"Saya nggak tega ngeliat Bapak, udah kerja dari pagi sampai sore
cuma dapat 2000 rupiah"
"Ya Tuhan, mudahkanlah jalan Bapak, semoga masa depannya diberi
kemudahan...."
Seperti itulah monolog yang mungkin menjadi ciri khas dari acara
tersebut. Ya, di acara yang muncul hampir setiap hari, entah menjelang
siang atau menjelang maghrib pola yang ditampilkan selalu sama
"Mahasiswi dari kota yang tinggal selama beberapa hari bersama
keluarga yang -maaf- dianggap miskin, atau mungkin kekurangan"
Adakah yang salah dari acara tersebut?
Mungkin dari satu sisi, lebih tepatnya sisi si Mahasiswi, atau lebih
fokus lagi dari sisi orang-orang yang "beruntung", beruntung dalam hal
ini kriterianya sengaja saya persempit, yaitu beruntung dalam segi:1)
Tinggal di Kota, 2) Punya kelebihan harta, 3) Punya kesempatan mengenyam
pendidikan tinggi, acara tersebut mengajari bagaimana caranya
mensyukuri keadaan, berkaca pada kehidupan bahwa diluar sana masih
banyak orang-orang yang kurang "beruntung", tentu saja dari sisi harta
saja.
Namun, saya pribadi melihat kalao acara tersebut merupakan acara yang
mengeksploitasi kemiskinan dalam cara yang salah. Okelah kalau dengan
melihat acara tersebut saya bisa banyak-banyak bersyukur dengan apa yang
sudah saya peroleh. Dalam sudut pandang saya yang notabene memiliki
pendapatan dan kondisi pekerjaan yang lebih baik dari yang ditayangkan
di acara tersebut. Saya bisa banyak belajar untuk lebih kuat lagi
menghadapi hidup, untuk total dan profesional dalam bekerja, intinya
banyak yang bisa saya pelajari.
Lho, saya sendiri bisa banyak belajar darinya koq saya bilang itu
acara yang tidak bagus?
Ya memang benar acara itu dapat mengajari penontonnya untuk lebih sabar
dalam menghadapi hidup. Saya pribadi juga tidak keberatan untuk
mengangkat orang-orang pinggiran dan memberikan gambaran tentang
beratnya hidup yang harus mereka jalani. Tapi dalam konsep orang yang
diangkat kisahnya tidak mengetahui secara langsung bahwa ada
orang-orang di kota sana -orang-orang yang keadaannya lebih baik- yang
mampu belajar dari kisah hidupnya, yang menangis prihatin dengan
keadaannya, yang iba melihat perjuangganya.
Mengapa narasumber tidak bolehh mengetahui secara langsung?
Begini ilutrasinya.
Saya adalah seorang pedagang baju. Selama ini saya menjalani hidup saya
berjualan baju dan saya mampu memberi makan keluarga saya walaupun
setiap hari hanya berlauk tempe. Walaupun tidak mampu menabung, tapi
hidup saya sudah berjalan seperti itu setiap harinya. Berangkat ke
Pasar, berjualan baju, pulang, bawa uang, makan bareng keluarga, tidur.
Entah cukup atau tidak, hal itu menjadi urusan internal keluarga saya.
Tapi tiba-tiba, ada orang luar masuk ke keluarga saya, menunjukkan
kepada saya betapa hidup saya sungguh menderita dan sengsara. Dia
menunjukkan bahwa pekerjaan menjual baju itu sangat repot, penghasilan
hanya sedikit, sampai-sampai saya hanya mampu memberi makan keluarga
saya dengan tempe. MEnunjukkan betapa hina pekerjaan yang saya lakoni
sekarang, membiarkan dia membuka keadaan saya bukan hanya kepada
tetangga, namun kepada dunia. Membuat keluarga saya -yang selama ini
sudah bersyukur dan menerima keadaan hanya dengan tempe setiap hari-
berpikir bahwa mereka menderita dengan keadaan yang mereka jalani selama
ini.
Dengan menunjukkan betapa "sengsara" kehidupan yang saya jalani secara
langsung, live didepan mata saya, disertai tangisan-tangisan iba yang
menangisi kehidupan saya, ini sangat berpotensi menurunkan mental saya
dalam menjalani hidup. Saya yang selama ini mungkin sudah bersyukur
dengan hidup yang saya jalani, menjadi berprasangka buruk lagi kepada
Tuhan, saya yang selama ini sudah bangga menjual baju, bisa berubah
menjadi rasa malu karena ada orang yang mengatakan pekerjaan saya hina
dan tidak menjanjikan apapun. Keluarga saya yang selama ini ikhlas
dengan apa yang saya berikan, mungkin saja berubah dan mulai menuntut
saya untuk memberikan lebih.
Ya, dengan cara "pertunjukkan langsung" tersebut, menurut saya ada
potensi untuk merusak kehidupan pribadi sang narasumber. Paling tidak
dengan beberapa contoh yang saya sebutkan diatas. Kecuali memang acara
itu sudah di-skenario-kan.
Seperti yang saya bilang, mungkin akan lebih bijak dan beretika apabila
acara-acara semacam tersebut diubah kemasannya seperti acara "hikmah"
yang menampilkan rekaman dengan si narasumber dan narasi secara
terpisah. Sehingga pesan untuk bersyukur tetap tersampaikan tanpa
menyentuh kehidupan pribadi si narasumber secara langsung.
Cuma sekedar usul saja...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar