Senin, 16 April 2012

Menjual Kemiskinan di TV

1334866956860713197
Ilustrasi/Admin (Shutterstock)
"Saya nggak tega ngeliat Bapak, udah kerja dari pagi sampai sore cuma dapat 2000 rupiah"
"Ya Tuhan, mudahkanlah jalan Bapak, semoga masa depannya diberi kemudahan...."

Seperti itulah monolog yang mungkin menjadi ciri khas dari acara tersebut. Ya, di acara yang muncul hampir setiap hari, entah menjelang siang atau menjelang maghrib pola yang ditampilkan selalu sama 

"Mahasiswi dari kota yang tinggal selama beberapa hari bersama keluarga yang -maaf- dianggap miskin, atau mungkin kekurangan"

Adakah yang salah dari acara tersebut?

Mungkin dari satu sisi, lebih tepatnya sisi si Mahasiswi, atau lebih fokus lagi dari sisi orang-orang yang "beruntung", beruntung dalam hal ini kriterianya sengaja saya persempit, yaitu beruntung dalam segi:1) Tinggal di Kota, 2) Punya kelebihan harta, 3) Punya kesempatan mengenyam pendidikan tinggi, acara tersebut mengajari bagaimana caranya mensyukuri keadaan, berkaca pada kehidupan bahwa diluar sana masih banyak orang-orang yang kurang "beruntung", tentu saja dari sisi harta saja.

Namun, saya pribadi melihat kalao acara tersebut merupakan acara yang mengeksploitasi kemiskinan dalam cara yang salah. Okelah kalau dengan melihat acara tersebut saya bisa banyak-banyak bersyukur dengan apa yang sudah saya peroleh. Dalam sudut pandang saya yang notabene memiliki pendapatan dan kondisi pekerjaan yang lebih baik dari yang ditayangkan di acara tersebut. Saya bisa banyak belajar untuk lebih kuat lagi menghadapi hidup, untuk total dan profesional dalam bekerja, intinya banyak yang bisa saya pelajari.
Lho, saya sendiri bisa banyak belajar darinya koq saya bilang itu acara yang tidak bagus?

Ya memang benar acara itu dapat mengajari penontonnya untuk lebih sabar dalam menghadapi hidup. Saya pribadi juga tidak keberatan untuk mengangkat orang-orang pinggiran dan memberikan gambaran tentang beratnya hidup yang harus mereka jalani. Tapi dalam konsep orang yang diangkat kisahnya tidak mengetahui secara langsung bahwa ada orang-orang di kota sana -orang-orang yang keadaannya lebih baik- yang mampu belajar dari kisah hidupnya, yang menangis prihatin dengan keadaannya, yang iba melihat perjuangganya.

Mengapa narasumber tidak bolehh mengetahui secara langsung?
Begini ilutrasinya.
Saya adalah seorang pedagang baju. Selama ini saya menjalani hidup saya berjualan baju dan saya mampu memberi makan keluarga saya walaupun setiap hari hanya berlauk tempe. Walaupun tidak mampu menabung, tapi hidup saya sudah berjalan seperti itu setiap harinya. Berangkat ke Pasar, berjualan baju, pulang, bawa uang, makan bareng keluarga, tidur. Entah cukup atau tidak, hal itu menjadi urusan internal keluarga saya.

Tapi tiba-tiba, ada orang luar masuk ke keluarga saya, menunjukkan kepada saya betapa hidup saya sungguh menderita dan sengsara. Dia menunjukkan bahwa pekerjaan menjual baju itu sangat repot, penghasilan hanya sedikit, sampai-sampai saya hanya mampu memberi makan keluarga saya dengan tempe. MEnunjukkan betapa hina pekerjaan yang saya lakoni sekarang, membiarkan dia membuka keadaan saya bukan hanya kepada tetangga, namun kepada dunia. Membuat keluarga saya -yang selama ini sudah bersyukur dan menerima keadaan hanya dengan tempe setiap hari- berpikir bahwa mereka menderita dengan keadaan yang mereka jalani selama ini.

Dengan menunjukkan betapa "sengsara" kehidupan yang saya jalani secara langsung, live didepan mata saya, disertai tangisan-tangisan iba yang menangisi kehidupan saya, ini sangat berpotensi menurunkan mental saya dalam menjalani hidup. Saya yang selama ini mungkin sudah bersyukur dengan hidup yang saya jalani, menjadi berprasangka buruk lagi kepada Tuhan, saya yang selama ini sudah bangga menjual baju, bisa berubah menjadi rasa malu karena ada orang yang mengatakan pekerjaan saya hina dan tidak menjanjikan apapun. Keluarga saya yang selama ini ikhlas dengan apa yang saya berikan, mungkin saja berubah dan mulai menuntut saya untuk memberikan lebih.

Ya, dengan cara "pertunjukkan langsung" tersebut, menurut saya ada potensi untuk merusak kehidupan pribadi sang narasumber. Paling tidak dengan beberapa contoh yang saya sebutkan diatas. Kecuali memang acara itu sudah di-skenario-kan.


Seperti yang saya bilang, mungkin akan lebih bijak dan beretika apabila acara-acara semacam tersebut diubah kemasannya seperti acara "hikmah" yang menampilkan rekaman dengan si narasumber dan narasi secara terpisah. Sehingga pesan untuk bersyukur tetap tersampaikan tanpa menyentuh kehidupan pribadi si narasumber secara langsung.

Cuma sekedar usul saja...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar