Setelah semalaman beristirahat
dalam balutan hangat selimut tebal di sudut ruang tamu rumah panggung, pagi ini
aktivitas saya mulai dengan nongkrong di “gazebo”, melakukan aktivitas alamiah saya.
Walaupun semi outdoor, namun karena itulah satu-satunya MCK yang bisa saya
temui, dengan terpaksa saya menikmatinya. Tentu dengan berbagai cara, bagi yang
sudah terbiasa atau pernah mengalami bagaimana harus berkegiatan di gazebo ini
pasti bisa mandi dan buang air dengan nyaman tanpa masalah. Tapi bagi yang
berasal dari kota besar? Ini menjadi tantangan tersendiri. Alasan malu lah,
tidak terbiasa lah, pokoknya ada saja yang diungkapkan untuk meratapi keadaan.
Maka muncul beberapa ide untuk menutup sebagian WC dengan sarung, mandi dengan
pakaian lengkap, atau yang lebih realistis melakukan aktivitas mandi dll disaat
hari masih gelap, disaat hawa dingin masih menusuk-nusuk.
Selesai dengannya, kami melakukan
upacara. Nasionalisme itu penting!! Begitu katanya, saya sih hanya ikut-ikutan.
Biar tidak dihukum, hehe. Selesai, lalu kami digiring menuju lokasi yang lebih
tinggi dan lebih “liar”. Ya, di lokasi yang baru mungkin hanya kami yang bisa
disebut sebagai “peradaban”. Tidak ada rumah. Yang ada hanya pohon, sungai,
suara serangga, mungkin babi hutan.
Di tengah rimbun pohon pinus, kami
belajar tentang kesederhanaan. kami belajar akrab dengan alam. Makan dengan
bahan yang tersedia alami di alam. Belajar menaklukkan ular –dengan merinding
dan takut-takut-. Belajar tentang bagaimana harus bertahan dalam kondisi
minimal dan yang paling penting saya harus merefleksi arti hidup yang
sebenarnya. Berada dalam kepungan rasa sepi, jenuh, marah, dan lelah yang
bercampur di tengah segala yang serba terbatas membuat saya malu atas
kutukan-kutukan yang selalu saya keluarkan dengan mudah di tengah
kemudahan-kemudahan yang selama ini saya rasakan.
Dalam dingin kabut yang
menggelayut di setiap malam hingga pagi menjelang, saya dipaksa untuk mengucap
syukur yang selama ini terlalu berat untuk keluar, meski hanya lewat ucapan.
Bentangan alam yang tersaji tepat di depan mata menjadi cermin besar untuk
kembali meresapi ciptaan dan kekuasaan Allah SWT yang hampir terlupa,
tergantikan oleh layar-layar kesibukan dunia.
Ternyata kami hanyalah sebuah
titik kecil tiada arti dalam panggung hidup ciptaan-Nya. 52 manusia kota yang
sombong berhasil dipukul dengan telak hanya oleh sulitnya buang air tanpa air,
oleh sulitnya mencari tempat sholat yang “layak” menurut standar yang kebiasaan
kami, oleh sulitnya mencari makanan “enak”, oleh sulitnya mendapatkan tempat
tidur yang nyaman, oleh kesulitan-kesulitan sederhana yang hanya kami anggap
“urusan pembantu” bila kami ada di kota. Kami dipaksa utnuk ikhlas. Tidak
banyak menuntut dari alam, dari yang Allah sudah sediakan.
Penyesalan. Itulah yang saya
rasakan. Ternyata sudah banyak waktu yang telah saya habiskan tanpa makna,
tanpa adanya “karya besar” yang tidak hanya memuliakan diri namun juga mampu memuliakan
orang lain. Saya terhanyut oleh rayuan dunia yang menggiring saya untuk jadi
manusia rakus yang mencari semua kesempatan, mendapatkan semua hal, dan
menerima semua pujian. Seandainya waktu dapat saya putar, saya ingin
mengulangnya kembali.Ingin saya berikan lebih banyak kebahagiaan yang saya terima
untuk orang lain. Ternyata Allah sudah memberikan jauh, jauh, dan jauh lebih
banyak dari yang saya butuhkan.
Sok suci. Sok alim. Sok humanis.
Mungkin “pujian” seperti itu yang akan saya dapatkan selanjutnya. Namun
bukankah itu lebih “membumikan” dibanding pujian-pujian palsu berbalut
kepentingan?buat saya pribadi kritik pedas dan cemoohan merupakan pemberi
energi terbesar yang memaksa tubuh untuk segera bergerak. Walaupun saya juga
tidak bisa memastikan bahwa jalan yang saya ambil bakal tetap lurus, namun saya
akan selalu berusaha dan berharap Allah menjaga saya. Karena hanya di
tangan-Nya hati ini bisa saya titipkan dengan aman.
(besambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar