknya ada saja yang diungkapkan untuk meratapi keadaan. Maka muncul beberapa ide untuk menutup sebagian WC dengan sarung, mandi dengan pakaian lengkap, atau yang lebih realistis melakukan aktivitas mandi dll disaat hari masih gelap, disaat hawa dingin masih menusuk-nusuk.

Selesai dengannya, kami melakukan upacara. Nasionalisme itu penting!! Begitu katanya, saya sih hanya ikut-ikutan. Biar tidak dihukum, hehe. Selesai, lalu kami digiring menuju lokasi yang lebih tinggi dan lebih “liar”. Ya, di lokasi yang baru mungkin hanya kami yang bisa disebut sebagai “peradaban”. Tidak ada rumah. Yang ada hanya pohon, sungai, suara serangga, mungkin babi hutan.

Di tengah rimbun pohon pinus, kami belajar tentang kesederhanaan. kami belajar akrab dengan alam. Makan dengan bahan yang tersedia alami di alam. Belajar menaklukkan ular –dengan merinding dan takut-takut-. Belajar tentang bagaimana harus bertahan dalam kondisi minimal dan yang paling penting saya harus merefleksi arti hidup yang sebenarnya. Berada dalam kepungan rasa sepi, jenuh, marah, dan lelah yang bercampur di tengah segala yang serba terbatas membuat saya malu atas kutukan-kutukan yang selalu saya keluarkan dengan mudah di tengah kemudahan-kemudahan yang selama ini saya rasakan.

Dalam dingin kabut yang menggelayut di setiap malam hingga pagi menjelang, saya dipaksa untuk mengucap syukur yang selama ini terlalu berat untuk keluar, meski hanya lewat ucapan. Bentangan alam yang tersaji tepat di depan mata menjadi cermin besar untuk kembali meresapi ciptaan dan kekuasaan Allah SWT yang hampir terlupa, tergantikan oleh layar-layar kesibukan dunia.

Ternyata kami hanyalah sebuah titik kecil tiada arti dalam panggung hidup ciptaan-Nya. 52 manusia kota yang sombong berhasil dipukul dengan telak hanya oleh sulitnya buang air tanpa air, oleh sulitnya mencari tempat sholat yang “layak” menurut standar yang kebiasaan kami, oleh sulitnya mencari makanan “enak”, oleh sulitnya mendapatkan tempat tidur yang nyaman, oleh kesulitan-kesulitan sederhana yang hanya kami anggap “urusan pembantu” bila kami ada di kota. Kami dipaksa utnuk ikhlas. Tidak banyak menuntut dari alam, dari yang Allah sudah sediakan.

Penyesalan. Itulah yang saya rasakan. Ternyata sudah banyak waktu yang telah saya habiskan tanpa makna, tanpa adanya “karya besar” yang tidak hanya memuliakan diri namun juga mampu memuliakan orang lain. Saya terhanyut oleh rayuan dunia yang menggiring saya untuk jadi manusia rakus yang mencari semua kesempatan, mendapatkan semua hal, dan menerima semua pujian. Seandainya waktu dapat saya putar, saya ingin mengulangnya kembali.Ingin saya berikan lebih banyak kebahagiaan yang saya terima untuk orang lain. Ternyata Allah sudah memberikan jauh, jauh, dan jauh lebih banyak dari yang saya butuhkan.

Sok suci. Sok alim. Sok humanis. Mungkin “pujian” seperti itu yang akan saya dapatkan selanjutnya. Namun bukankah itu lebih “membumikan” dibanding pujian-pujian palsu berbalut kepentingan?buat saya pribadi kritik pedas dan cemoohan merupakan pemberi energi terbesar yang memaksa tubuh untuk segera bergerak. Walaupun saya juga tidak bisa memastikan bahwa jalan yang saya ambil bakal tetap lurus, namun saya akan selalu berusaha dan berharap Allah menjaga saya. Karena hanya di tangan-Nya hati ini bisa saya titipkan dengan aman.

(besambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar